Jumat, 24 Juni 2011

NEGARA SOSIAL: PEMIKIRAN POLITIK LORENZ VON STEIN DAN PELAJARAN UNTUK INDONESIA

PENDAHULUAN
Negara-negara Eropa Barat dapat dikategorikan sebagai negara sosialis, dalam arti bahwa negara dipandang sebagai lembaga yang harus aktif menyantuni kehidupan masyarakat, terutama mereka yang lemah secara politis dan ekonomis. Negara, begitulah ide tersebut, bukanlah semata-mata "penjaga malam" yang pasif di tengah kompetisi yang demokratis dalam segala bidang, melainkan haruslah secara aktif menciptakan atau mengkondisikan lahirnya kesejahteraan. Salah seorang perumus ide ini adalah Lorenz von Stein, yang hampir tidak dikenal di Indonesia. Antara lain untuk ikut andil dalam diskusi tentang komunisme yang mulai muncul lagi di negara kita, pokok-pokok pemikiran Stein dielaborasi dalam artikel ini dan kemudian dicoba dicarikan relevansinya untuk kasus Indonesia.

A. Sejarah dan biografie
Karena suatu gagasan tidak jatuh begitu saja dari langit atau muncul dari bumi, melainkan dirangsang oleh situasi sosial yang melingkupi si penggagas, adalah perlu untuk mengenali secara ringkas keadaan masyarakat Eropa abad ke-19 pada waktu Lorenz von Stein hidup (1815-1890) dan sedikit biografinya. Eropa abad ke-19 adalah kelanjutan dari Eropa abad ke-18 yang penuh dengan penemuan teknik, revolusi industri dan revolusi politik. Abad ke-19 ditandai oleh kehidupan sosial yang penuh dengan pergeseran dan gelombang gerakan sosial-politik yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana setiap gerakan tersebut berusaha untuk melakukan penataan masyarakat di atas kepentingan dan ketertarikan (Interesse) masing-masing. Untuk merealisir tujuan-tujuannya, setiap gerakan merumuskan ide-ide dan teori politiknya sendiri sebagai instrumen kerja dan sekaligus bintang penunjuk jalan. Kaitan antara gerakan dengan teori sosial-politik menjadi begitu kuat ketika pada saat yang bersamaan terbentuk suatu masyarakat-warga-negara atau civil society (4:270). Sementara itu di Jerman dalam abad ke-19 sejarah sosialnya ditandai oleh gerakan-gerakan emansipasi warga negara yang terutama diwakili oleh tuntutan emansipasi dari kelas pekerja yang sedang tumbuh (3:46).
Dalam situasi seperti itulah Lorenz von Stein hidup. Dia lahir 1815 di Borby/Eckernförde, Schleswig Holstein, Jerman Utara yang berbatasan dengan Denmark. Pada umur 24 tahun, 1839, dia telah melakukan promosi doktor tentang sejarah hukum sipil Denmark. Dua tahun kemudian dia tinggal di Paris hingga 1843 atas biaya kerajaan Denmark, lalu pulang dan 1846 menjadi profesor di Kiel. Sejak itu dia menulis "Sejarah gerakan sosial di Perancis" yang baru dirampungkannya 1850, alias dalam satu dasawarsa. Selain sebagai ilmuwan, Stein mencoba untuk aktif di lapangan yang diamatinya, tapi tidak dapat dikatakan sukses. Pada 1848 dia menjadi kandidat yang gagal untuk Musyawarah Nasional Jerman di Frankfurt, tapi dua tahun kemudian berhasil menjadi anggota parlemen Schleswig Holstein. Tahun 1855 dia meinggalkan Kiel, menjadi profesor di Wina. Di sana tahun 1874 dia melamar untuk menjadi anggota parlemen yang diangkat, tapi gagal. Tahun 1880-an dia menjadi penasihat pemerintah untuk politik Jepang sebelum akhirnya meninggal pada tahun 1890 di Weidlingen/Wina, Austria.
Stein menulis ribuan artikel koran, essai dan buku. Tulisannya yang pertama adalah essai tentang karakteristik ilmu hukum mutakhir (1841), sedang karangannya yang terakhir adalah sebuah buku pintar tentang ajaran administrasi bagian ke-tiga yang mengupas keterkaitan antara administrasi dan kehidupan masyarakat (1888). Tiga jilid bukunya tentang sejarah gerakan sosial di Perancis (1850) seperti telah disinggung di depan menjadi karya monumentalnya. Untuk menyebut tulisan-tulisannya yang lain di antaranya adalah tentang: sosialisme dan komunisme di Perancis (1842), teori-teori negara di Yunani sebelum Aristoteles dan Plato (1853), persoalan-persoalan di Austria (1865), teori ekonomi (1878) dan ihwal kesehatan (1882). Dari sini terlihat bahwa Stein --barangkali seperti semua ilmuwan di zamannya-- menekuni hampir semua disiplin ilmu sosial atau geistliche Wissenschaften, mulai dari filsafat, hukum, ekonomi, sejarah hingga politik.

B. Pokok-pokok pikiran Stein tentang negara sosial
Stein berusaha untuk mencegah tendensi revolusioner dari masyarakat jaman baru (yakni masyarakat Eropa sejak abad ke-17, dimana banyak penemuan teknologi) melalui dua jalan: secara analitis melalui konsep "ilmu tentang masyarakat" ("die Wissenschaft der Gesellschaft") dan secara politis melalui peringatannya tentang perlunya kesiapan negara untuk terus melakukan reformasi (5a:12). Konsep "kerajaan sosial" ("das soziale Königtum")-nya merupakan satu-satunya pikiran dalam sejarah ide politik abad ke-19 yang berusaha untuk memberikan legitimasi sosiologis atas konsep monarkhie konstitusional yang telah berkembang sebelumnya yang bersifat kompromis. Stein berpendapat, bahwa hanya negara yang tersusun secara monarkhies tetapi konstitusional dan terbukalah yang sanggup mengembangkan strategi tawar-menawar sosial dan mempraktikkannya --sesuatu yang mutlak perlu mengingat kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada pada fase industrialisasi-maju saat itu (5a:12-13).
Stein memandang jamannya sebagai "kesadaran akan eksistensi tata masyarakat". Mendahului Karl Marx (1818-1883) dia menyatakan dengan tegas: "Kesadaran jaman ini mulai....memahami kekuasaan negara sebagai alat untuk memajukan masyarakat, sebagai senjata dalam perjuangan sosial, dan sebagai sarana untuk membebaskan masyarakat." Masyarakat bukan lagi sebagai suatu unit yang tergantung kepada negara dan politik, bukan suatu massa yang an-organis dan terbentuk secara kebetulan semata, melainkan "suatu bentuk kehidupan manusiawi yang mandiri dan punya hak milik". Dalam bentuk kehidupan ini setiap pribadi yang mandiri berusaha untuk, melalui kerja, memperkembangkan diri dan dengan demikian juga mengejar kepentingannya. Dari upaya pengembangan diri ini akan selalu muncul pertentangan antara kapital dan kerja, dan ini menentukan konflik di dalam masyarakat. Konflik ini mengkristal, dan kemudian tatanan masyarakat manusia adalah atau menjadi "tata ketergantungan dari mereka yang tidak memiliki kepada mereka yang menguasai" (6:475).
Jadi masyarakat manusia itu terbelah dan ini menghasilkan ketidaksamaan dan ketidakbebasan sosial. Pertentangan antara kelas yang menguasai dan kelas yang tergantung ini meluas hingga pada tataran perundang-undangan dan administrasi, karena atau sepanjang kelas-sosial-yang-menguasai berusaha untuk memegang kekuasaan negara, untuk dapat terus mempertahankan posisi-menguasai mereka dan menjaga agar kelas yang tak menguasai tetap tergantung dan tidak bebas. Dalam dinamika masyarakat, kelas yang tergantung --dikondisikan oleh berkembangnya ide kebebasan, kesamaan dan keadilan-- tidak mau berada terus-menerus dalam ketergantungan terhadap dan tekanan dari kelas yang menguasai. Mereka berupaya untuk mengubah undang-undang negara demi kepentingan mereka: pertama-tama melalui cara reformasi dan kemudian melalui perubahan negara atau revolusi --suatu "hal yang perlu dan alamiah" (6:476).
Tetapi revolusi selain mampu menciptakan tatanan politik dan juga masyarakat yang baru, dia juga menciptakan pertentangan baru di dalam masyarakat, yang di dalamnya "setiap orang berusaha untuk tampil dalam badan perundang-undangan negara, dan dengannya menyingkirkan siapa saja yang tidak mempunyai kedudukan". Dengan kata lain: revolusi toh akhirnya menciptakan kelas yang di atas dan kelas yang di bawah lagi. Dengan akibat revolusi yang semacam ini pertentangan-dasar dalam masyarakat antara kapital dan kerja tidak tersingkirkan, bahkan menajam terus sekalipun telah terbentuk apa yang disebut kekuasaan proletariat. Lingkaran setan ini, menurut Stein, dapat dipatahkan melalui reformasi sosial yang inisiatifnya beradal dari negara sendiri, yang di dalamnya negara terlibat dalam reformasi itu. Kalau negara memperhatikan kelas bawah, pastilah dia akan berusaha untuk menyeimbangkan kelas-kelas yang bertentangan: di satu pihak dengan melakukan perbaikan keadaan kelas yang tergantung melalui suatu reformasi sosial, di pihak lain dengan menyadarkan kelas-yang-berkuasa bahwa jika mereka secara aktif mendukung usaha perbaikan kondisi kelas-yang-tergantung tersebut adalah juga demi kepentingan mereka sendiri (6:746). Mudah dipahami bahwa Stein menolak ide perjuangan kelas sebagai jawaban atas masyarakat yang memang berkelas. Dalam tulisan lain dia merumuskan alternatifnya sebagai "proses sosial dari gerakan kelas yang menaik" ("der soziale Prozeß der aufsteigenden Klassenbewegung"), dimana negaralah yang harus bertanggungjawab (5a:17).
Jadi mirip dengan Marx, Stein pertama-tama menegaskan adanya antagonismus antara pemegang kapital dan proletar: masyarakat adalah sistem ketergantungan dan ketidakbebasan. Dalam sistem ini kelas-yang-punya berupaya untuk memegang terus kekuasaan negara dan di pihak lain kaum proletar berusaha untuk merebut kekuasaan ini dan menghapuskan hak milik privat. Agar supaya perkembangan setiap pribadi dapat berlangsung, termasuk di dalamnya hak milik privat, maka penguasaan oleh pemilik kapital di satu pihak maupun revolusi proletar di pihak lain harus dihindari. Sarananya adalah kekuasaan negara yang berdiri di atas semua kepentingan dalam masyarakat yang saling bertentangan tersebut. Suatu "kerajaan sosial" --dengan korps pegawai yang terdidik-- dapat menciptakan emansipasi bagi kelas bawah yang tidak memiliki privillege dan hal ini dapat meredam ketegangan sosial (4:320-1).
Dalam tulisannya tentang perkembangan ilmu politik di Yunani, Stein menulis (7:174):
"Setiap kali pergolakan antar kelas di dalam masyarakat meledak, setiap kali itu pula muncul seorang diktator. Setiap kali --melalui pergolakan antar kelas tersebut-- hak milik dan harta pribadi dicerabut, pasti muncul suatu organ absolut, karena bukan lagi rakyat melainkan hukum keberlangsungan barang-ekonomis dan barang-masyarakat-lah yang sangat memerlukan kekuasaan negara."

Jadi kepentingan yang beraneka-ragam di dalam masyarakat tidak terbawa ke arah keseimbangan sosial sebagaimana dinyatakan oleh teori liberal tradisional. Negara dalam masyarakat yang berkelas adalah --jika tidak faktual ya tendensial-- penguasaan oleh suatu kelas. Penguasaan politis oleh suatu kelas ini tidak cocok dengan definisi Stein tentang negara sebagai "umum" atau "keseluruhan" (das Allgemein). Sejak awal Stein tidak percaya pada gerakan-otonom masyarakat, dia berpendapat perlunya upaya pemuasan oleh negara sebagai sesuatu yang alamiah. Dalam "kerajaan sosial" dibangun suatu lembaga "yang tidak terpengaruh oleh sesuatu kepentingan masyarakat" (7:174-5).
Stein menyatakan bahwa masyarakat (dalam hal ini mencakup pengertian "negara" plus "masyarakat") dimungkinkan berkiprah untuk mereformasi dirinya sendiri, dan tentulah reformasi ini berlangsung dalam garis kepentingan mereka sendiri. Dalam kasus ini kekuasaan negara berfungsi sebagai pembimbing, pengarah dan motivator; sementara kelas-yang-punya diharapkan juga dengan sepenuh hati dan dengan bantuan negara serta kekuasaannya terlibat tanpa lelah dalam reformasi sosial itu (6:747). "Tidakkah merupakan tugas tertinggi dan absolut dari jaman kita ini untuk mengangkat kelas bawah ke situasi material yang layak dan masuk akal?" tulis Stein tahun 1842 (2:47).
Di pihak negara, administrasinyalah yang dituntut paling utama untuk berbuat, sedangkan perundang-undangan dan bentuk negara adalah hal sekunder --yang penting adalah mereka melalui kekuatan integrasi-politiknya mendukung reformasi sosial. Karenanya Stein memperjuangkan, dengan mengingat situasi Jerman pada pertengahan abad ke-19, atas pertimbangan efektivitas, suatu "kerajaan sosial" yang memiliki administrasi yang netral dan efektif. Dalam penglihatan Stein hanya monarkhie-konstitusional-lah yang merupakan bentuk hukum yang tepat, yang di dalamnya dapat dilakukan penyeimbangan kepentingan sosial yang saling bertentangan. Hanya dengannyalah dapat dijamin terjembataninya jarak sosial di dalam masyarakat dan terjaganya kontinuitas serta kehidupan negara dan masyarakat yang bertata. Dalam konteks ini dia menyebut "kerajaan konstitusional" sebagai "bentuk yang wajar dari negara-negara Jerman dalam jaman masyarakat yang terindustrialisasi ini" (3:52-3).
Birokrasi dengan bidang kerjanya yang luas disebut Stein sebagai "sistem administrasi sosial", yang bekerja untuk "negara yang memperkembangkan masyarakatnya". Administrasi dalam hal ini secara kuat dihadapkan pada tuntutan-tuntutan negara yang masih diwarnai oleh masyarakat berkelas jaman baru. Baik dalam persoalan perkotaan dan perumahan, kemiskinan dan pangan, asuransi dan penyantunan, dalam semua hal Stein mencoba untuk merumuskan organisasi dari manajemen administrasi negara di atas "prinsip sosial". Keyakinannya yang utama adalah bahwa hanya melalui jalan inilah negara dapat mencegah munculnya masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh sistem produksi kapitalistis dengan cara yang tidak mengganggu seorangpun --ini berarti negara dapat melaksanakan tugasnya untuk memuaskan semua kelompok, das Allgemein (3:74).
Konsepsi Stein tentang negara administrasi sosial di atas merupakan "alternatif sosiopolitik yang prinsipiil atas liberalisme negara-hukum yang --berdasar wahamnya tentang homogenitas politik dan harmoni sosial-- mengabaikan problema integrasi dan legitimasi yang kompleks dari masyarakat industri" (Pankoke, dikutip dalam 7:178). Konsepsi Stein dapat pula dipandang sebagai "alternatif bagi ajaran revolusi Marx yang banyak dikritik itu" (Fahrenbach, dikutip dalam 7:178) atau bahkan merupakan "jalan tengah" antara pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels tentang energi dialektis dalam perkembangan masyarakat dan pemikiran Herbert Spencers tentang sistem sosial yang organis serta liberalisme non-intervensionis atau antara pandangan yang pesismistis dan yang optimistis (Klages, dikutip dalam 7:178). Sebagai kebijakan politik, di kemudian hari pikiran negara sosial ini direalisasikan dalam perundang-undangan sosial dalam masa pemerintahan Otto von Bismarck pada tahun 1880-an. Di Inggris Perdana Menteri Disraeli mewujudkannya pada paruh ke-dua abad ke-19, yang dengan perbaikan kondisi sosial itu partai konservatif berusaha untuk mewujudkan basis massa yang demokratis (4:321).
Pandangan Stein yang sangat optimistis tentang kerajaan sosial dibarengi dengan pesimismenya tentang republik. Mengomentari Revolusi 1848 di Perancis, dia berpendapat bahwa "ide republik dengan undang-undangnya yang disusun sebagai penjelmaan positif kedaulatan rakyat...adalah abstraksi yang tidak praktis dan tidak akan maujud". Sekalipun demikian Stein memperjuangkan suatu sistem perundang-undangan dimana hak masyarakat untuk mengambil bagian dalam perumusan tujuan negara terjamin, tetapi dia menghendaki agar perebutan kekuasaan masyarakat dibatasi dan hendaklah negara berada dalam suasana yang otonom (3:52). Mudah dipahami bahwa Stein termasuk orang yang pro monarkhie konstitusional sebagaimana telah disinggung di depan. Akhirnya dapat dikatakan, bahwa istilah Stein tentang "kerajaan yang sosial-reformatif" ("das Königtum der gesellschaftlichen Reform") dikonsepkan sebagai respons atas persoalan struktural masyarakat yang aktual pada jamannya dan dia berusaha untuk menegaskan, bahwa legitimasi suatu kerajaan terletak pada kesiapannya untuk mereformasi situasi sosio-politik masyarakat (3:121).

C. Pengaruh dan pelajaran untuk Indonesia
Dihadapkan pada buruknya kondisi kaum buruh dalam masyarakat industri yang sedang berkembang pesat saat itu, ide negara sosial --bersamaan dengan liberalisme dan komunisme-- dapat dikatakan meluas di Eropa abad ke-19, termasuk di Belanda. Dipengaruhi oleh ide ini pemerintah Belanda kemudian menerapkan "politik etis" di daerah koloninya Hindia Belanda sejak 1901. Kaum liberal dan humanis di Belanda mendesak dengan kuat agar pemerintah memperbaiki kualitas hidup penduduk Nusantara yang hancur setelah diterapkannya politik tanam- dan kerja-paksa. Pemerintah Belanda dinyatakan memiliki kewajiban moral untuk perbaikan Indonesia. Desakan ini ditanggapi dengan: (a) mengembangkan sistem pendidikan dan kesehatan, (b) membentuk bank kredit rakyat, terutama untuk mengikis praktik lintah-darat yang dilakukan oleh orang-orang China, (c) membangun saluran-saluran irigasi dan (d) menyelenggarakan transmigrasi bagi penduduk di daerah padat di Jawa ke Sumatera Selatan (3a:92).
Sekalipun tidak mungkin bisa menambal mandegnya perkembangan masyarakat Nusantara selama kurang-lebih tiga abad, program-program tersebut merupakan "balas jasa" yang cukup berarti, terutama dengan terbukanya akses ke sekolah dan perguruan tinggi bagi para pemuda kulit sawo matang. Tapi sayang (dari kacamata pemerintah Hindia Belanda), di kemudian hari politik ini menjadi bumerang bagi pemerintah kolonial, karena pemuda-pemuda pribumi yang telah terdidik mengalami "pencerahan" dan aktif menyelenggarakan gerakan-gerakan anti kolonial dan pro kemerdekaan.
Pada tataran intelektual pengaruh sosialisme merasuki pula para aktivis politik Indonesia pra-kemerdekaan. Beberapa pendiri negara Indonesia yang semula bersekolah di Belanda, seperti Mohammad Hatta dan Soepomo, menyumbangkan andil pemikiran yang dominan terhadap undang-undang dasar Indonesia (UUD 1945). Ide-ide sosialis menjadi sangat mengemuka, seperti "negara integralistik", "asas kekeluargaan", "kekuasaan negara untuk kepentingan umum" dan "koperasi sebagai soko guru ekonomi".
Sayangnya istilah-istilah ini selain bersifat sosialistis juga sedikit-banyaknya memendam gagasan yang sangat konservatif dan etatis (serba-negara), sehingga pemerintahan yang selama ini mengendalikan Indonesia dapat memanfaatkan UUD sebagai alat legitimasi konstitusional (ideologis) untuk mempraktikkan kediktatoran, sekalipun kadang-kadang "baik hati" ("benevolent dictatorship") dan bersamaan dengan itu memblokir kesempatan untuk beroposisi serta berdemokrasi. Karenanya menjadi masuk akal jika Gerakan Reformasi yang dimulai Mei 1998 mengajukan perombakan UUD sebagai salah satu agenda utamanya, agar kehidupan politik dapat menjadi demokratis, liberal.
Sementara itu ketidakpercayaan Stein terhadap revolusi (baca: perebutan kekuasaan secara paksa) sedikit-banyaknya menemui bukti pula di Indonesia, sekalipun tidak persis sama dengan alasan penolakannya. Pertama, revolusi kemerdekaan yang mengalihkan pengusaan negara dari pemerintah kolonial Belanda ke pemerintah bumi putera menghasilkan corak kekuasaan yang tidak banyak berbeda. Pemerintahan pasca perang adalah kelanjutan dari pemerintahan pra perang. Ke-dua, pengalihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto melalui peristiwa yang begitu cepat juga tidak menghasilkan perubahan gaya kekuasaan yang berarti. Dan ke-tiga, gerakan Reformasi Mei 1998 telah mulai dicemaskan sebagai suatu "revolusi" yang gagal mengubah gaya manajemen negara yang nepotis dan kolusif. Lelucon yang telah berkembang di kalangan perguruan tinggi mencerminkan kecemasan ini, seperti misalnya "mengganti KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) menjadi NKK (nolong konco-konco)" atau "mengganti bau durian dengan bau petai".
Meminjam pemikiran Stein, bahwa negara harus mengambil inisiatif untuk melakukan reformasi sosial, maka sesungguhnyalah ide-ide pembangunan yang dikembangkan pemerintahan Suharto selama tiga dasawarsa telah berada di atas rel yang benar. Pembangunan (baca: pengadaan infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll.), seperti halnya reformasi sosial, telah menjadikan --dan memang seharusnya begitu-- keabsahan bagi pemerintah Suharto. Sayang bahwa di penghujung waktu Suharto terlambat mereformasi negara: menciptakan struktur politik yang mampu mengadopsi secara fair dan adil (indikator lain bagi legitimasi pemerintah) hasrat kelompok-kelompok politik di luar lingkaran-inti kekuasaan untuk ikut menentukan kebijakan publik. Orde Baru melupakan aspek ketiga dari karakteristik negara yang diidealkan Lorenz von Stein: terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bauer, Walter, Grundlagen der sozialen Verwaltung bei Lorenz von Stein, Inauguraldissertation, Heidelberg 1975
2. Blasius, Dirk, Lorenz von Stein, Grundlagen und Struktur seiner politischen Ideenwelt, Inauguraldissertation, Köln 1970
3. Blasius, Dirk/Pankoke, Eckart, Lorenz von Stein, Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft, 1977
3o. Cribb, Robert Bridson, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949, Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Jakarta: Grafiti, 1990
3a. Dusik, Roland, Indonesien, Köln: DuMont Buchverlag, 3. Auflage, 1991
3b. Fakta mengenai Jerman, Jakarta: Kedutaan Besar Republik Federal Jerman, 1995
4. Lieber, Hans-Joachim (Hrsg.), Politischen Theorien von der Antike bis zur Gegenwart, Bonn: Bundeszentrale für politische Bildung, 1993
4a. Manungwijaya, Y.B., Menuju Republik Indonesia Serikat, Jakarta: Gramedia, 1998
4b. Meyers Enzyklopädisches Lexikon, Band 22, Mannheim 1978
5. Mutius, Albert von (Hrsg.), Lorenz von Stein 1890 - 1990, Akademischer Festakt zum 100. Todestag, Heidelberg: Decker, 1992
5a. Blasius, Dirk, "Lorenz von Stein und die Geschichte der sozialen Bewegung in
Deutschland", h. 11-17
5b. Richter, Bodo, "Lorenz von Stein Gedanken zur Deutschen Einheit", h. 75-80
6. Stammen, Theo/Riescher, Gisela/Hofmann, Wilhelm (Hrsg.), Hauptwerke der politischen Theorie, Stuttgart: Kröner, 1997
7. Uhl, Herbert, Lorenz von Stein und Karl Marx, Zur Grundlegung von Gesellschaftsanalyse und politischer Theorie 1842 - 1850, Dissertation, Tübingen 1977

Tidak ada komentar:

Posting Komentar