Jumat, 24 Juni 2011

HAK BUDAYA DAN KESETARAAN WARGA DALAM KOMUNITI MASYARAKAT MAJEMUK DI INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas lebih dari 500 sukubangsa yang dipersatukan oleh sebuah sistem nasional sebagai bangsa dalam wadah sebuah negara kesatuan Indonesia.1
Kejatuhan pemerintahan Orde Baru telah membuyarkan penekanan ideologi otoriter yang bersemboyan persatuan untuk kesatuan di bawah kekuasaan pemerintah pusat, karena digantikan oleh pemerintahan sipil yang berazaskan pada demokrasi. Ketidakjelasan prinsip demokrasi dan konsep masyarakat sipil yang dijadikan ideologi dan operasionalisasinya dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dan ke dalam pranata-pranata politik nasional serta pranata-pranata sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia, telah membuyarkan dan menyamarkan prinsip demokrasi dan konsep masyarakat sipil itu sendiri, serta membuyarkan ideologi dan integritas kebangsaan Indonesia..
Tulisan ini mencoba menunjukkan bahwa proses demokratisasi yang sekarang sedang dijalani Indonesia tidak akan mungkin mewujudkan adanya masyarakat sipil yang demokratis, karena landasan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk (plural society) berisikan potensi-potensi kekuatan primordial yang despotik dan otoriter. Untuk itu, ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman sukubangsa harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikulturalisme. Ideologi yang harus ditekankan adalah keanekaragaman kebudayaan. Kekuatan sosial dan politik dari keanekaragaman tersebut bukan berlandaskan pada kekuatan primordial kesukubangsaan yang lokal. Secara hipotetis, dalam wadah masyarakat ‘bhinneka tunggal ika’ Indonesia yang seperti inilah maka proses-proses demokrasi akan dapat diwujudkan, dikembangkan, dan dimantapkan. Permasalahan ini menjadi kritikal karena UU No.22 tentang Otonomi Daerah sama sekali tidak memperhitungkan berbagai dampak yang diakibatkan oleh diberlakukannya UU ini.

B. Tinjauan Teori
1. Masyarakat majemuk Indonesia
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang menyolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri. Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakangerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai simbol-simbol yang digunakan atau dikenakan pada dirinya, dia akan diidentifikasi sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut di atas tidak dapat digunakan oleh seseorang untuk mengidentifikasi kesukubangsaannya, maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya untuk dapat mengetahui jatidiri kesukubangsaannya (Bruner 1976; Suparlan 1972).
Hubungan kesukubangsaan adalah hubungan peran yang berlaku dalam kehidupan sosial yang coraknya berlandaskan pada corak hubungan antarsukubangsa yang berlaku dalam masyarakat setempat. Hubungan antaranggota sukubangsa dari daerah atau komuniti yang berbeda juga mempunyai prinsip-prinsip hubungan peran yang sama dengan hubungan antarsukubangsa. Di samping itu, kesukubangsaan dalam kehidupan orang Indonesia adalah sebuah dunia yang primordial (yang utama dan yang pertama dikenal dalam proses sosialisasi dan enkulturisasi). Karena itu, ia mempunyai fungsi menentukan posisi-posisi para pelaku dari sukubangsa yang sama maupun pelaku dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda, dalam suatu struktur hubungan peran yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat setempat. Kesadaran akan kesukubangsaan masing-masing dan pihak lain muncul dan menjadi mantap, karena kemajemukan sukubangsa bukan hanya terwujud dalam corak masyarakat Indonesia secara nasional, melainkan juga terwujud dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakat setempat atau lokal. Pada masa sekarang, hampir tidak ada lagi komuniti sukubangsa yang secara homogen hidup sebagai sebuah komuniti sukubangsa, terutama di daerah perkotaan. Konsep mengenai sukubangsa lain dalam pertentangannya dengan sukubangsanya sendiri sebagai acuan dari jatidiri untuk berperan dalam hubungan antarsukubangsa, bukan hanya diperoleh dari pengalaman-pengalaman sebagai perorangan, melainkan juga dari berbagai cerita orang lain, berita media massa cetak, dan elektronik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sukubangsa dan kesukubangsaan bagi orang Indonesia bukan hanya sebuah dunia filosofi, melainkan juga sebuah dunia nyata yang harus mereka hadapi sehari-hari dalam berbagai bentuk ekpresinya, secara sadar maupun tidak sadar.
Dalam zaman pemerintahan Presiden Sukarno—atau yang dinamakan sebagai Orde Lama oleh pemerintahan Presiden Suharto— kesukubangsaan sebagai potensi kekuatan politik dilarang untuk digunakan; demi keutuhan bangsa Indonesia dan memenangkan semangat nasionalisme. Termasuk di dalamnya, pelarangan kajian-kajian mengenai sukubangsa dan kesukubangsaan. Yang didorong untuk diungkapkan adalah kesukubangsaan dalam ekspresi-ekspresi seni.
Kebijakan politik kesuku bangsaan emi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia pada waktu itu dalah politik amalgasi, atau peleburan sukubangsa-sukubangsa menjadi sebuah bangsa, yaitu Indonesia, melalui perkawinan antarwarga sukubangsa yang berbeda-beda. Dalam zaman pemerintahan Presiden Suharto, pelarangan penggunaan sukubangsa sebagai acuan kepentingan politik ditambah dengan pelarangan penggunaan potensi politik dari agama dan ras (sic!), yang dikenal dengan nama SARA. Pelarangan yang dilakukan secara represif dengan menggunakan kekuatan militer yang otoriter, sebetulnya hanya meredam berbagai gejolak primordial yang dirasakan sebagai tantangan terhadap hegemoni kekuasaan pemerintahan Presiden Suharto. Tetapi, kebijakan SARA ini tidak mematikan potensi kekuatan sosial dan politik dari kesukubangsaan dan keagamaan yang ada. Bahkan, pemerintahan Presiden Suharto dalam kebijakan politik kesukubangsaan dan keagamaan justru telah menggunakan Direktorat Jenderal Kebudayaan, terutama Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional untuk menghidupkan potensi-potensi sosial dan politik kesukubangsaan. Hal itu ditujukan untuk mendukung kemantapan pemerintahan Presiden Suharto (pembentukan lembaga-lembaga adat dari hampir semua sukubangsa, dan pengangkatan serta pemberian berbagai fasilitas dan honor kepada para tokoh adat dan pemangku adat). Hal yang sama juga dilakukan oleh Departemen Agama, yang dengan menggunakan kekuatan birokrasinya membangun pengembangan agama, terutama agama Islam, dan menggalang kekuatan sosial dan politik yang primordial guna mendukung kemantapan pemerintahan Presiden Suharto. Begitu juga yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri yang melakukan berbagai kebijakan pengendalian sosial dan politik melalui Ditjen Sospol. Demikan pula upaya menyeragamkan corak pemerintahan pada tingkat pedesaan yang secara tradisional bercorak semi-otonomi, menjadi bercorak seperti pemerintahan desa Jawa yang dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah yang dilakukan oleh Ditjen PUOD.
Sadar atau tidak sadar, di satu pihak kebijakan-kebijakan tersebut telah mengembangkan dan memantapkan kesadaran sukubangsa dan potensi-potensi sosial dan politik kesukubangsaan. Di lain pihak, kebijakan itu telah mempertegas batas-batas jenjang sosial dan politik secara jelas antara kyai dan santri, dan antara ulama dengan umat atau orang Islam biasa. Batas-batas sosial dan politik yang semakin tajam juga muncul dan mantap di antara para penganut keyakinan keagamaan yang berbeda, antara pusat dan daerah, dan antara Jawa dengan daerah, karena isu penyeragaman sistem pemerintahan desa.
Pemerintahan Presiden Suharto atau Orde Baru dikenal sebagai pemerintahan yang otoriter dan militeristik. Pemerintahan itu telah dibangun dengan mengorbankan lebih dari satu juta jiwa dari mereka yang digolongkan sebagai komunis dan Orde Lama, dilanjutkan dengan pemburuan dan pengisolasian, serta diskriminasi terhadap mereka yang tergolong sebagai G30S/PKI atau tidak bersih lingkungan. Pemerintahan yang otoriter dan militeristis ini memperkuat dan diperkuat oleh corak kehidupan yang feodalistis dan paternalistis, atau bapakisme, yang secara tradisional berlaku dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan sebagai kekuatan sosial dan politik yang dipelihara dan dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru untuk mendukung kemantapan pemerintahan dan kekuasaannya, telah secara sadar atau tidak bergeser menjadi dukungan bagi kemantapan kekuasaan Presiden Suharto dan kronikroninya.
Hal itu kemudian berkembang sebagai kekuasaan-kekuasaan perorangan yang absolut, yang terpusat di tangan Pak Harto dan keluarganya. Kekuasaan yang absolut adalah kekuasaan yang korup, baik secara sosial, ekonomi, politik, dan moral. Untuk itu, jastifikasi (justification) atau pembenarannya dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol dan metafor-metafor keagamaan yang relevan oleh pejabat-pejabat keagamaan dalam berbagai upacara keagamaan dan upacara sosial. Bila pembenaran secara keagamaan masih dirasakan belum mantap, berbagai tindakan represif akan dilakukan. Tindakantindakan represif dapat dijastifikasi atau dibenarkan, karena telah diciptakan dan dimantapkannya musuh bersama sebagai kambing hitam. Musuh bersama itu dinamakan PKI atau sisa-sisa Orde Lama atau ekstrim kiri, atau ekstrim kanan, dan golongan separatis atau pengacau keamanan.
Dalam zaman Orde Baru tidak ada kesetaraan warga, yang ada ialah hierarki atau jenjang sosial yang dimantapkan melalui berbagai bentuk peraturan dan kebijakan politik, serta pemberian fasilitas dan keistimewaan kepada golongan militer, pejabat dan birokrat, dan partai pendukung pemerintah. Akibatnya, dengan jelas dapat dibedakan antara yang berkuasa (dengan berbagai keistimewaannya) dengan yang tidak berkuasa, atau orang biasa (yang harus mengabdi kepada yang berkuasa). Sebagai catatan, pegawai negeri pun digolongkan sebagai abdi atau hamba sahaya. Pembedaan jenjang ini terwujud sebagai perbedaan antara militer dan sipil; antara pejabat dan bukan pejabat; pengusaha konglomerat yang kebanyakan adalah Orang Cina yang menjadi kroni presiden, dan yang bukan Orang Cina atau pribumi; antara golongan Islam dan yang bukan; antara warga masyarakat biasa dan yang tidak bersih lingkungan atau yang berindikasi komunis; atau ekstrim kiri dan ekstrim kanan, serta separatis atau pengacau keamanan.
Dalam masa Orde Baru tidak ada kesetaraan warga, baik secara sosial, legal atau hukum, dan budaya. Ketidaksetaraan ini terwujud terutama dalam kehidupan politik dan ekonomi dari warga masyarakat Indonesia.
Walaupun Indonesia mengakui dirinya sebagai negara demokrasi, dunia Barat dan sejumlah negara lainnya menggolongkan Indonesia sebagai negara dengan pemerintahan totaliter, sama coraknya dengan negara-negara di Amerika Latin yang juga dikuasai oleh militer. Walaupun Indonesia mengaku sebagai penganut azas demokrasi, yaitu demokrasi Pancasila, dunia luar, terutama dunia Barat, tidak melihat demokrasi Pancasila sebagai demokrasi. Prinsip demokrasi yang utama, yaitu kesetaraan derajat secara individual dan kebebasan, dan pemerintahan atas persetujuan rakyat, tidaklah terwujud selama pemerintahan Orde Baru. Selama masa Orde Baru, yang ada ialah pemerintahan oleh militer, para patron atau bapak, dan para kroni dari presiden.
Mereka melihat corak kebudayaan Indonesia dalam zaman Orde Baru sebagai sebuah kebudayaan yang feodalistik, otoriter-militeristik, dan paternalistik yang didukung oleh sistem ekonomi kronisme.
Kejatuhan kekuasaan Presiden Suharto yang memorak-porandakan sistem pemerintahan yang otoriter dan militeristis, diharapkan oleh banyak orang Indonesia akan dapat memunculkan sebuah pemerintahan sipil yang demokratis dan bersih dari korupsi. Tetapi, pemerintahan Habibie justru tidak mampu untuk melaksanakan harapan orang banyak tersebut. Primordialisme kesukubangsaan dan keagamaan justru berkembang. Feodalisme muncul dalam bentuk baru yang diselimuti oleh primordialisme kesukubangsaan dan keagamaan Islam. Demikian pula halnya dengan tatanan kehidupan paternalistik yang tetap bertahan. Demokrasi yang terwujud dalam bentuk HAM atau hak individual ditonjolkan, tetapi kesetaraan warga yang menjadi landasan filsafat dan pedoman bagi kehidupan demokrasi tidak direncanakan untuk diwujudkan. Sistem kronisme dalam bentuk yang baru menghasilkan berbagai bentuk korupsi atas nama rakyat dan kemiskinan.

2. Masyarakat majemuk dan demokrasi
Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang terwujud karena komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional. Model yang digunakan sebagai acuan dari masyarakat majemuk adalah negara jajahan Hindia Belanda, tempat kelompokkelompok atau komuniti dan masyarakat sukubangsa di Nusantara ini dipersatukan dan dikuasai oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam masyarakat majemuk seperti Hindia Belanda, tidak ada tatanan kehidupan demokrasi. Dalam tatanan itu, dengan jelas dibedakan antara tuan yang penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan antara tuan dan hamba dilakukan berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan, keyakinan keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.
Corak masyarakat majemuk yang anti demokrasi juga terwujud dalam masyarakat Afrika Selatan yang didominasi oleh kekuasaan kulit putih sebelum kejatuhannya, dan yang kemudian digantikan oleh pemerintahan Presiden Mandela. Pembedaan warga masyarakat Afrika Selatan dalam jenjang sosial, ekonomi, dan politik juga didasari oleh batas-batas rasial, keyakinan keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.
Dalam sejarahnya, masyarakat majemuk karena kemajemukan kesukubangsaan dan keagamaan yang merupakan landasan kekuatan politik, selalu mengalami kesulitan untuk menerapkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suriname misalnya, yang sampai dengan tahun 1975 dikenal sebagai negara demokrasi yang corak masyarakatnya majemuk, hancur berantakan oleh konflik politik antara dua sukubangsa yang dominan, sehingga harus berubah menjadi negara totaliter di bawah kekuasaan rezim militer. Kesukaran berkembangnya demokrasi dalam kehidupan masyarakat majemuk, seperti Suriname tersebut, dikarenakan oleh mantapnya primordialitas yang diperkuat oleh keyakinan keagamaan yang melandasinya. Selain itu, terdapat kemantapan batas-batas kesukubangsaan, orientasi, dan loyalitas politik warga masyarakat pada sukubangsanya masing-masing. Berkembang pula prinsip paternal atau bapakisme dengan loyalitas primordial dari para pengikutnya, dan kemantapan jenjang sosial yang primordial berdasarkan kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa yang bersangkutan (lihat Dew 1978; Suparlan 1995).
Demokrasi di Suriname sebelum tahun 1975 dapat digolongkan sebagai demokrasi konsosiasional (consociational democracy). Dalam sistem demokrasi ini, para pemimpin kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda menjadi jembatan penghubung dari segmentasi oleh kesukubangsaan melalui berbagai bentuk aliansi formal dan informal pada tingkat elit (lihat Dew 1972, 1974). Model demokrasi konsosiasional ini juga berlaku di Indonesia di bawah label demokrasi Pancasila, atau di Brazil dengan demokrasi rasial (racial democracy). Masyarakat Brazil juga tersegmentasi oleh golongan-golongan rasial yang tersusun dalam urutan jenjang
sosial, ekonomi, dan politik. Dalam masyarakat yang paternalistik, otoriter atau militeristik seperti tersebut di atas, demokrasi dalam pengertian yang sebenarnya tidaklah mudah ditegakkan.
Bila kita melihat Amerika sebagai sebuah negara yang demokratis, maka yang kita lihat adalah bahwa demokrasi bukan hanya menjadi ideologi atau filsafat kehidupan bangsa itu, melainkan juga menjadi pedoman bagi kehidupan warganya. Amerika adalah sebuah bangsa dari kumpulan bangsa-bangsa yang sangat berbeda secara rasial, asal etnis atau sukubangsa, kebudayaan dan keagamaannya, yang telah dibangun dengan menggunakan prinsip demokrasi.
Dari sebuah bangsa yang pada awal berdirinya menekankan pada monokulturalisme yang didominasi oleh golongan WASP (White Anglo Saxon Protestant),3 Amerika telah secara bertahap dan pasti berubah coraknya secara mantap menjadi sebuah bangsa yang menekankan pada keanekaragaman kebudayaan atau multikulturalisme. Multikulturalisme pada bangsa Amerika ini menekankan kesetaraan derajat individu dan menoleransi perbedaan-perbedaan kebudayaan.
Di sinilah letak kebesaran kebudayaan bangsa Amerika, yaitu kemampuannya untuk menampung berbagai perbedaan dan keanekaragaman kebudayaan dalam sebuah kebangsaan dengan suatu ikatan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi menjadi sebuah ideologi yang menjadi pedoman hidup mendasar bagi kebersamaan yang sederajat; dan sebuah pedoman yang praktikal dalam menghadapi kehidupan nyata sehari-hari. Dalam prinsip demokrasi ini, penekanan hak ada pada individu dan bukannya pada kelompok-kelompok etnis atau keagamaan, sehingga Amerika sekarang ini dapat kita lihat sebagai sebuah bangsa yang dibangun atas kekuatan dan kemampuan individu-individu; bukannya berdasarkan pada kekuasaan kelompok-kelompok sukubangsa atau keyakinan keagamaan.
Prinsip demokrasi hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaanperbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, yang diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan hanya mungkin terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan nyata.
Diskriminasi secara rasial, politik, budaya, pendidikan, dan ekonomi yang berlaku di masa lampau, secara bertahap maupun secara radikal dikikis oleh kemauan untuk menegakkan demokrasi demi kesejajaran dalam derajat kemanusiaan sebagai bangsa Amerika.
Pada masa sekarang, di Amerikalah terdapat berbagai macam kebudayaan yang berasal dari hampir seluruh penjuru dunia yang hidup tanpa ada diskriminasi formal dari negara. Hal itu hanya mungkin terwujud dalam masyarakat seperti Amerika, yang hak untuk hidup berdampingan secara berbeda sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan menurut kebudayaan masing-masing dijamin oleh hukum, ditoleransi dan dihargai oleh masyarakat-masyarakat setempat, sepanjang tidak mengganggu kepentingan umum atau kepentingan bersama.
Apa yang menjadi landasan bagi dan mengikat keberadaan kebudayaan yang beranekaragam tersebut adalah nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Amerika, yang menjadi milik bersama bangsa Amerika. Nilai-nilai budaya itu merupakan patokan penilaian, atau pedoman etika dan moral dalam bertindak yang benar dan pantas bagi orang Amerika. Nilai-nilai budaya tersebut terserap dalam hampir semua bidang kehidupan. Secara sadar atau tidak, nilai budaya itu digunakan sebagai acuan bagi penjelasan yang masuk akal dan pembenaran atas suatu tindakan yang dilakukan, baik tindakan-tindakan sosial, ekonomi, dan politik, maupun tindakan-tindakan individual secara pribadi. Di antara serangkaian nilai budaya Amerika yang mendasar, yang secara aktual diyakini sebagai acuan utama dalam kehidupan mereka sebagai bangsa Amerika, adalah percaya pada diri sendiri atau self reliance. Tercakup dalam pengertian self reliance adalah tahu hak dan kewajibannya, tahu dan menghargai hak individu lainnya dan orang banyak, dapat dan berani menolak atau melawan pada saat haknya dilanggar oleh yang lainnya. Pada prinsipnya, dalam konsep self reliance juga tercakup pengertian percaya pada kemampuan diri sendiri, dan dirinyalah yang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
Demokrasi sebagai sebuah filsafat atau ideologi yang dimiliki bersama oleh para warga sebuah masyarakat sipil yang bukan militeristik mencakup prinsip-prinsip:
….berdasarkan atas persetujuan dari rakyat yang diperintah, kekuasaan mayoritas yang dibarengi dengan hak-hak minoritas, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi, budaya, nilai-nilai toleransi atas perbedaan-perbedaan, pragmatisme, dan kerjasama serta mufakat (Lubis 1994; USIS t.t.).

Akan tetapi, bila demokrasi hanya diperlakukan sebagai filsafat atau ideologi, demokrasi sebagai sebuah konsep hanya akan ada dalam benak kepala. Di lain pihak, sebuah masyarakat yang demokratis adalah sebuah masyarakat yang menggunakan konsep demokrasi sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan terwujud sebagai inti dari, serta didukung oleh pranata-pranata sosial masyarakat tersebut. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah masyarakat bila demokrasi tidak terserap ke dalam, dan menjadi kebudayaan serta pranatapranata sosial dari masyarakat tersebut. Begitu pula halnya bila tidak didukung oleh nilai-nilai budayanya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara sosial, legal, ekonomi, dan politik yang berlaku pada tingkat individual, maupun pada tingkat kemasyarakatan.
Di antara prinsip-prinsip mendasar dari demokrasi yang patut dikemukakan di sini adalah: kesetaraan derajat individu, kebebasan, individualisme dan individualitas, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, konflik dan konsensus, hukum yang adil dan beradab, dan perikemanusiaan.
Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan. Dalam proses politik yang demokratis, yang terwujud sebagai perbedaan-perbedaan dan konflik-konflik pendapat untuk memenangkan sesuatu kebijakan yang dicapai melalui pemilihan suara konsensus, hak-hak dari individu yang terlibat di dalamnya adalah setara derajatnya. Hal ini berbeda dari prinsip musyawarah yang kita kenal, dengan individu yang berada pada jenjang kekuasaan tertinggi cenderung mendominasi dan mengarahkan perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sebuah permufakatan pendapat, yang sesuai dengan kehendaknya.
Konflik-konflik yang terjadi dalam proses menurut prinsip demokrasi harus mengikuti hukum atau aturan main yang adil dan beradab. Ketaatan atau kepatuhan pada hukum yang berlaku adalah salah satu syarat mutlak bagi berlakunya demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya ketaatan pada hukum, maka yang ada adalah kekacauan, karena tiap-tiap individu akan mau menang-menangan sendiri. Melalui hukum inilah sebenarnya perikemanusiaan yang kita kenal dengan nama HAM itu ditegakkan, yang menjamin terwujudnya kesetaraan derajat individu demi kesejahteraan bersama.

3. Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural
Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari.
Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-masing sukubangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.
Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri pluralistik bangsa kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik.8
Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum profesional Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi, keanekaragaman.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.

C.Analisis Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia
Corak masyarakat majemuk (plural society) Indonesia yang ditandai oleh penekanannya pada kesukubangsaan dan kelompok-kelompok sukubangsa yang beranekaragam kebudayaannya, mungkin harus dipelajari kembali mengingat potensinya yang dapat dimanipulasi secara sosial dan politik untuk memecah-belah kebangsaan Indonesia dan anti demokrasi. Potensi yang destruktif tersebut dikarenakan oleh:
· Masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas sukubangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka, yang menghasilkan penjenjangan sosial secara primordial yang subyektif, dan bila berkembang lebih lanjut dapat menghasilkan stigma sosial dan pengambinghitaman yang dilakukan oleh suatu sukubangsa yang ditujukan pada suatu sukubangsa lainnya.
· Setiap kelompok sukubangsa atau komuniti sukubangsa menempati sebuah wilayah yang menjadi tempatnya hidup, yang secara tradisional diakuinya dan diakui oleh kelompok sukubangsa lain sebagai hak ulayatnya. Konsep hak ulayat ini, secara politik hubungan antarsukubangsa, dapat berkembang menjadi pembedaan yang diskriminatif antara warga sukubangsa asli setempat dengan warga sukubangsa pendatang. Berbagai bentuk diskriminasi dapat terwujud antara yang asli dengan pendatang, dengan pihak yang asli yang harus unggul, dan pendatang yang harus asor.
· Berbagai konflik antarsukubangsa yang memakan korban jiwa dan raga serta harta benda yang telah terjadi sejak zaman pemerintahan Habibie sampai saat ini, berintikan pada permasalahan hubungan antarsukubangsa yang asli setempat dengan yang pendatang.Dalam konflik sukubangsa ini, seperti kasus Sambas, Ambon, dan Kalimantan Tengah (lihat Suparlan 2000), kelompok sukubangsa setempat menuntut pengakuan atas keunggulan kebudayaan mereka, dengan ungkapan: ‘...di mana bumi dipijak, langit dijunjung’, atau ‘adat sukubangsa setempat harus diikuti’. Dalam hal ini, kebudayaan sukubangsa menjadi ideologi politik sukubangsa. Orang Melayu di Sambas, setelah berakhirnya konflik dengan orang Madura dengan keberhasilan orang Melayu mengusir mereka dari wilayah Sambas, mengambil kebijakan politik kesukubangsaan yang memutuskan untuk tidak menerima kedatangan kembali orang-orang Madura yang mengungsi untuk hidup di wilayah Kabupaten Sambas. Sebuah kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan prinsip kebangsaan Indonesia. Apakah barangkali Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat merupakan sebuah negara Melayu yang mempunyai peraturan keimigrasian tersendiri?
· Politik kebudayaan yang menekankan homogenitas, yang dilakukan melalui penataran P4 dalam masa pemerintahan Orde Baru, yaitu yang mengupayakan pemberlakuan prinsip Pancasila sampai ke dalam kehidupan keluarga, sama dengan upaya mereduksi keanekaragaman kebudayaan di Indonesia secara sewenang-wenang. Inilah sebuah upaya penyeragaman kebudayaan yang akan dapat digunakan untuk mendukung corak keseragaman pemerintahan Orde Baru yang otoriter-militeristis.4
Masyarakat majemuk, termasuk Indonesia, tidak menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis, tetapi sebuah masyarakat yang berpotensi otoriter dan despotik karena corak struktur sosial kelompok-kelompok sukubangsanya yang beranekaragam dari feodalistis dan paternalistis sampai dengan yang etnosentris dan tribalistis. Coraknya yang feodalistis dan paternalistis terserap dalam sistem nasional Indonesia yang bercorak otoritermiliteristik yang nampak jelas dalam pemerintahan Orde Baru. Corak ini digunakan untuk mengimbangi dan meredam gejolak politik kesukubangsaan yang etnosentris dan tribalistis.
Dengan cara yang otoriter dan militeristis tersebut, maka potensi-potensi perpecahan bangsa Indonesia berdasarkan politik kesukubangsaan dapat diredam. Masalahnya adalah, pada waktu sistem nasional Indonesia menjadi lemah karena coraknya yang otoriter dan militeristis itu diganti dengan sistem yang lebih demokratis, seperti dalam zaman pemerintahan Habibie, maka gejolak etnosentrisme dan tribalisme memunculkan dirinya ke permukaan arena politik Indonesia, yang secara langsung atau tidak langsung mengancam integrasi sistem nasional dan kebangsaan Indonesia.
Lambang negara dan bangsa Indonesia, ‘bhinneka tunggal ika’ atau masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya, sudah sepatutnya dikaji untuk diubah atau digeser penekanannya pada keanekaragaman kebudayaannya. Bersamaan dengan itu, perlu diupayakan untuk melemahkan atau mengesampingkan keanekaragaman sukubangsa dan kesukubangsaanya. Penekanan pada keanekaragaman kebudayaan harus mencakup bukan hanya kebudayaan-kebudayaan sukubangsa, melainkan juga berbagai kebudayaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat-masyarakat setempat di Indonesia, baik yang secara tradisional berlaku setempat, maupun yang berasal dari luar. Hal itu haruslah dibarengi dengan suatu kebijakan politik secara nasional yang akan meletakkan posisi-posisi kebudayaan seperti apa pun coraknya untuk berada dalam kesetaraan derajat, selama tindakantindakan para pelaku yang mengacu pada kebudayaan tersebut tidak mengganggu, atau merugikan orang banyak dalam kehidupan masyarakat setempat.
Bersamaan dengan itu, prinsip demokrasi dalam arti yang sebenarnya harus dijadikan kebijakan politik nasional. Kebijakan itu harus terwujud dalam ketentuan-ketentuan hukum yang operasional dalam berbagai pranata sosial, baik secara nasional maupun lokal, yang akan menjamin terwujudnya individualisme dan individualitas. Hal itu diharapkan mendorong terwujudnya nilai budaya percaya pada diri sendiri (self reliance) dan berbagai nilai budaya yang mendukungnya. Hak-hak individu untuk berbeda dari individu lain atau masyarakat harus dijamin oleh ketentuan hukum, selama tindakan-tindakan individual tersebut tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku, atau kepentingan umum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat setempat.
Dengan kebijakan politik kebudayaan seperti tersebut di atas, maka diharapkan tidak akan muncul dan berkembang lagi ideologi politik kesukubangsaan yang menekankan pembedaan antara mereka yang asli dan lebih berhak, dengan mereka yang pendatang dan karena itu harus didiskriminasi. Bukan kekuasaan komuniti-komuniti atau kelompok-kelompok sukubangsa dan kesukubangsaanya yang utama dalam upaya mewujudkan kehidupan demokrasi, melainkan individu-individu dengan keanekaragaman kebudayaannya yang setara derajatnya yang harus menjadi landasan bagi terwujudnya kehidupan demokrasi. Bukan kelompok-kelompok sukubangsa atau komuniti-komuniti sukubangsa dengan kebudayaannya yang secara tradisional mendominasi corak kehidupan masing-masing wilayahnya, melainkan berbagai kebudayaan dari kelompok asal mana pun yang sama-sama mempunyai hak untuk hidup dalam wilayah mana pun di Indonesia, sesuai dengan ketentuan hukum dan adat atau konvensi sosial yang berlaku setempat.
Dengan demikian, hak budaya komuniti mana pun dan dalam wilayah Indonesia mana pun harus dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh sistem nasional dengan mengacu pada ketentuan hukum yang dibuatnya. Dalam kehidupan demokratis, yang digolongkan sebagai sakral atau sokoguru demokrasi bukan hanya individu, melainkan juga masyarakat (yaitu negara yang diwakili oleh pemerintah), dan komuniti atau masyarakat setempat. Komuniti atau masyarakat setempat ini merupakan kumpulan dari individu-individu yang hidup secara bersama dengan berpedoman pada kebudayaan yang mereka miliki bersama (Suparlan 1991). Hubungan antara individu, negara, dan komuniti atau masyarakat setempat adalah hubungan konflik kepentingan yang saling tergantung satu sama lainnya, tempat masing-masing akan berupaya mendominasi lainnya. Karena itu, berbagai ketentuan politik dan hukum harus dibuat dan dibangun untuk menciptakan suatu keseimbangan hubungan kepentingan yang akan menguntungkan ketiga unsur sakral dalam kehidupan demokrasi tersebut.
Komuniti dapat dilihat sebagai sebuah satuan kehidupan berskala kecil yang menempati suatu wilayah. Komuniti dapat juga dilihat sebagai perkumpulan profesi, kepentingan, atau lainnya. Hak budaya komuniti dimaksudkan mencakup dua pengertian tersebut, tetapi terutama ditujukan untuk pengertian komuniti sebagai satuan kehidupan. Dalam kehidupan manusia sebagai individu, dalam komunitilah dia hidup, dibesarkan, dan dijadikan manusia, sehingga dapat berperan sebagai warga masyarakat dan negara yang berguna. Oleh karena itu, ia dapat melestarikan dan mengembangkan kehidupan komunitinya, masyarakat dan negaranya. Sebuah komuniti atau masyarakat-negara tidak mungkin akan ada bila tidak berproduksi untuk menghidupi individu-individu yang menjadi anggota atau warganya. Posisi komuniti dapat disetarakan dengan posisi masyarakat-negara dalam fungsinya bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, hak budaya komuniti berkenaan dengan keberadaan dan kehidupannya harus dilindungi secara hukum. Dalam masyarakat yang demokratis, seperti Amerika dan negara-negara di Eropa Barat, hak budaya komuniti ini dilindungi secara hukum dan politik, karena prinsip demokrasi dalam kehidupan nyata tidak akan terwujud tanpa adanya komuniti dan hak-hak hidupnya.
Mengapa hak budaya komuniti itu harus dilindungi secara hukum? Karena, dalam berbagai konflik atau kerusuhan sosial, baik yang terwujud dalam bentuk konflik antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan yang berbeda, ataupun antardesa atau tawuran, yang menjadi sasaran untuk dihancurkan bukan hanya orang-orang yang dianggap sebagai musuh, melainkan juga rumah-rumah, berbagai fasilitas umum dan tempat-tempat beribadat yang ada. Atau dengan perkataan lain, yang dihancurkan dalam konflik atau kerusuhan tersebut mencakup juga komunitinya. Dihancurkannya komuniti pihak lawan sama dengan dihancurkannya kehidupan pihak lawan itu.

D. Kesimpulan
Kesetaraan warga dan hak budaya komuniti adalah unsur-unsur mendasar yang ada dalam prinsip demokrasi, yang menekankan pentingnya hak individu dan kesetaraan individu atau warga, dan toleransi terhadap perbedaan dan keanekaragaman. Pada hakekatnya, masyarakat majemuk yang secara sukubangsa beraneka ragam mempunyai potensi menjadi sebuah masyarakat otoriter-militeristis dengan corak paternalistis dan etnosentris yang primordial.
Primordialitas kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat berpotensi menjadi pemecah belah bangsa pada saat primordialitas tersebut diaktifkan sebagai kekuatan politik. Potensi kekuatan primordialitas untuk pemecah belah bangsa disebabkan oleh hakekat keberadaan masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk itu dihasilkan dari upaya sistem nasional untuk mempersatukan kelompok-kelompok sukubangsa menjadi sebuah bangsa. Pemersatuan kelompok-kelompok sukubangsa itu dilakukan secara paksa, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Model masyarakat multikultural atau beranekaragam kebudayaan ini—yang telah berhasil meredam potensi-potensi konflik rasial dan kesukubangsaan—perlu kita pelajari dengan seksama dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk, dan yang akhir-akhir ini telah dilanda oleh berbagai bentuk konflik rasial, kesukubangsaan, dan keagamaan. Konflik-konflik itu sangat
merugikan dan dapat mencabik-cabik integrasi bangsa dan kebangsaan Indonesia. Menggeseridiom masyarakat majemuk menjadi masyarakat beranekaragam kebudayaan sebagai sebuah kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, akan memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi itu dilandasi oleh kesetaraan derajat individu atau warga, serta muncul dan mantapnya hak budaya komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan kekuasaan negara atau masyarakat. Dalam masyarakat yang multikultural tersebut, demokrasi dapat berkembang. Sebaliknya, demokrasi dapat mengembangkan masyarakat yang multikultural. Hal itu disebabkan berlakunya prinsip perbedaan dan saling menghargai perbedaan; konflik atau persaingan berdasarkan atas hukum atau aturan main yang adil dan beradab, yang tidak dapat ditawar oleh seseorang yang mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan yang besar.

Daftar Bacaan

Bruner, E.M. 1974 ‘The Expression of Ethnicity in Indonesia’, dalam A. Cohen (peny.) Urban Ethnicity. London: Tavistock. Hlm. 251–280.

Dew, E. 1972 ‘The Test of Consociational Democracy’, Plural Societies (3):25–56.

__________1974 ‘The Struggle for Ethnic Balance and Identity’, Plural Societies (5):3–17.

__________1978 The Difficult Flowering of Suriname: Ethnicity and Politics in a Plural Society. The Hague: Martinus Nijhoff.

Dijk, K. van 2001 A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000. Leiden: KLTV Press.

Glazer, N. 1997 We are All Multiculturalists Now. Cambridge, Massachusets: Harvard University Press.

Lubis, M. 1994 Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Milikan, M.F. 2001. ‘Keadilan Sosial dan Produktivitas dalam Pembangunan’, dalam M.W einer Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Voice of America Lecture Series. Hlm. 181-194.

Suparlan, P. 1972 The Javanese in Bandung: Ethnicity in a Medium Sized Indonesian City. Tesis MA tidak dipublikasikan. University of Illinois.

1991 ‘Yang Sakral Dalam Nilai-Nilai Budaya Amerika’, Jurnal Studi Amerika 1(2):4–11.

1995 The Javanese in Suriname: Ethnicity in an Ethnically Plural Society.Tempe, Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona State University.

1999 ‘Kemajemukan Amerika : Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme’, Jurnal Studi Amerika (5):43–52.

2000a ‘Masyarakat Majemuk dan Perawatannya’, Antropologi Indonesia 25(63):1–13.

2000b ‘Kerusuhan Sambas’, Jurnal Polisi Indonesia (2):71–85.

Reed, I. (peny.) 1998 Multi America: Essays on Cultural Wars and Cultural Peace. Pinguin.

1 komentar: