Minggu, 30 Mei 2010

test

ok

Apa kata dunia???(modus kejahatan pajak)

D bloggers pasti kalau melihat iklan Direktorat Pajak di tv yang kalimatnya Hari ini ga ngisi SPT “Apa Kata Dunia??” Kalimat yang populer oleh Deddy mizwar dalam film Nagabonar itu yang sudah dikomersilkan di iklan-iklan di sebagai cara mengikat warga Indonesia agar tertib serta sadar untuk membayar pajak diseluruh media televisi dan koran sepertinya kalah dengan pengaruh berita yang selalu tampil di media tv yang menyeret nama pegawai kantor konsultan pajak pegawai pajak Gayus tambunan dengan dugaan markus (makelar kasus) (TV one 28/03). Berawal dari Susno Duadji membeberkan mafia kasus di tubuh Polri, khususnya yang terkait kasus penggelapan pajak Rp 24,6 miliar yang melibatkan perwira tinggi Polri berbintang satu. Tampaknya, apa yang dipaparkan Susno bukan sekadar gosip. Ada fakta yang mulai terungkap ke publik dengan disebutnya nama Gayus Tambunan.Di luar urusan motivasi mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji dalam memberi informasi terkait makelar kasus di tubuh Polri, pernyataannya perlu didengar secara serius untuk mendorong reformasi birokrasi di tubuh Polri (kompas 27/03/2010). .POLRI merencanakan memeriksa Gayus terkait aliran dana Rp 24,6 miliar. Bahkan, Kapolri akan membentuk tim independen untuk menyidik ulang mafia kasus pajak yang dilakukan Gayus Tambunan.Tulisan ini lebih membidik ke modus kejahatan pajak, yang jarang diungkap ke publik. Kejahatan pajak masuk white collar crime (kejahatan kerah putih)yang pelakunya memiliki penghasilan tinggi, berpendidikan, memegang jabatan-jabatan terhormat di masyarakat. Dalam penulisan ini akan dibahas masalah modus kejahatan pajak dengan cara memanipulasi tanda bukti pembayaran pajak berupa SSP (surat setoran pajak ) yang disetorkan melalui bank.Kejahatan Pajak menjurus kearah Extra ordinary economic crime, yang juga merupakan bagian dari white collar crime namun lebih memiliki kekhususan karena merupakan kejahatan ekonomi di luar kebiasaan (bersifat luar biasa), karena sangat merugikan perekonomian negara dan dapat menimbulkan gejolak sosial(contohnya ada gerakan anti membayar pajak pada situs pertemanan di face book).
Menurut Prof. Dr. Muladi, S.H., kejahatan ekonomi (pajak) ini merupakan ciri yang menonjol dari kejahatan terhadap pembangunan masyarakat, bangsa-bangsa di dunia, baik dalam masyarakat yang sudah maju/modern maupun yang sedang mengalami perkembangan ke arah modernisasi karena kejahatan ini sangat luas dan dapat melampaui batas-batas teritorial. Kejahatan pajak yang bermotif ekonomi ini mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan di bidang perekonomian masyarakat dan keuangan negara yang sehat serta menimbulkan kerugian (bagi negara dan masyarakat) dalam skala yang sangat besar sebagai contoh konkrit adalah kejahatan pajak yang dilakukan oleh pegawai kantor konsultan pajak pegawai pajak Gayus tambunan yang sedang menjadi pembicaraan saat ini
Sejak zaman Romawi kuno para pemungut pajak atau cukai menjadi cibiran publik. Di negeri kita juga sudah menjadi rahasia umum, para pegawai pajak dicemburi publik dalam menjalankan pekerjaannya. Mereka seperti mendapat ”cap” tega mengembat uang pajak.Bahkan, para wajib pajak yang harus membayar pajak dalam jumlah besar sering menjadi sasaran para oknum pegawai pajak (baca penjahat pajak). Akibatnya, para wajib pajak tidak membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, kewajiban pajak yang berjumlah sangat besar bisa diatur sedemikain rupa sehingga jumlahnya menjadi kecil. Wajib pajak pun selamat dari tuduhan menggelapkan pajak. Namun, negara dirugikan. Mengingat, jumlah pajak yang masuk ke khas negara berkurang. Sedangkan rekening oknum pegawai pajak bertambah. Maklum, dia sudah mendapat gaji dari pemerintah dan juga mendapat ”gaji tidak resmi” dari para wajib pajak yang berhasil dirayu untuk berkolusi mengemplang pajak. Dalam konteks itu, wajib pajak juga sudah melakukan kejahatan pajak.Umumnya, oknum pegawai pajak yang menjadi penjahat pajak tidak sendirian. Dia bersekongkol dengan berbagai pihak, termasuk polisi atau jaksa, seperti tampak dari cara kerja Gayus. Kejahatan pajak memang sering berantai dengan melibatkan banyak orang dan berlangsung sangat rapi. Tepat bila ada yang mengatakan bahwa di negeri kita juga ada mafia pajak.
Yang penting diperhatikan, para oknum pegawai pajak yang menjadi penjahat pajak tidak langsung mengambil uang dari pajak yang dibayarkan para wajib pajak. Jangan lupa, uang pembayaran pajak langsung disetor lewat bank atau kantor pos. Lewat tanda bukti pembayaran berupa surat setoran pajak (SSP) dilampirkan dalam SPT, surat pemberitahuan untuk dilaporkan di kantor pajak.
Jadi, petugas pajak hanya administrator. Kejahatan pajak terjadi ketika ada manipulasi pembayaran pajak dengan SSP palsu maupun dengan pelaporan SPT yang tidak benar. Kejahatan bisa terjadi karena ada persekongkolan antara wajib pajak (seperti pengusaha) dan pegawai pajak. Dalam hal itu, peran masyarakat untuk melakukan pengawasan sangat diperlukan.
Yang memprihatinkan, praktik kejahatan pajak rupanya sudah sangat lama berlangsung di negeri ini. Anehnya, banyak kasus terkait kejahatan pajak sering berakhir damai di pengadilan, sebagaimana nasib Gayus. Maklum, meski sudah ada gerakan reformasi sejak 1998, reformasi di sektor pajak nyaris tidak pernah dilakukan.
Karena itu, agaknya pemerintah jangan hanya membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, tapi juga mendesak dibentuk Satgas Mafia Kejahatan Pajak. Masyarakat juga bisa berperan dalam hal itu.
Pembentukan Satgas Mafia Kejahatan Pajak seperti dilakukan Jerman atau Italia penting untuk memulihkan kepercayaan publik yang kian tipis seiring terkuaknya kejahatan pajak yang dilakukan Gayus. Simak saja, kini muncul gerakan boikot bayar pajak untuk keadilan. Munculnya gerakan itu jelas merupakan bentuk ketidakpercayaan publik kepada para pegawai pajak.
Jika gerakan tersebut kian mendapat dukungan, tentu saja kampanye kesadaran membayar pajak yang digembar-gemborkan Dirjen Pajak menjadi mubazir. Padahal, pajak memang diperlukan oleh negara untuk membangun pelabuhan, jalan, jembatan, dan berbagai fasilitas umum yang lain. Sekitar 70 persen dari APBN atau APBD diambilkan dari pajak. Semua gaji PNS, termasuk pegawai pajak atau gaji TNI dan polisi, diambilkan dari APBN yang mayoritas berasal dari pajak.
Berdasar informasi, total pajak pada 2009 mencapai Rp 565,77 triliun atau 97,99 persen dari target yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2009. Pada 2010 ini, penerimaan pajak ditargetkan Rp 658,24 triliun.Sebagai kejahatan kerah putih, kejahatan pajak umumnya melibatkan para birokrat pajak atau kaum berdasi dari korporasi (bersama-sama dan terorganisir dengan baik)yang menyebabkan keuangan negara dirugikan, sebagaimana diungkapkan pakar pajak dunia Jack Townsend.Saat ini Gayus sudah ditahan di mabes Polri setelah kasusnya menjadi sorotan publik. Gayus adalah orang kaya baru setelah melakukan kejahatan pajak. Sebagai pegawai golongan III, Gayus paling bergaji sekitar Rp 10 juta. Tapi, rumah mewahnya di kompleks Kelapa Gading, Jakarta Utara, berharga miliaran rupiah(bisa dilihat di media Indonesia). Sore tadi saat dengar pendapat Komjen Susno dengan Komisi III DPR- RI mengungkapkan ada pidana baru lagi dengan modus yang sama dengan MARKUS yang sama mari sama-sama kita lihat perkembangan penyidikan kasus Gayus ini yang sudah melibatkan seluruh penegak hukum di negeri ini .Mudah-mudahan ada dampak positif dari kasus ini bisa menjadi merubah kultur (life style) dari para penegak hukum dan petugas pajak supaya tidak menyalahgunakan kewenangan

Jumat, 28 Mei 2010

Review Hutang Indonesia Dibanding Hutang Negara Lain

Sebelum menimbang dan memutuskan ulasan saya nanti, silahkan renungkan terlebih dahulu ilustrasi berikut ini :

Ilustrasi Pertama,

Saya memiliki warisan harta yang cukup besar, namun penghasilan saya tidak sanggup menanggung beban keluarga yang sangat banyak dan cukup dinamis, mau tak mau saya harus utang ke orang lain, sekedar untuk menutup defisit anggaran belanja rumah tangga saya, syukur-syukur bisa untuk modal menambah penghasilan keluarga saya. Dan sumpah saya adalah tidak akan menjual harta warisan yang sangat bernilai itu hanya untuk menutup defisit keuangan keluarga saya tersebut.

Ilustrasi Kedua,

Hampir seluruh negara di dunia saat ini mempunyai utang. Utang memang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara ketika ekonominya melambat, ketika mengalami resesi, menutup kekurangan pembiayaan anggaran, ketika sumber pendapatan dari dalam negeri mengalami masalah akibat keadaan ekonomi yang buruk, maupun untuk membangun proyek infrastruktur besar dimana swasta sulit diharapkan keterlibatannya. Sering kali keuntungan secara komersial dari investasi semacam ini kecil. Namun, dampak realisasi investasi terhadap kesejahteraan masyarakat, keuntungan pelaku bisnis secara tidak langsung, maupun keadaan perekonomian secara keseluruhan biasanya besar.

Ilustrasi Ketiga,

“Setiap bayi yang lahir dan berkewarganegaraan Indonesia kini sudah harus nanggung utang sebesar tujuh juta rupiah”

Penjelasan :

Awal April 2009 menjelang pesta demokrasi Indonesia lalu, masyarakat kita kembali dibingungkan oleh informasi mengenai utang luar negeri yang disebut-sebut tertinggi sepanjang sejarah. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh ekonom Tim Indonesia Bangkit (TIB), posisi jumlah utang luar negeri RI per Februari 2009 mencapai Rp 1.667 triliun atau setara dengan 65,72 juta dolar AS.

Seperti dikatakan calon presiden yang juga ketua TIB Rizal Ramli waktu itu, bahwa dalam lima tahun terakhir jumlah utang Indonesia meningkat sebesar 31 persen dari Rp 1.275 triliun pada Desember 2003 menjadi Rp 1.667 triliun pada bulan Januari 2009 atau naik kurang lebih sebesar Rp 392 triliun.

Selain itu, dalam perhitungan secara beban utang per kapita, beban utang meningkat dari Rp 5,8 juta per orang per tahun menjadi Rp 7,7 juta per orang per tahun. Dengan kata lain beban masyarakat menjadi lebih besar karena pertambahan beban utang. Ujung-ujungnya, TIB lalu meminta pemerintah, dalam hal ini Presiden mencabut iklan partainya yang mengklaim berhasil menurunkan utang Indonesia.

Sekedar catatan, kenaikan utang Indonesia yang signifikan terjadi setelah krisis moneter 1997/1998 lalu. Kenaikan ini terjadi dalam rangka untuk membiayai BLBI dan menyelamatkan perbankan nasional. Pada saat yang bersamaan, pelemahan rupiah terhadap dollar AS sebagai standar kurs utang waktu itu, membuat utang luar negeri kita berlipat-lipat dalam waktu singkat. Utang negara ini naik dari sekitar Rp 129 triliun pada tahun 1996 menjadi sekitar Rp 1.234 triliun pada tahun 2000, atau berlipat sepuluh kali lipat.

Sebagai masyarakat tentu kita harus mampu melihat secara kritis. Dalam hal utang tersebut, terkesan perhitungan utang per kapita dan nominal utang kita meningkat. Namun perlu dingat pengukuran yang sering digunakan untuk menganalisis utang luar negeri adalah membandingkannya dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Pengukuran rasio utang terhadap PDB merupakan normal practice yang umum digunakan dalam analisa ekonomi secara internasional. Karena utang luar negeri suatu negara dibutuhkan salah satunya untuk mengatasi masalah defisit anggaran negara maupun untuk menstimulus perekonomian. Dan PDB adalah indikator yang tepat untuk mengukur besaran aktivitas perekonomian yang ikut distimulus, salah satunya oleh utang tersebut.

Berdasarkan rasio utang luar negeri terhadap PDB, posisi utang Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini tercatat turun tajam. Dari sekitar 88 % pada tahun 2000, lalu turun menjadi 56 % pada tahun 2004, dan pada tahun 2009 lalu, rasio tersebut semakin turun hingga sekitar 32 persen. (www.cdt31.org)

Bagaimana dengan negara lain?

Sebenarnya beberapa negara juga menerbitkan surat utang untuk membiayai kegiatan negaranya. Pemerintah Amerika Serikat misalnya, ketika pecah Perang Dunia Kedua, mereka menerbitkan surat utang dalam jumlah yang sangat besar untuk membiayai pasukannya dalam medan perang. Utang pemerintah AS mengalami kenaikan dari 59 milyar dollar pada tahun 1940 menjadi sekitar 260 milyar dollar setelah perang tersebut usai. Begitu juga pemerintah Australia pun menerbitkan utang untuk membiayai keterlibatannya pada Perang Dunia Pertama dan Kedua. Bisa dibayangkan, untuk sekedar biaya perang saja mereka rela utang dalam jumlah besar, apalagi untuk memberi makan rakyatnya.

Di sini saya tidak akan membicarakan nominal jumlah utangnya, karena jika data itu yang jadi patokan sama saja saya berpikir sebagai berikut :


data 1: masyarakat di kota A berpenghasilan rata-rata Rp 10 juta per bulan
data 2: masyarakat di kota B berpenghasilan rata-rata Rp 1 juta per bulan

simpulan : penghasilan rata-rata kedua kota itu sebesar Rp 5,5 juta per bulan (11 juta/2).

Secara matematis perhitungan tersebut memang benar, tapi jika dihadapkan pada data statistik, sudah dapat dipastikan dosen saya akan memberi nilai E, karena itu data palsu, tidak sesuai parameter ilmu statistika, jadi tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Saya yakin Rizal Ramli yang pernah menjabat Menteri Keuangan era Presiden Abdurrahman Wahid sangat paham akan hal itu, namun karena momennya pas menjelang pemilu 2009, konteks langsung berubah. Lucunya, data tentang nominal hutang itu dikutip media massa tanpa penjelasan, adakah upaya penggiringan opini publik? Saya tidak perlu menjawabnya.

Saya akan mengulas nominal utang tersebut berdasar normal practice yang dijadikan patokan ekonomi internasional saja, yaitu perhitungan rasio utang terhadap PDB suatu negara.

Untuk rasio utang negara Indonesia terhadap PDB-nya silahkan lihat grafik-grafik di bawah :

Rasio utang pemerintah terhadap PDB

Rasio utang pemerintah terhadap PDB

Keterangan :

Pada tahun 2000, sewaktu proses rekapitalisasi perbankan rampung, utang Pemerintah mencapai Rp 1.226,1 triliun (setara USD 60,8 miliar pada waktu itu) atau sekitar 96 % dari PDB. Hingga tahun 2009 rasio itu turun hingga mencapai 30 % dari PDB, diharapkan tahun-tahun ke depan akan seperti itu trendnya.

Rasio utang pemerintah tahun 2009 turun menjadi 30 persen, melampaui target yang ditetapkan 31,8 persen. Rasio utang Indonesia terus turun, dari tahun 2000 yang mencapai 89 persen.
Depkeu RI)

Perkembangan Utang Indonesia (sumber : Depkeu RI)


“Keberhasilan pemerintah menurunkan rasio utang pada 2009 menjadi 30 persen, tercapai seiring kenaikan nilai tukar rupiah,”kata Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Lukita Dinarsyah Tuwo di Jakarta baru-baru ini.

Sementara itu, rincian pinjaman yang diperoleh pemerintah pusat hingga akhir Oktober 2009 adalah utang bilateral USD42,6 miliar, utang multilateral USD20,78 miliar,dan utang komersial USD2,2 miliar. Secara jumlah,utang Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Namun secara rasio terhadap produk domestik bruto (PDB), utang terus menurun. Tercatat, utang pemerintah pusat sejak tahun 2005 berikut rasio utang terhadap PDB menunjukkan perkembangan positif. Secara berturut-turut, utang pemerintah mengalami penurunan. Pada 2005 utang pemerintah tercatat sebesar Rp1.313,29 triliun (47 %), tahun 2006 Rp1.302,16 triliun (39 %), tahun 2007 Rp1.389,41 triliun (35 %) dan pada 2008 Rp1.636,74 triliun (33 %). Sumber : http://economy.okezone.com/read/2010/01/04/20/290523/rasio-utang-indonesia-terus-turun

Secara ringkas begini perkembangannya :

* Tahun 2000: Rp 1.234,28 triliun (89%)
* Tahun 2001: Rp 1.273,18 triliun (77%)
* Tahun 2002: Rp 1.225,15 triliun (67%)
* Tahun 2003: Rp 1.232,04 triliun (61%)
* Tahun 2004: Rp 1.299,50 triliun (57%)
* Tahun 2005: Rp 1.313,29 triliun (47%)
* Tahun 2006: Rp 1.302,16 triliun (39%)
* Tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (35%)
* Tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (33%)
* September 2009 : Rp 1.604,69 triliun (30%)
* Oktober 2009 : Rp 1602,19 triliun (30%)
* November 2009 : Rp 1.618,54 triliun (30%)

Bandingkan dengan rasio utang negara lain terhadap PDB-nya.

Kemampuan maupun kemauan sering kali dilihat dari beberapa variabel makro ekonomi. Salah satu ukuran ekonomi yang sering digunakan adalah rasio utang terhadap PDB. Semakin kecil rasio ini, semakin mampu suatu negara untuk membayar utangnya, dan semakin aman berinvestasi di negara tersebut.

Secara teoritis, tidak ada batasan yang pasti untuk mengatakan rasio utang suatu negara sudah mencapai level yang membahayakan atau tidak. Akan tetapi, negara-negara Eropa bersepakat bahwa rasio utang maksimal yang dapat diterima adalah 60 % dari PDB.
Indonesia dibandingkan Negara Tetangga

Indonesia dibandingkan Negara Tetangga

Dilihat dari ukuran ini, keadaan utang Indonesia untuk saat ini masih cukup baik. Dibandingkan dengan negara tetangga pun, keadaan utang kita masih lebih baik. Rasio utang terhadap PDB Malaysia, misalnya, diperkirakan akan berada pada level 41,6 %. Untuk Thailand rasio ini diperkirakan akan berada pada level 39,9 % pada tahun 2009 lalu.

Indonesia dibanding Negara G-20

Indonesia dibanding Negara G-20

Jadi, dari ukuran rasio ini utang Indonesia masih dalam keadaan yang amat aman.

Ukuran lain yang sering digunakan untuk menilai kesinambungan fiskal suatu negara (sekaligus kemampuan membayar utangnya) adalah rasio defisit terhadap PDB. Sekali lagi, secara teoritis tidak ada patokan jangka pendek yang pasti untuk menentukan keadaan fiskal (anggaran) yang aman untuk suatu negara. Namun, negara-negara di Eropa membatasi rasio defisit anggaran maksimum terhadap PDB pada angka 3 %.

Keadaan fiskal Indonesia dilihat dari ukuran ini pun cukup baik. Rasio utang terhadap PDB Indonsia dalam beberapa tahun terakhir ini senantiasa berada di bawah 3 %. Pada tahun 2009 lalu, dengan stimulus fiskal yang besar, rasio defisit terhadap PDB Indonesia masih berada pada kisaran 2,5 %.

surplus atau defisit yang terjadi pada anggaran sebelum pembayaran bunga utang

surplus atau defisit yang terjadi pada anggaran sebelum pembayaran bunga utang

Sebaliknya, keadaan utang negara-negara maju saat ini banyak yang melewati batas prinsip kehati-hatian. Rasio utang terhadap PDB Jepang, misalnya mencapai 217,2 % pada tahun 2009 lalu. Sedangkan AS mencapai 87,0 %. Sebelumnya Central Intellegence Agency (CIA) merilis daftar Public Debt, Country Comparison, jika Zimbabwe dan Jepang berada di posisi satu dan dua untuk ukuran rasio utang terhadap PDB-nya dengan rasio 241,20 % dan 170,40 %, Indonesia berada jauh di bawah, yaitu peringkat 73 dengan rasio hanya 30,10 %. (klik foto untuk memperbesar).

Public Debt, Country Comparison

Data CIA : Public Debt, Country Comparison

Catatan :

* Sejak 2008, opini BPK terhadap Laporan Keuangan seluruh bagian anggaran (BA) terkait Pengelolaan Utang yang terdiri pembayaran biaya utang (BA-061), pembayaran cicilan pokok utang luar negeri (BA-096), dan pembayaran pokok surat berharga negara (BA-097) adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP);
* Menurut BPK, akuntabilitas kinerja pengelolaan utang membaik dari segi Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan kepatuhan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku;
* Pengelolaan APBN dan utang Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan negara lain, misalnya dalam indicator rasio utang terhadap PDB, PDB per kapita dan rasio utang terhadap Penerimaan Negara.
* Jika ingin mengetahui variable atau parameter apa saja tentang metodologi statistik, silahkan berkunjung ke situs resmi Badan Pusat Statistik (bps.go.id)
* Jika ingin mengetahui variable ekonomi dan pergerakannya, silahkan berkunjung ke situs resmi Departemen Keuangan (depkeu.go.id)
* Apakah anda masih mau diombang-ambingkan opini? Silahkan berkunjung ke rumah nurani kita.

(diolah dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan)

Epilog :

Saya kira ilustrasi ketiga di atas hanya tulisan iseng anak SD, benar namun kurang tepat untuk ukuran sebuah ekonomi nasional dan internasional, karena setiap negara sudah pasti akan terlibat ilustrasi kedua, termasuk terjadi pada setiap rumah tangga pada ilustrasi pertama tersebut. Kalau belum percaya tanyakan kepada pegawai negeri dan swasta rendahan, jangan kepada anggota dewan yang terhormat, mereka tidak mempunyai SK-PNS atau SK-Karyawan (untuk digadaikan).