Jumat, 24 Juni 2011

FEMINISME MUSLIM DI INDONESIA

FEMINISME MUSLIM DI INDONESIA



Abstract

Artikel ini membahas tentang feminisme muslim di Indonesia selama satu dekade (1990-2000). Wacana dan gerakan feminisme merupakan fenomena baru di Indonesia. Yang berkembang sebelumnya adalah emansipasi wanita, sebagai buah dari perjuangan perempuan semenjak Kartini. Feminisme baru muncul secara signifikan selama sepuluh tahun terakhir. Meskipun begitu, feminisme telah melahirkan organisasi-organisasi peremnpuan di Indonesia seperti Rahima, kalyanamitra dan rifka Annisa. Masuknya feminisme ke Indonesia dipengaruhi oleh adanya kontak langsung antara aktivis perempuan di Indonesia dengan aktivis perempuan dari Negara-negara lain di dunia, dan juga literature feminis dari luar. Sebagai sebuah fenomena baru, kehadirannya di Indonesia diresponse dengan beragam baik dalam bentuk watak maupun aliran. Gerakan Feminisme telah melahirkan aliran dan para pemikir tentang isu perempuan dan aktivis perempuan. Dari sini muncullah para feminis beraliran konservatif seperti Zakiyah Darajat dan Ratna Megawangi, dan feminis modern seperti Wardah Hafidz, Masdar Farid Mas’udi, Husein Muhammad dan Nazarudin Umar. Selain para pemikir, telah lahir pula para aktivis perempuan di Indonesia seperti Lies Marcoes Natsir dan Farha Ciciek.


Pendahuluan

Revitalisasi umat Islam dan isu-isu perempuan dimulai pada tahun 1990-an; pembaruan Islam sebagaimana disebutkan di atas sejalan dengan revitalisasi. Sebagai contoh, pada tahun 1991 INIS (the Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies) mengadakan seminar nasional dengan tema “The Indonesian Muslim Woman studied from a Textual and Contextual Point of View”. Seminar ini mencoba untuk memulai pembahasan yang lebih luas tentang Islam dan isu-isu perempuan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan konfigurasi perempuan muslim di Indonesia dan untuk melibatkan sejumlah perwakilan perempuan dari seluruh IAIN, lembaga-lembaga perempuan Islam, sarjanasarjana Indonesia, para peneliti, pelajar dan lainnya.



Organisasi-organisasi tersebut adalah organisasi perempuan yang berafiliasi kepada organisasi Islam; Aisyiah organisasi perempuan Muhammadiyah, Persistri organisasi perempuan Persis dan Muslimat NU organisasi perempuan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi-organisasi kaum perempuan ini mempunyai kecenderungan untuk mengikuti cara fakir organisasi Islam induknya. Setelah Indonesia merdeka, sejumlah gerakan kaum perempuan Islam meningkat tajam: sebagai contoh, pada tahun 1967, kaum perempuan Islam mendirikan BMOPII (Badan Musyawarah Organisasi Perempuan Islam Indonesia), yang pada tahun 1969 berubah menjadi BMOWI (Badan Musyawarah Organisasi Wanita Islam Indonesia). Organisasi ini berfungsi untuk memantapkan peranan gerakan perempuan, khususnya yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan agama.
Namun demikian, beberapa aktivis perempuan, khususnya para aktivis LSM menolak kementrian ini. Mereka menyatakan bahwa sesungguhnya kementerian wanita tidak bertujuan untuk memberdayakan perempuan, tetapi hanya untuk menegaskan bagaimana kaum perempuan seharusnya memposisikan diri mereka untuk mendukung suami-suami mereka. Dengan demikian, kaum perempuan tetap menempati posisi kedua. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia; untuk informasi portfolio tentang urusan wanita, kita bisa merujuk pada hasil laporan PBB tahun 1991 yang hanya menunjukkan sangat sedikit kaum perempuan yang dipilih untuk menempati posisi yang merefleksikan peranan yang sering dilakukan perempuan hanya dalam ruang privat, seperti perempuan sering diberi tanggungjawab untuk masalah kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan urusan-urusan perempuan.
Revitalisasi umat Islam dan isu-isu perempuan dimulai pada tahun 1990-an; pembaruan Islam sebagaimana disebutkan di atas sejalan dengan revitalisasi. Sebagai contoh, pada tahun 1991 INIS (the Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies) mengadakan seminar nasional dengan tema “The Indonesian Muslim Woman studied from a Textual and Contextual Point of View”. Seminar ini mencoba untuk memulai pembahasan yang lebih luas tentang Islam dan isu-isu perempuan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan konfigurasi perempuan muslim di Indonesia dan untuk melibatkan sejumlah perwakilan perempuan dari seluruh IAIN, lembaga-lembaga perempuan Islam, sarjanasarjana Indonesia, para peneliti, pelajar dan lainnya.
Selama periode ini, telah didirikan sejumlah organisasi perempuan Islam dan terjadi peristiwa-peristiwa penting lain. Pada tahun 1990, di Yogyakarta, didirikan beberapa yayasan seperti Rifka Anisa sebagai pusat pengaduan perempuan (WCC/Woman Crisis Center) dan juga LSPPA (Lembaga Studi Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Pada tahun 1994, Muslimat NU Jakarta membentuk Kelompok Kajian Perempuan dan Islam dan menerbitkan sebuah buku mengenai emansipasi wanita. Pada tahun yang sama, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) meluncurkan program Fiqh al-Nisa. Program ini bertujuan untuk memperkuat hak-hak kaum perempuan dan status mereka dalam Islam. Kegiatan ini dijalankan melalui halaqah (pelatihan) dengan didukung penerbitan brosur, poster dan buku..

A. Feminisme di Indonesia
1. Pengertian Feminisme
Feminisme merupakan istilah baru di Indonesia. Kaum perempuan Indonesia lebih familiar dengan istilah emansipasi untuk menyebut gerakan perempuan. Emansipasi diilhami oleh perjuangan Kartini pada akhir abad ke 19. Karena menyoal konsep Indonesia yang mendasar, feminisme dapat menimbulkan kebingungan dan menjadi kata yang menakutkan.
Ini karena konsep mengenai feminisme masih diasumsikan sebagai nilai Barat sehingga tidak sesuai dengan konteks Indonesia Sekarang, konsep feminisme tetap problematik bagi sebagian perempuan Indonesia, khususnya mereka yang tidak faham dengan isu-isu perempuan atau yang tidak akrab dengan perkembangan feminisme di Barat. Seorang Feminis Indonesia, Wardah Hafidz, mengkritik orang-orang yang menyalah artikan kata feminis, atau terkadang menggeneralisasi dan mengasosiasikan kata feminine dan feminisme sebagai konsep yang sama karena adanya kemiripan dalam pengucapan.
Sebagaimana disebutkan di atas, perjuangan kaum perempuan lebih dikenal sebagai emansipasi perempuan. Istilah ini diterapkan pada perjuangan Kartini pada akhir abad ke sembilan belas di Jepara, Jawa Tengah. Kartini dikenal sebagai pahlawan Indonesia yang berjuang untuk isu-isu perempuan khususnya di bidang pendidikan dan emansipasi. Selanjutnya, kata emansipasi digunakan secara luas sebelum penggunaan kata feminisme menjadi umum digunakan, karena emansipasi hanya mempunyai tujuan terbatas dan mempunyai persamaan terhadap sebagian nilai yang ada pada feminisme. Kartini mendirikan sekolah untuk kaum perempuan di mana dia dan saudara-saudara perempuannya mengajar. Dia mendidik mereka untuk berfikir bagaimana perempuan dapat mengatur dirinya agar tidak terlalu tergantung pada laki-laki dalam sistem masyarakat sangat patriakhal. Kartini menempatkan persoalan-persoalan perempuan dalam konteksnya seperti tantangan nyata penindasan terhadap perempuan dianggap sebagai bagian dari sistem budaya. Inlah alasan mengapa Kartini memilih pendidikan sebagai strategi utama untuk memecahkan persoalan dan tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran perempuan. Perlu dicatat di sini bahwa setelah Kartini, gerakan perempuan menjadi cukup yakin mengenai peran mereka baik secara individual maupun kolektif. Sejarah Indonesia mencatat Dewi Sartika mendirikan sekolah untuk kaum perempuan di Jawa Barat. Terdapat juga perempuan di Aceh dan Sumatra yang berjuang untuk gerakan perempuan. Sementara itu, beberapa organisasi seperti Muslimat NU, Aisyiyah, PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia), WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia) dan lainnya telah memainkan peranan yang penting semenjak didirikan sampai sekarang. Dalam perkembangan ini, beberapa tokoh seperti Lies Marcoes, Saparinah Sadli, Masdar Mas’udi, Nursyahbany Katjasungkana dan lain-lain tetap memberi perhatian terhadap isu-isu perempuan, berjuang melalui berbagai bidang seperti advokasi dan pelatihan atau dengan menerbitkan jurnal dan menulis buku untuk merevitalisasi kesadaran perempuan. Dari pembahasan ini, kita dapat menentukan bahwa kaum feminis dalam konteks Indonesia adalah mereka, baik laki-laki maupun perempuan yang berjuang untuk hak-hak perempuan.
Kita dapat mengidentifikasi dua fase: masa lalu, dari 1928 sampai 1979, dan masa kini dari tahun 1980 sampai sekarang. Perempuan Indonesian telah memainkan peranan penting pada masa lalu dan masa kini. Pada masa lalu, konggres perempuan tahun 1928 dapat dilihat sebagai titik kulminasi yang sangat penting bagi perjuangan perempuan. Dalam upacara pembukaan, Soekarno berpidato dan menyatakan bahwa kaum perempuan harus bersatu dengan seluruh kelompok bangsa berjuang melawan kolonialisme. Soekarno menegaskan bahwa ketika Indonesia merdeka, emansipasi harus segera mungkin diwujudkan. Karena peran serta perempuan sama dengan laki-laki, kaum perempuan juga memberikan kontribusi terhadap setiap bagian dari konstitusi Indonesia. Sebagai hasil, konstitusi Indonesia diwarnai dengan semangat persamaan. Tetapi semangat ini tidak terwujudkan dalam penerapan. Penindasan terhadap perempuan berlanjut, hususnya dalam lembaga-lembaga perkawinan dan keluarga. Sebagai contoh, poligami yang dilakukan oleh Soekarno menjadi kasus yang penting. Banyak kaum perempuan menyatakan menentang tindakan tersebut dan mendesak untuk membuat undang-undang perkawinan. Akhirnya, setelah berjuang semenjak tahun 1928, perjuangan perempuan berhasil ketika pemerintah membuat undang-undang perkawinan pada tahun 1974. Meskipun undang-undang tersebut belum sempurna sebagai undang-undang perkawinan, perlindungan terhadap hak perempuan dan kesejahteraan keluarga lebih baik dibanding sebelumnya. Di bawah UUD 1945 dan peraturan lainnya, laki-laki dan perempuan setara. Tetapi ini hanya de jure, secara defacto tetap saja terjadi ketidakadilan dan berakibat pada kesengsaraan perempuan. Sebagai contoh, dalam bidang ekonomi pekerja perempuan tetap menerima upah yang lebih sedikit dibanding laki-laki, meskipun pekerjaannya sama.
Semenjak itu, gerakan kaum perempuan merubah strategi: Pada permulaan 1980 didirikan sebuah LSM perempuan. Ini diikuti oleh beberapa kelompok yang memberi perhatian terhadap kajian-kajian mengenai perempuan di beberapa universitas di beberapa tempat. Masih pada tahun 1980, IAIN mendirikan pusat studi wanita (PSW): pada saat itu terdapat 14 IAIN di Indonesia.
Kondisi ini mendukung institusionalisasi kajian wanita secara formal. Pertama kali di Indonesia, pada awal 1990, Universitas Indonesia meluncurkan kajian wanita dan membuka program master. Sembilan tahun kemudian, program ini masih menjadi satu-satunya program master dalam kajian perempuan di Indonesia. Sebuah buku yang popular di kalangan feminis yang berjudul Men doing Feminism akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan. Karena feminisme merupakan fenomena baru di Indonesia, banyak kaum laki-laki memberi perhatian terhadap isu-isu perempuan. Beberapa di antara mereka bekerja untuk LSM yang memberi perhatian pada pemberdayaan perempuan atau menulis artikel dan buku. Apakah mereka feminis? Atau mereka hanya melakukan untuk karir mereka?



2. Islam dan Feminisme
Dalam beberapa aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, pendidikan, al-Quran dengan jelas menggambarkan hak-hak asasi manusia tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Al-Quran menegaskan bahwa Muslim harus mencari ilmu pengetahuan, seperti dalam al-Qur’an: “Katakanlah: Ya Tuhan, tingkatkanlah ilmu pengetahuanku”, dan setiap Muslim hafal dengan sabda Nabi yang menyatakan:: ‘Carilah ilmu pengetahuan meski ke negeri Cina’. Para sarjana perempuan muslim tentu saja dapat dicatat dari permulaan Islam. Aisyah dan Hafsah isteri Nabi, dan beberapa Sahabat Nabi adalah beberapa contoh di antara mereka. Sejarah juga mencatat bahwa orang yang pertama percaya mengenai wahyu dan ajaran Islam adalah Khadija, isteri Muhammad dan beberapa Sahabat Nabi yang lain seperti Shafiyah, Laila al-Ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah dan lain-lain. Karena alasan ini, Lisa Beyer menyatakan:
“Untuk zamannya, Nabi Muhammad adalah seorang feminis. Doktrin yang dia nyatakan sebagai firman Tuhan yang diwahyukan, jelas telah meningkatkan status perempuan pada abad 7 Masehi di Arab. Pada masyarakat Arab yang pagan, telah menjadi kebiasaan untuk mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang tidak dikehendaki. Islam melarang praktek ini. Perempuan diperlakukan sebagai harta dari suami mereka; hukum Islam menjadikan pendidikan bagi anak perempuan sebagai kewajiban suci dan memberikan hak kepada perempuan untuk memiliki dan mewarisi harta”
Perempuan dengan hak politik juga terjadi dalam sejarah Indonesia. Kerajaan Aceh, sebagai contoh, diperintah oleh beberapa sultanah (sultan perempuan) seperti Safiatudin (1641-1675), Naqiatudin (1675-1677), Zakiyatudin Inayat Shah (1677-1688) dan Sri Ratu Kemalat Shah (1688-1699). Di Asia, perempuan Muslimah telah menjabat sebagai perdana menteri dan presiden seperti Benazir Bhutto di Pakistan, Sheikh Hasina dan Khalida Zia di Bangladesh, dan Megawati di Indonesia.
Terdapat periode yang disebut dengan zaman kegelapan perempuan, karena perempuan dalam kondisi tertindas, hidup di harem-harem, dan tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan publik. Kondisi ini telah mengantarkan Aisha Bewley untuk melakukan investigasi dan melakukan kritik terhadap periode ini serta dengan hati-hati menjelaskan beberapa factor. Di antara factor tersebut terlihat berasal dari luar komunitas Muslim dan beberapa yang lain dari dalam. 1) penerapan kembali sistem patriarkhi pra Islam 2) pengadopsian dan emulasi praktek-praktek masyarakat pra Islam yang terjajah (Byzantium, Persia dan Hindu); sebagai contoh, pengadopsian praktek gynaeceum pada masyarakat Bizantium yang menjadi harem pada masa Ottoman 3) infiltrasi gagasan dari Barat, termasuk pandangan perempuan inferior (yang merupakan status perempuan di Barat dan baru dihapus belum lama ini) 4) kebijakan sebagian pemerintah colonial untuk menjadikan perempuan (dan orang-orang Muslim keseluruhan) tetap rendah 5) warisah colonial bahwa Islam adalah barbar sementara Eropa atau dunia Barat beradab dalam segala segi.
Harus dicatat secara objektif bahwa kaum laki-laki muslim juga memainkan peran penting dalam kondisi tersebut di atas. Mereka menguasai posisi-posisi politik yang penting dan menjadikan perempuan muslim tertinggal jauh di belakang laki-laki. Seperti dalam pendidikan, kontrol rejim Taliban di Afganistan adalah contohnya. Rejim ini melarang perempuan untuk mengambil bagian pada wilayah publik khususnya dalam memperoleh pendidikan. Sehingga, banyak kaum perempuan yang menghabiskan waktu hanya di rumah.
Faktor lainnya adalah penafsiran tekstual. Teks adalah milik laki-laki yang berarti bahwa nash dalam al-Quran dan hadits selalu ditafsirkan oleh laki-laki. Ini cukup berbeda dengan periode Nabi karena terdapat beberapa Sahabat perempuan seperti Aisyah, dan Ummu Salamah yang mempunyai peran dalam periwayatan hadits. Sekarang, setelah Nabi Muhammad wafat, penafsiran tekstual sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan kondisi.
Sesugguhnya tidak ada agama yang tidak mempunyai masalah berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, dan setiap agama mempunyai sistem patriarchal. Tetapi dalam konteks ini, Islam memposisikan perempuan dalam posisi yang tepat. Sebagai contoh, al-Quran mengizinkan perempuan menerima warisan setengah laki-laki, sebuah praktek waris yang sebelumnya belum pernah terjadi di Jazirah Arab. Atau di tempat lain. Sekarang, akar permasalahannya adalah, dapat dikatakan, gap antara teks sebagai sebuah kodifikasi nilai-nilai religius dengan tuntutan realitas komunitas Muslim di beberapa Negara.
Terkadang, teks seperti al-Quran dan hadits muncul untuk melegitimasi penindasan terhadap perempuan. Kita dapat menemukan contoh bagaimana ayat-ayat al-Quran berbicara mengenai isteri yang tidak setia (nushūz). Amina Wadud menyatakan bahwa teks tersebut secara nyata menambah perspektif dan kesimpulan interpretasi. Ayat tersebut mengekspose individualitas penafsiran. Amina Wadud mempertahankan alasannya dalam bukunya yang berjudul Rereading the Sacred Text from a Woman’s perspective. Dia menawarkan sebuah pendekatan hermeneutic baru untuk membaca al-Quran yang disebut female-inclusive. Sebagai contoh, dia menjelaskan kata qawwamūna ‘ala (4: 34), yang biasa difahami bahwa laki-laki adalah pemimpin atau laki-laki bertanggungjawab terhadap urusan perempuan. Dia mempertanyakan penafsiran ini: apakah semua laki-laki qawwamuna ‘ala seluruh perempuan? Dia melanjutkan dengan mengutip al-Hibri bahwa penafsiran ini tidak valid dan tidak konsisten dengan ajaran Islam yang lain karena tidak ada rujukan dalam teks ini mengenai superioritas laki-laki terhadap perempuan baik fisik atau intelektual.
Sementara itu, budaya juga mengangkat sistem patriakhal dan menyebabkan perempuan tersubordinasi. Di Bali, sebagai contoh, isteri bertanggungjawab untuk keluarga dan suami dapat melakukan apa yang diinginkan, sementara jika suami meninggal, isteri tidak akan pernah mendapatkan warisan. Begitu juga, di Malaysia, Parti Islam Malaysia (PAS) melarang perempuan mencalonkan diri sebagai calon dalam pemilihan parlemen dan pemerintahan, dengan alasan demi keamanan perempuan.’ Contoh lain juga terjadi di Bangladesh, Negara yang telah lama dipimpin oleh perdana menteri perempuan, sebuah kelompok Islam menghujat peranan perempuan dalam LSM.
Terdapat dua kelompok umat Islam tentang feminisme: Pertama, mereka yang berargumen bahwa hubungan antara perempuan muslimah dan laki-laki muslim dalam masyarakat sekarang ini sesuai dengan nilai-nilai Islami. Kedua, mereka yang berpendapat bahwa perempuan muslim sekarang hidup dalam diskriminasi dan dibawah sistem yang tidak adil, sehingga situasi ini tidak sesuai dengan prinsip dasar nilai-nilai Islam. Perempuan muslim dapat dikatakan sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai situasi di mana korban dapat dijustifikasi, tetapi penafsiran hukum direkonstruksi untuk ketidakberuntungan mereka. Perempuan muslim dibawah tekanan dan karena alasan didasarkan pada ideologi, berdasar agama, maka teks harus didekonstruksi.
Di Indonesia, perdebatan mengenai perempuan dan Islam adalah isu baru. Perdebatan ini menjadi isu yang lumrah semenjak awal 1980an. Wardah Hafidz, salah seorang yang terlibat dalam perdebatan tersebut memberikan alsan bahwa perempuan muslim di Indonesia hidup di bawah bayang-bayang langit (surga) meskipun kondisi mereka jauh lebih baik dibandingkan dengan perempuan di Arab Saudi. Dia dan banyak aktivis perempuan menyatakan bahwa, berdasarkan hasil penelitian mereka, problem perempuan Indonesia tetap masih tersembunyi dan harus segera diselesaikan.

B. Penutup
Masuknya feminisme ke Indonesia dipengaruhi oleh adanya kontak langsung antara aktivis perempuan di Indonesia dengan aktivis perempuan dari Negara-negara lain di dunia, dan juga literature feminis dari luar. Sebagai sebuah fenomena baru, kehadirannya di Indonesia diresponse dengan beragam baik dalam bentuk watak maupun aliran.
Kecenderungan aliran feminis muslim Indonesia mempunyai karakteristik lokal yang berusaha untuk menjawab ketegangan antara wahyu dan akal, idealisme dan realisme. Wahyu harus di kontekstualisasikan melalui “ijtihad gender” sebagai tindak lanjut untuk menjelaskan bahwa tidak ada ajaran Islam yang bertentangan dengan akal dan perubahan.

DAFTAR PUSTAKA


Abdul Halim Soebahar and Hamdanah Utsman, Hak Reproduksi Perempuan dalam Pandangan Kyai, Yogyakarta: Ford Foundation–Universitas Gadjah Mada, 1999.

Aisha Bewley, Islam: The Empowering of Women, London: Ta-Ha Publisher, 1999.

Amina Wadud Muhsin, “Quran and Woman” in Charles Kurzman (ed.) Liberal Islam: A Sourcebook, New York-Oxford: Oxford University Press.

J.H.Meuleman, “Analisis Buku-Buku tentang Wanita Islam yang Beredar di Indonesia”, in Marcoes-Natsir and J.H.Meuleman (eds.) Wanita Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual: Kumpulan Makalah Seminar, Jakarta: INIS, 1993.

Georgina Waylen, “Analysing Woman in the Politics of the Third World”, in Haleh Afshar (ed), Woman and Politics in the Thrid World, London: Routledge, 1996.

Masdar F. Mas’udi, Rosalia Sciortino and Lies Macoes, “Learning From Islam; Advocacy of Reproductive Rights in Indonesian Pesantren”, Studia Islamika, vol. 4 number 2, IAIN Jakarta, 1997.

Saskia Wieringa, The Politicization of Gender Relations in Indonesia; The Indonesian Women’s Movement and Gerwani Until the New Order State. Academic Proefschrift, UVA, Amsterdam. 1995.

Tita Marlita and Marilyn Porter, Feminism in Indonesia: An Analysis of the “Stepping Stones Project” in E.Kristi Poerwandari and R.Surtiati Hidayat, Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah, Jakarta:Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000.

Wardah Hafidz, ”Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang dan Sumbangannya kepada Transformasi Bangsa” in Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Zakiah Daradjat, “Peran Ganda dan Kepemimpinan Perempuan”, in Lily Zakiyah Munir (ed.) Memposisikan Kodrat, Bandung: Mizan, 1999.

2 komentar: