Jumat, 24 Juni 2011

MAHKAMAH KONSTITUSI THE GUARDIAN AND THE INTERPRETER OF THE CONSTITUTION

1.Latar Belakang
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY) . Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Salah satu produk reformasi ketatanegaraan yang kita bangun setelah Perubahan Pertama (1999), Kedua (2000), Ketiga (2001) dan Keempat (2002) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya sederajat dan diluar Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk maksud mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land) benar-benar dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Hukum modern, dimana hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di suatu negara.
Yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah “the rule of law, not of man”. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata suprastruktur dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcement) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi itulah, diperlukan mahkamah konstitusi sebagai “the guardian of the constitution”
Pembentukan Mahakamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.

2. Perumusan Masalah
Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah penulis kemukakan di atas, penulis memberikan batasan masalah atau identifikasi masalah agar tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi pokok bahasan. Mengacu kepada latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana pelaksanaan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk menjamin tegaknya konstitusi (UUD 1945) sebagai hukum tertinggi yang ada di negara kita

3. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menguraikan, menerangkan, dan menjawab pertanyaan seputar pelaksanaan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam mengawal Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tertinggi negara agar UUD 1945 benar-benar dapat dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Hukum, dimana hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di negara Republik Indonesia.

4. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak, antara lain:
1.Bagi penulis sendiri, penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya menyangkut Penafsiran Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menjaga tegaknnya pelaksanaan UUD 1945.
2.Bagi masyarakat dan khalayak umum, penulisan makalah ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran untuk berpartisipasi dalam memantau pelaksanaan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menjaga undang-undang tersebut.
3.Bagi Mahkamah Konstitusi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam memutus perkara pengujian undang-undang terhadap Pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di masa yang akan datang.
4.Bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di masa yang akan datang, agar dapat membawa dampak yang positif bagi kemajuan kehidupan ketatanegaraan Indonesia sehingga dapat tercipta kehidupan yang adil dan demokratis.
5.Bagi ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Pemerintahan, penulisan makalah ini ini bisa dijadikan sebagai penambah literatur dalam memperluas pengetahuan masyarakat serta memberikan sumbangan pemikiran bagi tegaknya hukum yang ada di negara kita yang berlandas kan UUD

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konstitusi
Istilah “konstitusi”3 dalam arti pembentukan, berasal dari bahasa Perancis constituer, yang berarti membentuk. M. Solly Lubis, S.H, mengemukakan Istilah “konstitusi” berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti membentuk. Dengan pemakaian istilah konstitusi, yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara, atau menyusun dan menyatakan suatu negara.
Prof. Herman Heller membagi pengertian konstitusi itu ke dalam tiga pengertian yakni sebagai berikut:
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als Gesellschaftliche Wirklichkeit) dan belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan hukum.
2. Baru setelah orang-orang mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die Verselbstandgle Rechtsverfassung). Tugas untuk mencari unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut dengan istilah abstraksi.
3. Kemudian orang mulai menuliskan dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita, bahwa bilamana kita menghubungkan pengertian konstitusi tersebut dengan pengertian Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar itu hanyalah merupakan sebagian dari pengertian konstitusi itu sendiri. Dengan perkataan lain, konstitusi itu (die geschriebene verfassung), menurut beberapa para sarjana merupakan sebagian dari konstitusi dalam pengertian umum.
F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungswesen, membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:4
1. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuasaaan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut di antaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah sesungguhnya konstitusi.
2. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine Gesammtentscheidung über Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.5 Sedangkan James Bryce mengartikan konstitusi adalah “A frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institution with recognized functions and definite rights”.6
Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan:
1. Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen;
2. Fungsi dari alat-alat kelengkapan;
3. Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.

Kemudian C.F Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut “Constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.” 7 Artinya konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan:
1. Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas);
2. Hak-hak yang diperintah;
3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).

Menurut K.C. Wheare yang mengartikan konstitusi sebagai “Keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.”8 Peraturan di sini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (nonlegal). Sehingga, dari pengertian K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions, disimpulkannya bahwa
“konstitusi dalam dunia politik sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu: Pertama, dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sebagai sistem pemerintahan di dalamnya terdapat campuran tata peraturan, baik yang bersifat hukum (legal) maupun yang bukan peraturan hukum (nonlegal atau extra legal). Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama lain.”9

Namun, apapun bentuknya, suatu konstitusi sejati mencantumkan keterangan-keterangan jelas mengenai hal-hal berikut: Pertama, cara pengaturan berbagai jenis institusi; Kedua, jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut; dan Ketiga, dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan.10
Dari beberapa pengertian di atas, merupakan sebagian pandangan yang mengartikan konstitusi lebih luas pengertiannya dari Undang-Undang Dasar. Pengertian senada juga diungkapkan oleh Leon Duguit, seorang sosiolog dalam bukunya Traite de Droit Constitutionnel, dengan metodenya “tinjauan secara sosiologi hukum” (rechtssosiologische beschouwing) dan titik tolak pahamnya “hukum yang hidup dalam masyarakat” (de droit social atau sociale recht) bahwa:
“…. konstitusi bukanlah sekedar Undang-Undang Dasar yang memuat sejumlah/kumpulan norma-norma semata-mata, akan tetapi struktur yang nyata-nyata terdapat dalam kenyataan masyarakat. Dengan perkataan lain, konstitusi adalah faktor-faktor kekuatan yang nyata (de reele machtsfactoren) yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.”11

2.2. Mahkamah Konstitusi RI
Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi (MK) telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.
Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu MK muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi.12 Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang (UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya MK yang berdiri sendiri di samping MA menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide MK menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November 2001. Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk MK dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Pasal 24C UUD 1945 menyatakan:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Sesuai ketentuan UUD 1945 tersebut, MK mempunyai wewenang sebagai berikut.
a. Menguji undang-undang terhadap UUD;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e. Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

Aturan Peralihan Pasal III UUD 1945 yang menjadi bagian dalam Perubahan Keempat (tahun 2002), dinyatakan bahwa MK paling lambat sudah harus terbentuk pada tanggal 17 Agustus 2003. Sebelum MK terbentuk, segala kewenangannya dilakukan oleh MA. Terkait dengan ini, sejak disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 yang mengesahkan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 (11 Agustus 2002), sampai terbentuknya MK pada tanggal 13 Agustus 2003, MA telah menerima 14 perkara yang menjadi wewenang MK. Namun sampai berlangsungnya pengalihan perkara dari MA ke MK pada tanggal 15 Oktober 2003, tidak ada satu pun perkara yang masuk tersebut telah diputus oleh MA.
Sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai MK di dalam UUD, pemerintah dan DPR membahas pembentukan UU mengenai MK. UU ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang disepakati oleh hakim konstitusi menjadi waktu dibentuknya MK dan setiap tanggal 13 Agustus ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) MK.
Sembilan hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Indonesia ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003. Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003 disaksikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Sesuai ketentuan UUD, tiga hakim konstitusi berasal dari usul DPR, tiga hakim konstitusi berasal dari usul MA, dan tiga hakim konstitusi berasal dari usul Presiden. Konfigurasi sumber rekrutmen hakim konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut mencerminkan keseimbangan dan keterwakilan tiga cabang kekuasaan negara tersebut di dalam tubuh MK sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang memperkuat sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Seiring dengan perubahan UUD 1945 yang menggantikan paham Supremasi MPR dengan Supremasi Konstitusi, maka kedudukan tertinggi dalam negara Indonesia tidak lagi lembaga MPR tetapi UUD 1945. Seiring dengan itu setiap lembaga negara mempunyai kedudukan yang sederajat atau sama dan tidak dikenal lagi istilah Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara. Dengan demikian walaupun MK baru dibentuk pada era reformasi, namun lembaga negara ini mempunyai kedudukan yang sederajat atau sama dengan lembaga negara yang lain yang telah ada sebelumnya, seperti Presiden, DPR, dan MPR serta MA. Dengan kedudukan MK yang sederajat atau sama dengan lembaga negara lain dan adanya kesederajatan atau kesamaan kedudukan antarlembaga negara, maka pelaksanaan tugas konstitusional MK menjadi jauh lebih mudah dan lancar dalam memperkuat sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara.

2.3. Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi RI
Mahkamah Konstitusi melaksanakan empat wewenang yang ada pada dirinya, yaitu menguji UU terhadap UUD (judicial review), memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang diatur oleh UUD dn yan terakhir yaitu memutus pembubaran partai politik. Seiring dengan itu kewajiban MK juga belum dilaksanakan karena sampai saat ini belum ada permohonan dari DPR berisi pendapat lembaga legislatif ini terkait dengan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa.13 Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).14
Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.
Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.
Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat dikenali sebagai berikut:15
a. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Peraturan Mahakamah Konstitusi (PMK);
c. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI;
d. Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia.
e. Pendapat Sarjaa (doktrin);
f. Hukum Acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.
Dalam rangka mendukung tercapainya visi dan misi serta tugas MK sekaligus mensosialisasikan konstitusi dan lembaga pengawal konstitusi (MK), lembaga negara ini juga menjalankan program publikasi dan informasi, antara lain melalui situs MK www.mahkamahkonstitusi.go.id, majalah dwibulanan Konstitusi dan jurnal ilmiah dwibulanan Jurnal Konstitusi. Juga digelar diskusi interaktif di TVRI dalam acara “Forum Konstitusi” yang membahas berbagai isu atau topik berkaitan dengan konstitusi dan hukum serta MK. Juga diselenggarakan kegiatan tatap muka antara Pimpinan atau hakim konstitusi MK dengan berbagai komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat seperti dengan kalangan perguruan tinggi, insan pers, humas, dan aparat pemerintah daerah. Pada tatap muka tersebut, Pimpinan atau hakim konstitusi MK menyampaikan berbagai hal mengenai MK, termasuk mengenai kedudukan, wewenang dan kewajiban, serta perkembangan pelaksanaan tugas.
Selain itu MK juga menerbitkan berbagai buku mengenai konstitusi dan hukum, antara lain buku UUD 1945 dan UU MK dan buku UUD 1945 dalam beberapa bahasa daerah. Saat ini telah terbit UUD 1945 dalam bahasa Jawa Kromo Inggil, Sunda, Bali, Bima, UUD 1945 dalam aksara Arab Pegon, UUD 1945 dalam huruf Braile, dan Mandarin serta Arab. Kesemua terjemahan UUD 1945 dalam bahasa daerah dan aksara tersebut merupakan terjemahan tidak resmi yang merupakan bentuk partisipasi dan sumbangsih lembaga negara MK dalam mendukung dan mensukseskan sosialisasi konstitusi kepada berbagai komponen bangsa.

3.1.Kesimpulan
Sebagai lembaga negara yang melaksanakan cabang kekuasaan di bidang yudikatif, Mahkamah Konsitutsi telah berdiri di Indonesia sebagai salah satu buah reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang dan kewajiban yang cukup berat dan strategis, sebagaimana halnya lembaga sejenis di negara-negara lainnya, yakni sangat terkait erat dengan konstitusi. Dengan mengacu kepada hal tersebut, secara teoritis Mahkamah Konstitusi mempunyai dua fungsi, sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi.
Mahkamah Konstitusi yang dinahkodai oleh sembilan Hakim Konstitusi16 dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini telah menunaikan tugas-tugas konstitusionalitasnya, dan dengan jubah merahnya para Hakim Konstitusi telah berusaha sedemikian rupa untuk mewujudkan Mahkamah Konsitusi sebagai ”rumah konstitusi” sekaligus penjaga konsitusi (the guardian of the constitution).
Sudah berhasilkah Mahakamah Kosntitusi melaksanakan visinya untuk menciptakan tegaknya kosntitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang mertabat? Memang pada saat ini sesuai dengan usianya yang masih demikian muda, apa yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi masihlah belum terlalu banyak. Bolehlah dikatakan baru beberapa langkah dari ribuan langkah yang akan diayunkan hingga hari-hari esok. Namun langkah-langkah awal ini dipandang merupakan era peletakan dasar-dasar fundamental bagi perwujudan Mahkamah Konsitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya dalam rangka membangun konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar berkonstitusi diberbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa yang akan datang.

3.2.Saran

Dalam rangka mendukung tercapainya visi dan misi serta tugas Mahkamah Konstitusi sekaligus mensosialisasikan konstitusi dan lembaga pengawal konstitusi (Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution), maka setiap kebijakan atau ketetapan yang diberlakukan oleh Mahkamah Konstitusi harus bersifat transparat dan akuntabel. Hal ini dimaksudkan agar tercapai satu kesepakatan yang dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat mengenai pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 yang murni dan konsekwen.
Kontrol masyarakat atas pelaksanaan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan. Untuk itu keterlibatan semua pihak dalam mengawal konstitusi dinegara kita mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land) benar-benar dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Hukum modern, dimana hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di suatu negara.

PUSTAKA

Astim Riyanto, Teori Konstitusi, YAPEMDO, Bandung, 2000.

C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, diterbitkan kerjasama antara Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung, 2004, hal. 16.,

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori Dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI. Disertasi Doktor Universitas Indonesia), Jakarta, 1990, hal. 288.

Maria Farida Indrawati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998,

K.C Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, Cet II, Judul asli Modern Constitution, diterjemahkan oleh Muhammad Hardani, Eureka, Surabaya, 2005,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar