Selasa, 20 September 2011

Pembangkangan Kabinet

Pembangkangan Kabinet
Akhir-akhir ini media disibukan oleh laporan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mengenai kinerja para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II yang ternyata banyak mengabaikan Instruksi Presiden (Inpres), menurut laporan UKP4, Para menteri hanya menjalankan sekitar 50% dari total Inpres yang diinstruksikan. Walaupun para menteri membantah apa yang diberitakan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa laporan UKP4 memang perlu dicermati.
Meski banyak instruksi yang diabaikan namun pemerintah tak kunjung lelah untuk membuat instruksi baru, seperti instruksi menangkap Nazarudin. Melihat hal ini, baik kita melihat dari awal proses pengangkatan para menteri. Presiden memiliki hak prerogatif dalam mengangkat menteri sesuai pasal 17 UUD 1945, tetapi belakangan hak prerogatif sering dijadikan sebagai langkah penawaran dalam koalisi yang dibangun presiden sehingga langkah kebijakan mendapat dukungan kuat dari parlemen.

Metode perekrutan menteri seperti ini sebaiknya sudah tidak perlu diterapkan lagi, prestasi buruk karena jabatan ini diisi oleh para politisi yang tidak memiliki keprofesionalan dalam bidangnya seringkali malah membuat kotor birokrasi.

Setengah Hati
Apabila dilihat sebenarnya ada dua kutub besar dalam sistem “semi” presidensil yang kita anut, kutub eksekutif dan kutub legislatif yang sama-sama memiliki kekuatan politik dan sama-sama dipilih langsung, sehinga wajar apabila terjadi tarik kepentingan antara dua lembaga ini, sehingga diperluakan koalisi untuk membuat hubungan horizontal antara kedua lembaga ini, salah satunya dengan mengikut sertakan kader partainya dalam kursi kabinet.

Tidak mengherankan jika para menteri banyak tidak patuh pada presiden, ini dikarenakan para menteri adalah para kader-kader partai koalisi yang juga memiliki kekuatan dalam parlemen. Melihat buruknya sistem koalisi yang dibangun oleh presiden, sebaiknya presiden tidak perlu komplain atas kinerja para bawahannya, karena sudah salah desain dari awal.

Para menteri juga bukan sembarang menteri, sebagian dari mereka adalah para pentolan partai koalisi yang setiap saat dapat bersuara bahkan melepaskan diri dari koalisi, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu Partai Golkar dan PKS tidak gentar apabila dikeluarkan dari koalisi dan tidak takut terhadap reshuffle yang biasanya digunakan presiden sebagai senjata pamungkas menakuti para menteri-menterinya. Ini yang membuat kinerja para menteri menjadi setengah hati
Adanya simbiosis mutualisme dalam kabinet membuat para menteri merasa bebas tanpa harus ada tekanan kerja dari presiden sebagai atasan, ini disebabkan oleh adanya kerjasama koalisi partai yang saling mendukung kekuatan presiden dalam parlemen, di sisi lain presiden memang butuh partai-partai suara banyak untuk memperkuat arah kebijakannya agar mendapat dukungan besar dari parlemen.

Meskipun seorang presiden mengetahui kejadian ini dapat saja terjadi, namun ini adalah tindakan win-win solution dalam politik sehingga partai merasa bekerjasama dengan presiden dalam menentukan arah kebijakan negeri ini.

Tetapi sekali lagi patut kita cermati adalah sulitnya menjadi presiden dalam sistem negara “banci” antara Parlementer dan Presidensil, apabila kursi mentri diberikan pada kalangan profesional, maka tak menutup kemungkinan adanya ketidakharmonisan hubungan antara eksekutif dan legislatif yang dihuni oleh kader partai yang memiliki tujuan berbeda pula, ini semakin membuat posisi negara tidak stabil karena tarik ulur kepentingan antara kedua pihak akan tampak jelas, sebagai contoh ketika pemerintah mengajukan sebuah RUU kepada DPR, maka DPR yang merasa bukan bagian dari pemerintah akan mengatur strategi melemahkan setiap kebijakan pemerintah, apalagi tingkat arogansi dan intelektual anggota dewan kita bervariasi.

Untuk menjaga agar kedua hal tetap terjalin, harus ada reformasi sistem yang menguatkan posisi presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang diberi wewenang oleh pasal 4 (1) UUD 1945 sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.

Profesionalitas
Sejatinya negara ini sudah kebanjiran para politikus, mulai tingkat bawah sampai yang paling atas, seluruhnya diisi oleh politikus sebagai nahkoda dalam menentukan kebijakan.

Lantas Quo Vadis Profesionalitas? Alangkah baiknya jika jajaran menteri memang diisi oleh kalangan profesional yang memang memiliki kapabilitas dalam menjalankan tugas, kalangan profesional juga tidak ada terikat kontrak koalisi sehingga dapat bekerja murni atas kemampuan dan bukan kesepakatan seperti yang sedang terjadi saat ini.

Para menteri dari kalangan profesional juga rentan terhadap sasaran pembuat kebijakan yang dibuat presiden dan koalisinya, bahkan tidak jarang para menteri dari kalangan profesional menjadi bulan-bulanan rakyat karna dianggap membuat kebijakan yang tidak pro rakyat. contoh kasus mantan Menkeu Sri Mulyani dalam pencairan dana talangan Bank Century, ada indikasi bahwa mantan menkeu tersebut mendapat perintah dari atasan dalam putusan menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Apapun alasannya, jika sebuah jabatan diberikan pada yang bukan ahlinya tentu akan sangat sulit mencapai keberhasilan, sehingga kalangan profesional memang sangat dibutuhkan untuk menduduki jabatan menteri. (Agus Adhary)

Minggu, 03 Juli 2011

UPAYA PENINGKATAN KONTROL YURIDIS DARI PUBLIK TERHADAP PEJABAT PEMERINTAHAN MELALUI PERADILAN TATA USAHA NEGARA GUNA MEWUJUDKAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK GOOD GOVERNANCE

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa salah tugas yang menjadi tanggung jawab negara dan seluruh masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . Dalam konteks ini, amat jelas bahwa salah satu agenda dalam mengisi kemerdekaan adalah memberdayakan segala potensi bangsa dalam bentuk melindungi segenap elemen bangsa dalam rangka mecapai kesejahteraan umum. Di sini terlihat bahwa, salah satu karakter dan agenda bangsa Indonesia adalah terwujudnya model negara yang berbasis negara kesejahteraan (Welfare State).
Dalam kerangka pemikiran inilah, maka segala upaya dan agenda pembangunan yang dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia harus memiliki tujuan dan orientasi kepada terwujudnya kesejahteraan masyarakat atau publik. Termasuk dalam hal ini adalah upaya menegakkan Hukum sebagai pilar menjaga dan menyelamatkan keadilan di tengah masyarakat. Artinya, upaya penegakan hukum (law enforcement) dalam kerangka negara hukum, baik dalam menata sistem hukum, budaya hukum maupun struktur hukum, maka kesemuanya memiliki indikator keberhasilan yang sama, yakni publik menjadi sejahtera dan merdeka.
Salah satu faktor penting dari meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam suasana bangsa yang sudah merdeka adalah adanya pelayanan yang berkualitas dari pejabat pemerintah sebagai aparatur negara dalam melayani kepentingan publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan negara dalam hal ini pemerintah amat strategis dan penting dalam melayani dan mendampingi masyarakat dalam mengelola dan memberdayakan potensi bangsa yang sudah merdeka ini. Kehadiran sebuah kedaulatan rakyat dalam negara merdeka tidak memiliki makna apa-apa apabila tidak ada pemerintah dengan pejabat pemerintahan sebagai instrumen dalam mengelola potensi bangsa untuk menjaga kedaulatan tersebut. Negara yang berdaulat tidak memiliki kewibawaan di hadapan bangsa lain apabila potensi negara tidak mampu diurus dan dikelola secara baik dan benar oleh pemerintah. Sebaliknya, kehadiran dan keberadaan sebuah pemerintah (Government) dalam sebuah negara yang merdeka tidak memiliki makna apabila pemerintah tersebut tidak memiliki dukungan dan legitimasi dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang memiliki dukungan dan relasi yang baik dari rakyat (society).
Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dari sebuah negara merdeka dalam menata bangsanya adalah adanya relasi yang baik dan produktif antara negara (state) dan masyarakat (society) dalam mewujudkan rakyat yang sejahtera. Hubungan yang baik dan dinamis antara negara dan rakyat ditandai dengan kuatnya check and balances antara keduanya. Antara negara dan rakyat tidak ada yang saling mendominasi. Sebagai penguasa, pemerintah sebagai mandataris kekuasaan tentunya lebih memiliki kekuatan yang lebih daripada rakyat yang dikuasainya. Mengingat Pemerintah yang memegang kekuasaan, maka pemikir politik dari Inggris, Lord Acton sejak awal mengingatkan bahwa, Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely.
Kekuasaan tersebut apabila tidak diawasi pelaksanaannya, maka akan ada kecenderungan untuk disalah gunakan. Oleh karena itu, pihak masyarakat atau anggota masyarakat sebagai pihak yang lemah perlu dilindungi, terutama dari segi hukum. Bagir Manan mengatakan: ”… sejarah telah memberikan contoh dan bukti yang berlimpah bahwa kekuasaan tanpa batas lebih banyak melahirkan kesewenang-wenangan dan hilangnya kebebasan serta kemerdekaan warganegara atau penduduk negara yang bersangkutan …”
Dalam rangka menata dan menjaga hubungan baik antara negara dan rakyat maka diperlukan sebuah norma dan hukum. Hukum atau norma yang mengatur substansi hubungan publik dan negara lebih dikenal dengan hukum administrasi negara. Hukum administrasi negara menjadi landasan kerja bagi administrasi negara, yang mengemban tugas servis publik . Kecenderungan penyimpangan oleh pemerintah dan mengharapkan ketaatan serta kepatuhan dari rakyat menjadi alasan adanya norma atau hukum yang mengatur hubungan di antara keduanya. Artinya, sebagai negara hukum, maka Indonesia harus mampu menghadirkan instrumen hukum yang mengatur hubungan antara warga dan negara.
Setidaknya ada 2 (dua) hal yang melatarbelakangi pentingnya hukum yang mengatur hubungan warga dan negara. Pertama, hukum dan norma amat penting sebagai kontrol yuridis dari warga kepada pemerintah yang diwakili pejabat pemerintahan yang sedang melaksanakan kekuasaan. Kedua, dalam konteks demokratisasi dalam sebuah bangsa yang merdeka, maka pilar hukum menjadi amat penting sebagai check and balances bagi pemerintah
Dalam konteks pelembagaan demokrasi serta berwibawanya Negara hukum (Rechtstaat) yang terkait dengan partisipasi publik di ranah publik, maka kehadiran hukum administrasi menjadi penting. Hukum administrasi Negara yang prosesnya berperkaranya di Pengadilan Tata Usaha Negara memberikan ruang publik (Public Sphare) bagi terciptanya iklim demokrasi. Pengadilan Tata Usaha Negara secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu masyarakat dapat lebih berpartisipasi dan turut mengontrol kebijaksanaan para pejabat pemerintah. Di samping itu, efektifitas pelaksanaan hukum administrasi melalui Peradilan tata usaha negara juga berpengaruh pada penerapan tata pemerintahan yang baik (good corporate governance).
Publik sebagai pemegang kedaulatan negara harus diberikan akses yang memadai dan setara dalam lingkup hukum administrasi negara. Dalam prinsip civil society rakyat berhak merasakan adanya jaminan kepastian hukum di segala aspek termasuk hukum administrasi negara. Para pejabat pemerintah baik di pusat maupun di daerah sebagai pelaksana administratif pemerintahan harus dapat senantiasa dikontrol kebijakannya. Sehingga, kualitas produk-produk kebijakan pejabat pemerintah yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Relasi publik dan Negara akan menemukan ruang yang dinamis melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara. Namun sampai saat ini upaya pemanfaatan PTUN sebagai kontrol yuridis untuk mencari keadilan di ranah sengketa administrasi masih cukup rendah. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi stakeholders dunia peradilan, khususnya Pengadilan Tata Usaha Negara untuk melakukan revitalisasi peran dan fungsi. Revitalisasi peran PTUN meniscayakan meningkatnya partisipasi publik di ranah hukum, dan dengan sendirinya menjadi upaya untuk memperkuat Negara hukum.

2. Permasalahan
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dijelaskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Dalam konteks negara merdeka yang berorientasi pada terwujudnya negara kesejahteraan (welfare state), maka persoalan yang muncul saat ini adalah belum maksimalnya peran dan tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan terhadap warga. Salah satu faktor tidak maksimalnya pejabat pemerintah dalam melayani rakyat adalah lemahnya kontrol yuridis publik terhadap kebijakan yang diterbitkan oleh pejabat pemerintah.
2. Partisipasi publik di ranah hukum masih cukup rendah. Apresiasi publik terhadap proses pelembagaan nilai hukum melalui mekanisme yuridis belum sebanding dengan animo publik di ranah politik praktis. Fenomena ini akan memperlemah upaya untuk memperkuat wujud Negara hukum. Salah satu kelemahan tersebut adalah belum berfungsinya secara maksimal peran perangkat peradilan untuk memperoleh keadilan diantaranya Pengadilan Tata Usaha Negara;
3. Persoalan yang dihadapi PTUN ini adalah masih terbatasnya informasi serta pemahaman masyarakat terhadap peran, fungsi dan tugas Pengadilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu tantangan utama saat ini adalah “membumikan” eksistensi dan fungsi PTUN di masyarakat sebagai media untuk mengontrol kebijakan pejabat tata usaha Negara;
4. Persoalan dalam mewujudkan Good Governance atau tata pemerintahan yang baik adalah rendahnya akuntabilitas dan transparansi pejabat pemerintah yang akibat tidak efektifnya kontrol yuridis. Kontrol Yuridis tidak maksimal disebabkan oleh terbatasnya kesadaran hukum dan lemahnya budaya hukum di kalangan pejabat pemerintah .

B. PEMBAHASAN

Selanjutnya, terkait dengan berbagai permasalahan di atas, maka perlu upaya yang serius dan progressif dalam rangka meningkatkan partisipasi publik dalam melakukan kontrol yuridis terhadap kebijakan pejabat pemerintahan melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara. Upaya progressif dalam konteks ini adalah adanya kemampuan untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi yang selama ini berlangsung dan bersiap menyusun strategi dan melaksanakan agenda perbaikan terhadap sistem kontrol yuridis dari publik kepada pejabat pemerintahan.
Sebagai langkah awal diperlukan beberapa pokok pikiran untuk dijadikan pijakan dasar dalam menentukan strategi pencapaian tujuan.
Pertama, Negara sebagai Pengelola Kekuasaan.
Adanya kebijakan publik dari negara yang diperankan oleh pejabat pemerintah sebagai konsekuensi dari perwujudan negara kesejahteraan yang menjadi platform negara Indonesia. Bahkan konsep Welfare State tersebut di dalam perundang-undangan kita untuk pertama kali dikenal dengan istilah ”negara pengurus” . Dalam pengertian dasarnya, ”negara kesejahteraan” merupakan sebuah konsepsi, paradigma dan kerangka aksi tentang pemerintahan di mana sektor negara menjalankan peran kunci di dalam hal memberikan proteksi dan atau melakukan promosi kesejahteraan bagi setiap warga negara. Konsepsi ini secara jelas menempatkan negara dalam hal ini pejabat pemerintahan wajib melaksanakan agenda yang berbasis kepada kesejahteraan bagi publik. Dalam menyusun dan merealisasikan agenda kesejahteraan tersebut, pejabat pemerintah menerbitkan berbagai macam regulasi dan kebijakan.
Fenomena yang selama ini terjadi, secara konstitusional, pejabat pemerintah mendapat mandat untuk sepenuhnya melaksanakan program yang berbasis kesejahteraan, seperti pelayanan sosial (social security), kesehatan, kesejahteraan sosial, pendidikan dan pelatihan dan lain-lain. Namun secara faktual indikator kesejahteraan belum tercapai secara maksimal. Hal ini tergambar pada kondisi angka kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi, pelayanan publik mengenai kebutuhan dasar, pelayanan administrasi (yang menyangkut identitas penduduk dan perizinan), pelayanan bidang infrastruktur belum memadai dan sebagian terbesar pengeluaran dalam APBN (menurut suatu perkiraan ; 50-60% APBN dan 70-80% APBD) dialokasikan kepada penyelenggara negara (pejabat yang dipilih berdasarkan pemilihan umum, pejabat yang dipilih DPR, penjabat yang ditunjuk secara politik, dan pegawai negeri sipil, tentara dan kepolisian).
Fakta di atas menunjukkan bahwa esensi dari Negara Kesejahteraan untuk memberikan pelayanan yang mensejahterakan bagi publik tidak serta merta berjalan dalam koridor idealitas yang sesungguhnya. Dalam situasi negara belum maksimal melaksanakan mandat untuk mensejahterakan kondisi rakyat, maka hal itu harus dipahami bahwa salah satu dari wajah buruk dari konsepsi negara kesejahteraan adalah munculnya rezim korup dan otoriter yang tampil dengan wajah seorang budiman. Dalam hal ini, pemerintah menampilkan berbagai macam data dan pertanggung jawaban formil atas upaya peningkatan kesejahteraan. Namun di sisi lain, secara riil tindakan pemerintah sesungguhnya banyak yang menyimpang dan dikelola secara otoriter dan koruptif. Negara kesejahteraan yang mencitakan pelayanan terbaik baik publik tetap menyisakan potensi pemerintahan yang korup dan menyimpang. Potensi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah amat besar, mengingat semua kendali pembangunan dan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan kebijakan dikendalikan oleh pemerintah. Hal yang berbeda ketika sebuah negara memilih haluan atau sistem Kapitalisme atau Liberalisme yang pada dasarnya menihilkan peran negara dalam pengeloaan pembangunan. Pada posisi negara memiliki kendali yang amat besar dan tidak ada kekuatan yang cenderung melakukan kontrol terhadap negara, maka kekuasaan yang dimiliki negara akan menjadi absolut, tirani atau diktator .
Salah satu faktor yang mendorong bergesernya wajah negara kesejahteraan berubah menjadi pemerintahan yang korup adalah lemahnya kontrol dari publik (society) dalam rangka mengkritisi bahkan menolak kebijakan pemerintah yang secara nyata menyimpang dari esensi kesejahteraan masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan oleh negara akan cenderung tidak terbatas bahkan akan terjadi penumpukan kekuasaan apabila tidak ada kontrol dari publik. Salah satu penyebab lemahnya kontrol terhadap negara adalah tidak memadainya kesadaran dan pemahaman dari publik bahwa negara dapat dikontrol dan dikendalikan melalui mekanisme kontrol yuridis. Sebagai negara hukum, secara konstitusional telah disepakati bahwa semua tindakan elemen bangsa ini, baik pemerintah maupun publik harus mampu dikontrol melalui mekanisme hukum. Dalam konteks relasi publik dan negara, menarik mengutip pendapat Prof. M. Hadjon tentang Negara Hukum; Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa negara hukum Indonesia mengandung unsur: (a) Keserasian hubungan pemerintah dan rakyat; (b) Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; (c) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, dan peradilan sebagai sarana terakhir; (d) Keseimbangan antara hak dan kewajiban

Menurut Philipus M. Hadjon makna yang paling dalam dari negara hukum Indonesia adalah:
“…keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini berkembang elemen lain yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah sedang peradilan merupakan sarana terakhir, dan hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak atau kewajiban tetapi terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban
Beberapa pendapat di atas menjelaskan bahwa publik memiliki ruang hukum untuk menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan negara. Tidak ada kekuatan dan institusi manapun yang tidak mampu diatur oleh hukum, termasuk kebijakan yang diterbitkan oleh pejabat pemerintah. Teori Kontrol yuridis berpijak pada suatu pemikiran bahwa negara adalah pemegang kekuasaan dan mempunyai posisi yang lebih kuat dibanding warganya. Kekuasaan tersebut, apabila tidak ada kontrol yuridis maka muncul kecenderungan untuk disalahgunakan. Hadirnya kontrol yuridis dalam membatasi sebuah kekuasaan terkonfirmasi secara jelas dari C.G. Strong yang mengutip pernyataan dari James Bryce;
” We have defined a constitution as a frame of political society organized through and by law, in which law has established permanent institutions wirh recognized functions and definite rights, and a constitutional state as one in which the powers of the government, the rights of the governed and the relations between the two are adjusted Namun sampai saat ini, tersedianya hukum, dalam hal ini hukum administrasi negara yang secara efektif dapat digunakan dalam mengontrol pejabat pemerintah ternyata belum mampu dimanfaatkan oleh publik.
Kedua, Kontrol Yuridis Sebagai Partisipasi Hukum dari Publik.
Kontrol Yuridis dari publik akan muncul apabila publik memiliki kesadaran dan sensitifitas hukum terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh Pemerintah atas kebijakan yang dikeluarkannya. Pernyataan ini yang menjadi salah satu persoalan bangsa kita saat ini, yakni hukum cenderung terpinggirkan dalam memperkuat kerangka demokratisasi bangsa menuju terwujudnya cita-cita welfare state. Salah satu aspek penting dari nilai demokrasi adalah tegaknya hukum. Keadilan sebagai pilar dari demokrasi mampu dicapai apabila instrumen hukum memiliki kepercayaan dan solusi bagi masyarakat yang mencari keadilan. Lemahnya kepercayaan publik akhir-akhir ini terhadap dunia peradilan sesungguhnya menjadi indikator belum matangnya proses berdemokrasi. Kesadaran hukum sekaligus berwibawahnya institusi hukum menjadi prasyarat pelembagaan demokrasi. Sebab hanya dengan nilai dan pranata hukum yang diharapkan mampu mengatur irama kebebasan politik dalam konteks demokratisasi. Bahkan sejak abad ke- 20 gagasan demokrasi selalu dikaitkan dengan istilah konstitusi, sehingga lahir istilah demokrasi konstitusonil. Gagasan dasar demokrasi konstitusionil adalah terwujudnya cita-cita pemerintahan yang terbatas kekuasaannya (limited Government) Singkatnya, aspek pelaksanaan nilai demokratisasi akan bergeser menjadi liberal dan keluar dari nilai demokrasi apabila tidak mampu diatur oleh pranata hukum. Realitas inilah yang terjadi di Indonesia saat ini, yakni proses pematangan berpolitik lewat demokratisasi tidak serta mengembalikan hukum menjadi institusi yang berwibawa. Ada beberapa alasan yang berusaha menjelaskan fenomena ini.
Pertama, politik sebagai media yang mengatur kepentingan dan memiliki kekuasaan sejatinya mampu melahirkan hukum yang berwibawa. Namun yang terjadi pada bangsa kita adalah politik yang serba pragmatis dan tidak memiliki basis ideologi akhirnya hanya melahirkan pranata hukum yang pragmatis dan hanya berpihak kepada kekuasaan. Tidak heran ketika begitu mudahnya sebuah Undang-undang dijudicial review di Mahkamah Konstitusi karena tidak memiliki landasan filosofi dan konstitusional yang cukup kuat.
Kedua, euphoria politik yang berlangsung tanpa nilai etis demokrasi melahirkan kebebasan dan cenderung memposisikan politik sebagai panglima karena politik yang mengendalikan kekuasaan. Sepertinya semua bisa diperoleh dan diatur dengan kekuasaan politik. Dalam posisi ini, para politisi kemudian menjadikan hukum sebagai pilar nomor dua yang juga bisa “dibeli”. Nalar politik—Kuasa dan Menguasai- menjadi paradigma baru di semua lini kehidupan, termasuk dunia hukum. Maka muncullah praktek money politics dan sogok menyogok di dunia hukum. Sehingga muncul dua kerusakan, secara substansi dan materi, nilai hukum tidak lahir dari gagasan yang ideologis konstitusionil dan penegak hukum terjebak pada pragmatisme dan kepentingan politik pendek.
Ketiga, tertinggalnya penegakan hukum dalam proses penguatan demokratisasi tidak lepas dari lemahnya kepercayaan publik terhadap institusi hukum saat ini. Sederetan kasus penyimpangan yang terjadi dalam dunia peradilan melahirkan kesan negatif di masyarakat terhadap institusi hukum. Ironisnya, dalam posisi ini, internal institusi hukum belum mampu melakukan upaya image building terhadap proses delegitimasi yang saat ini berlangsung. Alih-alih melakukan rekonstruksi terhadap dunia peradilan, yang justru muncul adalah tindakan dan kebijakan yang keluar dari napas reformasi peradilan. Faktor lainnya adalah masih terbatasnya kesadaran dan pengetahuan publik terhadap upaya hukum sebagai kontrol yuridis, publik juga belum memiliki instrumen hukum atau media peradilan yang efektif untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan publik. Dengan demikian, kesadaran hukum menjadi pintu masuk bagi publik dalam melakukan upaya kontrol yuridis terhadap pemerintah.
Kontrol Yuridis adalah bagian dari kontrol-kontrol lainnya terhadap pemerintah, seperti kontrol politis, kontrol melalui tromol-tromol pos, kontrol intern administrasi, kontrol ekstern organisasi/lembaga baik yang strukutral dan non struktural. Kontrol Yuridis dari segi tata bahasa berarti; “Pengawasan, pemeriksaan” dan pengendalian dari segi hukum. Ditinjau dari segi waktu waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau pengawasan dapat pula dibedakan dua jenis kontrol, yaitu; Kontrol a priori dan kontrol a posteriori . Kontrol a priori adalah kontrol yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Keputusan Pemerintah. Kontrol ini bersifat Preventif, sebab tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya kekeliruan. Kontrol a. posteriori adalah kontrol yang terjadi sesudah ada keputusan pemerintah. Kontrol ini dititikberatkan pada sisi korektif terhadap keputusan pemerinath. Kontrol dalam bentuk ekstern pada umumnya dilaksanakan oleh organ atau lembaga yang secara organisatoris berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya kontrol keuangan yang dilakukan oleh Badan Pengawas. Kontrol sosial dilakukan oleh masyarakat melalui pressure dari Civil Society atau media massa. Sedangkan kontrol yuridis dilakukan oleh badan peradilan dan Peradilan Tata Usaha Negara termasuk dalam control ekstern apabila ada gugatan terhadap pemerintah Dalam hal ini ketertinggalan hukum dalam proses demokratisasi, menghendaki adanya peningkatan peran dan potensi Peradilan Tata Usaha Negara yang menjadi media untuk melakukan kontrol yuridis bagi kebijakan publik.
Ketiga. Meningkatkan Peran Pengadilan Tata Usaha Negara
Selayaknya semangat publik yang mengiringi euphoria demokrasi memiliki dampak yang sama bagi tingginya semangat masyarakat untuk berpartisipasi dalam penegakan hukum. Artinya masyarakat memiliki kesadaran hukum yang tinggi dengan menempatkan hukum sebagai solusi yang berkeadilan. Dalam konteks relasi masyarakat dengan Negara, sebagai prasyarat berdemokrasi seharusnya hubungan keduanya memiliki irama yang seimbang dan setara. Namun selama ini yang terjadi adalah masyarakat masih cenderung terkooptasi pada kekuasaan yang dimiliki Negara. Banyak kebijakan Negara yang sejatinya tidak memihak kepada kepentingan orang banyak, namun tidak mampu diadvokasi dan digugat secara proposional dan melalui mekanisme peradilan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena rendahnya pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam mengkritisi dan menggugat kebijakan Negara yang merugikan.
Menggugat kebijakan negara adalah persoalan hukum. Adalah sebuah keniscayaan negara bersama aparatnya menyimpang dari tugasnya. Sehingga dikenal adanya peradilan administrasi negara yang memberi peluang bagi masyarakat untuk mengontrol dan mengadvokasi keputusan pejabat tata usaha negara yang merugikan kepentingan publik.
Dalam konteks pelembagaan demokrasi serta berwibawanya Negara hukum (Rechstaat) yang terkait dengan partisipasi publik di ranah publik, maka kehadiran hukum administrasi menjadi penting. Hukum administrasi Negara yang prosesnya berperkaranya di Pengadilan Tata Usaha Negara memberikan ruang publik (Public Sphare) bagi terciptanya iklim demokrasi. Pengadilan Tata Usaha Negara secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang tersebut juga memungkinkan masyarakat menggugat perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri jika si pejabat TUN tetap tidak melaksanakan putusan PTUN. Selain itu masyarakat juga dimungkinkan untuk mengajukan gugatan perwakilan kelas (class action) jika ada putusan TUN yang merugikan suatu komunitas masyarakat tertentu. Dengan hadirnya UU PTUN yang baru berarti timbul harapan bagi rakyat Indonesia untuk lebih mendapatkan keadilan dalam lingkup hukum administrasi negara. Selain itu masyarakat dapat lebih berpartisipasi dan turut mengontrol kebijaksanaan para pejabat-pejabat TUN. Di samping itu, efektifitas pelaksanaan putusan PTUN juga berpengaruh pada penerapan tata pemerintahan yang baik (good corporate governance).
Publik sebagai pemegang kedaulatan negara harus diberikan akses yang memadai dan setara dalam lingkup hukum administrasi negara. Dalam prinsip civil society rakyat berhak merasakan adanya jaminan kepastian hukum di segala aspek termasuk hukum administrasi negara. Para pejabat TUN baik di pusat maupun di daerah sebagai pelaksana administratif pemerintahan harus dapat senantiasa dikontrol tindak-tanduknya. Sehingga, kualitas produk-produk kebijakan TUN yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Relasi publik dan Negara akan menemukan ruang yang dinamis melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara. Namun sampai saat ini upaya pemanfaatan PTUN untuk mencari keadilan di ranah sengketa administrasi masih cukup rendah. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi stakeholders dunia peradilan, khususnya Pengadilan Tata Usaha Negara untuk melakukan revitalisasi peran dan fungsi. Revitalisasi peran PTUN meniscayakan meningkatnya partisipasi publik di ranah hukum, dan dengan sendirinya menjadi upaya untuk memperkuat Negara hukum.
Dalam rangka meningkatkan peran Pengadilan Tata Usaha Negara serta untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara Hukum maka para stakeholder di dunia peradilan khususnya peradilan tata usaha negara harus memberdayakan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu kontrol yuridis terhadap kebijakan ataupun keputusan yang diambil oleh lembaga eksekutif (pemerintah).
Kontrol yuridis ini bertujuan untuk menguji segi legalitas (rechtsmatigheids) dari suatu keputusan pemerintah. Ditinjau dari segi kedudukan organ atau jabatan yang melakukan kontrol, maka kontrol itu sendiri dibedakan antara kontrol intern dan kontrol ekstern.
Kontrol intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri. Prosedur keberatan administrasi dan kuasi pengadilan (banding administrasi) masih tergolong dalam kontrol intern.
Sedangkan kontrol ekstern dilakukan oleh organ atau lembaga yang secara organisatoris/struktural berada di luar pemerintah (eksekutif). Kontrol yuridis yang dilakukan oleh badan peradilan, khususnya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap tindakan pemerintah yang tercermin dalam setiap keputusan yang diterbitkannya, adalah termasuk kontrol ekstern. Hal tersebut biasa terjadi apabila ada gugatan oleh seseorang (individu) atau badan hukum perdata terhadap kerugian yang diderita akibat diterbitkannya keputusan pemerintah.
Kontrol yuridis harus memperhatikan, apakah semua ketentuan-ketentuan hukum telah dipenuhi selama proses pembuatan keputusan tersebut. Kontrol yuridis hanya dapat dilakukan setelah keputusan pemerintah tersebut diterbitkan.
Publik sebagai pihak yang merasa bahwa kedudukannya selalu di bawah kekuasaan pemerintahan memerlukan suatu alat yang bernama kontrol yuridis sebagai alat yang berfungsi untuk mengoreksi setiap tindakan ataupun perbuatan pemerintah yang dituangkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara, bukan sebagai alat yang menghambat jalannya roda pemerintahan apalagi alat untuk membangkang terhadap pemerintahan yang sah.
Dengan ada adanya pemahaman dan kesadaran publik mengenai pentingnya peran dari kontrol yuridis maka rakyat (baca: publik) tidak akan merasa segan dan ragu lagi untuk menggunakan salah satu lembaga Peradilan yang ada di negeri ini, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara yang umurnya jauh lebih muda dibandingkan dengan lembaga Peradilan lainnya di Indonesia.
Pengadilan Tata Usaha Negara atau disebut juga pengadilan administrasi bertugas melakukan kontrol terhadap pemerintah dari segi hukum (yuridis). Mekanisme kontrol tersebut berjalan melalui proses persidangan, apabila ada gugatan dari seorang individu atau badan hukum perdata kepada pejabat pemerintahan, manakala ada keputusan pemerintah yang dirasakan merugikan kepentingan mereka.
Pengadilan Tata Usaha Negara dengan segala kewenangan yang ada padanya, melalui instrument hukum yang dimilikinya, melakukan tindakan dan putusan hukum, tentang sah tidaknya keputusan pemerintahan tersebut dari segi hukum. Dan apabila perlu Pengadilan Tata Usaha Negara dapat memerintahkan pejabat pemerintah tersebut untuk memperbaiki keputusannya yang cacat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan mampu untuk memfasilitasi publik pencari keadilan melalui kontrol yuridis terhadap kekuasaan yang diamanahkan kepada pejabat pemerintah sebagai organ penggerak negara dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Keempat, PTUN sebagai pilar Good Governance.
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan salah satu bagian penting dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan, khususnya penyelenggaraan pemerintahan oleh pejabat Tata Usaha Negara dalam mewujudkan pelayanan publik. KTUN sebagai instrumen pemerintahan dalam melakukan tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri urusan kehidupan sosial ekonomi warga .
Sebagaimana dibahas di atas, bahwa kegagalan negara kesejahteraan dan kemudian melahirkan pemerintah yang menyimpang akibat rendahnya kontrol dari publik, termasuk kontrol yuridis. Kontrol Yuridis akan lahir secara sistemik apabila publik memiliki kesadaran (awareness) yang memadai terhadap hukum sebagai pilar mewujudkan relasi negara publik yang berkeadilan. Kontrol Yuridis secara efektif dapat berlangsung apabila difasilitasi oleh lembaga peradilan yang berwibawa dan berintegritas. PTUN memiliki peran strategis untuk menjadi media bagi publik dalam melakukan kontrol yuridis terhadap pemerintah. Kesemua sistem itu bermuara pada tujuan lahirnya Good Governance sebagai nafas terjaganya tujuan negara kesejahteraan yang dicita-citakan;
Good Governance sebagai tujuan bersama sampai saat ini belum dapat berjalan secara baik karena beberapa faktor;
Pertama, gagasan atau tujuan Good Governance sebagai sebuah sistem dalam pemerintahan kita belum menjadi komitmen bersama dalam diri pada pelaku birokrasi. Setelah sekian lama berada dalam kultur birokrasi yang tertutup dan cenderung irrasional, seperti budaya Asal Bapak Senang, budaya eweuh pakewuh dll, para pelaku birokrasi belum terbuka atas modernitas birokrasi sebagai prasyarat Good Governance. Salah satu karakter Good Governance adalah adanya akuntabilitas dan transparansi birokrasi. Akuntabilitas dan Transparansi menghendaki adanya Pengawasan atau kontrol dari berbagai pihak. Ketidakmampuan birokrasi untuk terbuka terhadap adanya kontrol publik, termasuk dalam hal kontrol yuridis menjadi tantangan lahirnya Good Governance;
Kedua, kontrol yuridis sebagai pengawasan eksternal dalam rangka perwujudan Good Governance belum berjalan secara maksimal karena rendahnya kultur hukum dalam diri aparat birokrasi. Kontrol Yuridis akan berkontribusi terhadap lahirnya Good Governance apabila pihak birokrasi yang dikontrol memiliki kepekaan dan kepatuhan hukum terhadap hasil (putusan) Pengadilan.
Dengan demikian, harus dipahami bersama bahwa akuntabilitas dan transparansi dalam gagasan Good Governance senantiasa memerlukan koreksi dan kontrol. PTUN sebagai kontrol Yuridis sesungguhnya hadir sebagai koreksi atas kebijakan yang menyimpang, bukan untuk membatasi kekuasaan yang dimiliki negara.

C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa:
1. Salah satu tujuan negara kita sebagai bangsa yang merdeka adalah mewujudkan negara kesejahteraan. Dalam kerangka welfare state, negara dalam hal ini pejabat pemerintahan bertugas untuk melayani dan mensejahterakan rakyatnya. Namun tujuan ini akan mengalami pergeseran dan melahirkan pemerintah yang menyimpang, korup dan diktator apabila kekuasaan yang dimiliki pemerintah tidak mampu dibatasi dan dikontrol oleh publik.
2. Kontrol terhadap kekuasaan yang dikendalikan oleh pejebat menjadi urgent untuk menghindari penyimpangan kekuasaan. Namun kontrol dari publik, khususnya kontrol yuridis akan berjalan secara massif dan maksmal apabila publik memiliki kesadaran hukum dan sensitifitas untuk menggunakan mekanisme hukum sebagai alat kontrol bagi pemerintah. Kontrol Yuridis akan berjalan efektif apabila publik secara berkasadaran menggunakan hukum, dalam hal ini Pengadilan sebagai media memperolah keadilan dalam konteks relasi publik dan negara
3. Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai media kontrol yuridis bagi pemerintah sejatinya memiliki peran yang strategis untuk mengoreksi kekuasaan pemerintah yang menyimpang. Namun disadari bahwa, saat ini kewenangan yuridis yang dimiliki oleh PTUN masih penuh keterbatasan. Sehingga diharapkan dengan adanya Rancangan Undang-Undangan Administrasi Pemerintahan mampu merevitalisasi peran PTUN dalam berkontribusi mewujudkan Good Governance
4. Good Governance menjadi agenda utama dalam mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) bagi bangsa yang merdeka. Good Governance meniscayakan pemerintah yang akuntabel dan dan transparan yang siap melayani publik secara profesional. Gagasan Good Governance akan berjalan dalam koridor yang sesungguhnya apabila pemerintah senantiasa siap untuk mendapat kontroldan pengawasan, termasuk kontrol yuridis dari Peradilan Tata Usaha Negara. Agar kontrol yuridis berjalan efektif dalam kerangka Good Governance, maka diperlukan kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dari aparat pemerintah, terutama pejabat pemerintahan sebagai pengambil keputusan yang menentukan publik.

D. REKOMENDASI
1. Untuk memberdayakan peran kontrol yuridis melalui lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dalam rangka mewujudkan Good Governance (tata pemerintahan yang baik) maka rekomendasi yang dapat disampaikan adalah agar proses sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara cukup menggunakan sistem dua tingkat saja, seperti yang telah dilaksanakan di Perancis, Belanda dan beberapa negara lainnya. Dengan digunakannya sistem dua tingkat pada lembaga peradilan, maka diharapkan mampu menciptakan terwujudnya asas kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga kontrol yuridis dari publik kepada pejabat pemerintahan dapat terwujud sebagai koreksi terhadap tindakan ataupun perbuatan pejabat pemerintahan tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
2. Selain itu, juga perlu diperhatikan pentingnya budaya hukum (legal culture) dari pejabat pemerintah sebagai salah satu faktor penunjang bagi terwujudnya tata pemerintahan yang baik (good governance). Nilai-nilai yang tertanam dalam diri seorang pejabat pemerintah sangat menentukan efktifitas pelaksanaan kontrol yuridis dari Pengadilan Tata Usaha.
REFERENSI:

1. Bagir Manan, “Dewan Konstitusi di Perancis” (Makalah tanpa menyebutkan tempat, waktu dan acara dimana disajikan)
2. Lintong O. Siahaan, Makalah mengenai: Sejarah Singkat Tentang Pembentukan PTUN (Upaya-upaya Tentang Pembentukan PTUN)
3. SF Marbun,” Peradilan Adminstrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia. Jogjakarta, UII Press.2003. Hal 149
4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
5. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
6. Paulus Effendi Lotulung, Controle Juridictionell de L ‘ Administration en Indonese (Disertasi Doktor Universite de Paris I- Phantion – Sorbonne, Paris, 1982)
7. Philiphus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987
8. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat
9. Ramlan Surbakti,” Hubungan Negara dengan Warga Negara Antara Ideal dan Realitas”, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi 28 Tahun 2008
10. Sjahran Basah, “Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia”,Bandung. PT Alumni.1985. Hal . 13
11. Syamsul Bachri, SH., MH., Asas Good Governance Harus Jadi Rujukan KTUN, 4 Oktober 2008

REFORMASI BIROKRASI TANPA BIROKRAT REFORMIS SUATU KENISCAYAAN

Reformasi birokrasi sejatinya bekerja dengan logika pengecualian, tengok saja reformasi birokrasi yang terjadi di negara-negara Eropa maupun di Asia yang dilakukan dengan sepenuh hati. Dinegara-megara tersebut reformasi birokrasi bukan sekedar geografi pikiran, melainkan juga raga, baik itu raga para penyelenggara negara maupun raga dari masyarakat itu sendiri.

Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di belahan berbagai dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai kehidupan bangsa dan hubungan antar bangsa. Disamping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemaahkan berbagai kebutusan politik kedalam berbagai kebijakan publik dan berfungsi melakukan pengelolaan dan pelaksanaan berbagai kebijakan yang telah dibuat oleh pemangku kekuasaan, sehingga tidak jarang bahwa birokrasi dikatakan sebagai alat ataupun faktor penentu dalam mencapai tujuan, bahkan birokrasi juga dapat dikatagorikan sebagai skenario dalam pencapaian tata kelola pemerintahan yang baik.

Namun, pengalaman bangsa-bangsa lain, termasuk dalam hal ini pengalaman bangsa kita menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menjalankan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis. Terlebih lagi citra miring birokrasi di negara kita sampai saat ini masih mencengkram negeri ini, pelayanan yang ruwet dan besarnya permainan politik di dalamnya seringkali membuka celah kecurangan yang abadi. Korupsi dan nepotisme adalah dua hal yang betah bersarang di tubuh birokrasi. Seolah birokrasi adalah jarring laba-laba, dimana satu sama lain terhubung dengan rapi. Alhasil kejahatanpun sulit terbongkar sebab oknum yang melakukannya adalah jamaah dari laba-laba tersebut.

Kejahatan korupsi yang banyak terjadi di negeri ini, ditenggarai terjadi secara sistemik. Korupsi mengalir dari oknum satu kepada oknum yang lainnya dengan model jejaringan yang kuat dan rapi. Di dalamnya terlibat pejabat birokrasi yang memiliki peranan yang kuat, bahkan dari merekalah sumber informasi yang cukup terukur keakuratannya tentang peluang untuk melakukan korupsi. Mereka selalu mencari peluang dan celah. Begitu ada peluang dan kesempatan, maka kejahatan siap untuk dilaksanakan dan dijalankan. Inilah kelemahan dari birokrasi kita. Masing-masing jenjang karier memiliki kekuasaan sendiri sehingga dengan mudahnya untuk berbuat kecurangan.

Selain hal tersebut di atas, permasalahan lain yang memiliki korelasi dengan konsep birokrasi adalah masalah netralitas dari para PNS dalam pelaksanaan Pilkada di daerah, karena sampai saat ini masih banyak ditemukan indikasi adanya keterlibatan PNS dan pejabat di daerah dalam pelaksanaan Pilkada. PNS juga banyak yang secara terang-terangan melibatkan diri dalam proses Pilkada demi tujuan jabatan dan kekuasaan. Hal tersebut menandakan buruknya birokrasi di negeri ini.

Kebijakan untuk mewujudkan birokrasi yang profesional, bersih, dan berorientasi kepada pelayanan publik dalam penyelenggaraan administrasi dan pemerintahan negara, ternyata dalam praktiknya banyak menghadapi rintangan. Padahal di tengah rintangan itu, masyarakat sangat merindukan pelayanan publik yang baik, dalam arti proporsional dengan kepentingan, yaitu birokrasi yang berorientasi kepada penciptaan keseimbangan antara kekuasaan (power) yang dimiliki dengan tanggung jawab (accountability) yang mesti diberikan kepada masyarakat yang dilayani. Terlebih jika diingat bahwa pegawai negeri di Indonesia sebagai aparat birokrasi selain sebagai aparatur negara dan abdi negara, juga merupakan sebagai abdi masyarakat. Sehingga kepada kepentingan masyarakatlah aparat birokrasi harus mengabdikan diri.

Aparatur birokrasi memang sangat diharapkan memiliki jiwa pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Dan yang diandalkan mampu mengubah citra “minta dilayani”, menjadi “melayani” secara teoritis ada pada pegawai negeri yang berada pada tataran manajerial tingkat menengah ke bawah. Seperti para kepala dinas, kepala unit pelayanan, camat, kepala biro di pusat maupun di daerah, dan lain-lain.

Muncul pertanyaan, mungkinkah aparatur birokrasi bisa benar-benar tampil sebagai public service? Kemudian, seberapa jauhkah aparatur birokrasi akan mampu menyeimbangkan antara kekuasaan yang dimiliki dengan tanggung jawab yang mesti diberikan. Karena selama ini aparatur birokrasi kurang mampu untuk menyeimbangkan antara kekuasaan dan tanggungjawabnya sebagai aparatur negara yang memiliki tugas memberikan pelayanan kepada warganya.

Berbagai peraturan kebijakan yang dibuat baik oleh pihak legislatif maupun eksekutif itu sendiri akan berjalan dengan baik dan dapat dikelola secara efektif oleh aparat penyelenggara pemerintahan apabila terdapat birokrasi yang sehat dan kuat, yaitu birokrasi yang professional, netral, terbuka, demokratis dan selalu mengedepankan kepentingan masyarakat.

Kondisi tersebut di atas merupakan suatu konsekuensi logis dalam mencapaian suatu pemerintahan yang baik, karena bagaimanapun juga salah satu faktor dan actor utama yang turut berperan dalam perwujudan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean governance) adalah birokrasi. Dalam posisi dan peranannya yang sedemikian penting baik dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik, birokrasi sangat menentukasn efesiensi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Untuk dapat mengoptimalisasikan peranan dari birokrasi, maka agenda reformasi birokrasi merupakan salah satu agenda utama dari pemerintah, akan tetapi agenda reformasi birokrasi sebagai obat untuk mengobati kondisi birokrasi negara kita yang sedang sakit tersebut tidak akan terwujud jika pihak-pihak yang terkait tidak memberikan suatu dukungan yang optimal terhadap penyelenggaraan reformasi birokrasi tersebut.

Reformasi birokrasi yang digaungkan di negara kita pada dasarnya dirancang sebagai birakrasi yang rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi Weberian). Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur negara dewasa ini secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalitas birokrasi yang mampu menciptakan efesiensi, efektivitas dan produktivitas melalui pembagian kerja yang hirarkikal dan horizontal yang seimbang dan disertai dengan tata kerja yang formalistic dan sistem pengawasan yang ketat dengan ditunjang oleh pelaksanaan supremasi hukum.

Dalam suatu negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih adalah merupakan salah satu kuncil berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan di berbagai bidang. Yang dimaksud dengan supremasi hukum disini adalah keberadaan hukum yang dibentuk melalui proses yang demokratis dan merupakan landasan berpijak bagi seluruh penyelenmggara negara dan masyarakat luas. Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang bebas dari KKN dan perbuatan tercela lainnya.

Dengan demikian supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi dari masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan merupakan salah satu faktor pendukung dari terlaksana dan tercapainya reformasi birokrasi.

Birokrasi di Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh sikap budaya feodalistik, tertutup, sentralistik serta ditandai juga dengan adanya arogansi kekuasaan, sehingga tidak jarang orang yang sedang memegang kekuasaan menjadi tidak senang untuk dikritik, sulit untuk dilakukan kontrol secara efektif, sehingga akan menjadi penyakit bagi terbangunnya konsep reformasi birokrasi yang sedang diagendakan oleh pemerintah.

Adalah suatu ilusi jika konsep dan sistem supremasi hukum sebagai alat untuk tercapainya reformasi birokrasi yang sedang kita bangun tanpa didukung oleh birokrat yang reformis, karena bagaimanapun birokrat menjadi penyangga dalam tercapainya reformasi birokrasi. Karena selama ini yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan reformasi yang sangat menonjol selain mengenai penegakkan hukum, juga lemahnya kehendak maupun keinginan pemerintah atau political will serta belum adanya konsistensi yang didukung kesungguhan atau keseriusan pemerintah dalam melaksanakan reformasi birokrasi, karena orang-orang yang duduk di sebagai birokrasi tidak memiliki jiwa birokrat. Dengan kata lain reformasi birokrasi tanpa birokrat yang reformis merupakan suatu keniscayaan.

Good Governance dalam Perspektif Otonomi Daerah

A. Pengantar: Good Governance dan Demokrasi
Indonesia adalah bangsa yang direkayasa dan diciptakan sedemikian rupa oleh sistem ketidakadilan yang berupa penjajahan, karenanya Indonesia adalah kolektifitas di mana individu bisa hidup (dan berharap untuk hidup) dengan pelbagai kepentingan, bangsa, agama, dan ideologinya. Dengan demikian, jika ada sebuah pemerintahan yang diatur berdasarkan kedzaliman politik, tentu ia adalah pemerintahan yang tidak acceptable oleh rakyatnya. Orde Baru adalah misal dengan sentralisasi rezim dan kekejaman cara memerintahnya, kalaupun toh ia berumur panjang, pastilah ia akan menemui ajalnya juga (dengan tak terhormat). Karena itu, demokrasi di Indonesia menjadi sebuah barang yang mesti ditegakkan dengan segala resikonya, termasuk kealotan penyelesaian persoalan bangsa, ketidakefektifan, keruwetan dan sebagainya. Mau tidak mau, demokrasi menjadi pilihan tak tertolak bagi pemerintahan dewasa ini. Dalam situasi di mana segenap persoalan bangsa meluap dan minta segera diselesaikan, maka konsep demokrasi sesungguhnya merupakan konsep yang paling tidak diminati. Di samping terlalu bertele-tele, tidak efektif dan tidak efisien, demokrasi juga terlalu banyak menyita waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk memikirkan masalah yang lebih urgen lagi. Di sinilah titik nadzir yang paling lemah dari demokrasi. Semua orang dan semua bangsa mengakuinya. Namun kita lantas bertanya, mengapa demokrasi menjadi satu-satunya konsep yang dipilih hampir seluruh bangsa di dunia ini untuk menyelesaikan pelbagai macam persoalannya? Untuk bisa sampai pada jawaban pertanyaan ini, maka satu hal yang mesti kita sadari bahwa alam ini memang sudah ditaqdirkan Tuhan untuk tidak sama. Pluralitas suku-bangsa, pluralitas kepentingan, pluralitas ideologi, pluralitas agama dan pelbagai macam ketidaksamaan yang lain adalah conditio sine qua non. Kondisi inilah yang menginginkan masyarakat dunia untuk segera merombak cara berpikir yang sentralistis, cara berpikir yang otoriter dan semaunya sendiri. Untuk menciptakan demokrasi, tentu tidak hanya melalui jalur kultural seperti paparan di atas, di jalur struktural pun jika kita jujur dan teliti, sesungguhnya ada jalur untuk menciptakan demokrasi itu.
Tata bangsa yang sehat dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah sesuatu yang pasti dari prinsip good governance ini, dan tentu saja merupakan sesuatu yang sangat dirindukan masyarakat Indonesia. Terpilihnya pemimpin-pemimpin baru merupakan bagian dari kehendak rakyat yang menginginkan terciptanya hal itu. Perdebatan yang sangat sengit ini paling tidak sudah dilakukan di sidang majelis kita selama sepekan kemarin. Dari upaya bagaimana melakukan amandemen UUD 1945 sampai pada tata pemilihan yang demokratis. Harapan-harapan rakyat adalah bagaimana agar mereka bisa hidup lebih sejahtera secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, rakyat Indonesia menginginkan kenaikan pendapatan perkapita, harga-harga kebutuhan pokok (merit goods) yang tidak mahal, berkurangnya angka kemiskinan, turunnya inflasi dan pelbagai indikasi kemakmuran lainnya. Secara politik, rakyat berkehendak agar demokrasi bisa berjalan sebagaimana mestinya: menghargai hak menyampaikan pendapat, menghormati hak asasi manusia, bebas berkreasi dan berorganisasi, dan penghargaan-penghargaan terhadap kebebasan berpendapat lainnya. Sebagai manifestasi dari harapan dan aspirasi rakyat banyak, terpilihnya mereka (yang dianggap reformis) tersebut tentu saja diiringi oleh berbagai agenda bangsa yang mendesak dan berat. Di sisi ekonomi, keduanya diharapkan agar mampu mengembalikan kepercayaan (trust) terhadap investasi, juga untuk mencegah dan mengantisipasi capital flight. Kepercayaan ini merupakan modal yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia masa depan. Kita tahu bahwa untuk mengembalikan kepercayaan yang hilang, tidak hanya dibutuhkan sosok pemimpin yang tegar, berwibawa dan dikehendaki rakyat, tapi juga sosok yang mampu berkomunikasi dengan baik di dunia internasional.
Bersikap jujur pada rakyat adalah titik tolak untuk menciptakan pemerintahan yang tidak hanya kuat (stong government), melainkan juga pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Dengan kesadaran baru, Indonesia masa depan harus dibangun dengan mentalitas dan budaya berdemokrasi yang baru pula. Sehingga agenda mendesak pemerintahan kali ini adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab. Tentu saja bertanggungjawab pada rakyat.

B. Otonomi Daerah
“It is a given perception that decentralization is the most popular government system. In the latest annual report, The World Bank stated that 95 percent of democratic nations have now elected sub-national governments, and countries everywhere – large and small, rich and poor are developing political, fiscal and administrative powers to sub-national tiers of government”.

Kebijaksanaan pemerintah pusat yang selama ini mengesankan adanya sistem pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik, pada dasarnya adalah faktor penjelas berkembangnya keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari wilayah NKRI.

Seperti yang dijelaskan oleh E. Koswara, dampak dari reformasi total ini, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik.2 Apa yang digambarkan tersebut, tentu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Kepemimpinan politik dan pemerintahan yang dijalankan secara sentralistik oleh rezim Orde Baru adalah cikal bakal bagi terselenggaranya sistem pemerintahan yang tidak memberi kesempatan kepada daerah untuk maju dan berkembang. Dalam tataran reformasi, maka wajar bila terjadi perubahan pada salah satu substansi dari sistem pemerintahan sentralistik itu.

“Decentralization and local autonomy may be better understood against the opposite tendency of decentralization. Excesessive centralization or centralism is by definition bad for any organism and organization. Decentralization is also a natural tendency that may occur with centralism, simultaneously or alternately….. Under a centralist regime, of course, there is hardly, if any local autonomy. Central control stifles any initiative, discretion or self reliance that to begin with their identity having been suppressed by the dominance or primacy of the central government”

“The decentralization interprets as a bargaining process between central and sub-nation government and in their report, The World Bank describes that one of primary objectives of decentralization is to maintain political stability in the face of pressure for localization. Then it is acknowldged that when a country finds itself deeply divided, especially along geographic or ethnic lines, decentralization provides an institutional mechanism for bringing opposition groups into a formal, rule-bound bargaining process”.

Berkembangnya wacana tentang perlunya memikirkan kembali desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia, dianggap relevan bukan hanya karena faktor reformasi semata. Jika kita merujuk kepada aturan main, jelas bisa ditemukan bahwa desentralisasi tidak cuma konsep yang bersifat politis, tapi juga konsep yang anti-sentralistik. Hal inilah yang pada akhirnya membawa kita pada sebuah kesepakatan untuk merealisasikannya dalam wujud otonomi daerah. Berangkat dari argumen bahwa masalah otonomi adalah masalah masyarakat, perilaku hidup, perilaku aspirasi masyarakat setempat,5 maka apa yang dinamakan sebagai ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah semestinya bukan lagi merupakan fenomena politik yang menarik. Sebagai wujud nyata dari konsep desentralisasi, otonomi daerah adalah topik utama yang wajib dibicarakan dan diimplementasikan sedini mungkin. Mengakhiri ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tampaknya bukan hanya telah menemukan ruang yang tepat, tapi juga sekaligus menjadikannya sebagai kenangan politis masa lalu yang perlu dicatat oleh sejarah. Karakter hubungan antara pusat dan daerah yang terjadi ketika Orde Baru berkuasa, sangatlah miris. Pada saat itu, pemerintah pusat adalah segala-galanya dan memiliki berbagai senjata untuk mengebiri pemerintah daerah. Dalam pandangan Pratikno, sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik otoritarian tersebut.6 Walaupun beberapa penjelasan lain memberikan kesimpulan yang tidak jauh berbeda, karakter ini jelas tidak dapat dibantah lagi kebenarannya. Otonomi daerah yang digembar-gemborkan Orba, kenyataannya belum diikuti political will para aktor pelaksananya.

“There is no doubt that Indonesia is in a chronic state of crisis. However, the Indonesian nation-state is unlikely to disintegrate at the moment. This situation could change in the future if the authority of the Abdurrahman regime wanes, if the decentralisation laws fail when implemented and if Aceh and Papua succeed in their bids to achieve independence”7
“Indonesia has not yet reached the point where it can take its national unity for granted. In reality it is unlikely to arrive at such a point, but it does not follow that Indonesia will fracture and collapse (Robert Cribb; 1995).

Di sisi lain dominasi pemerintah pusat yang selalu berhasil dalam mempolitisasi otonomi daerah, diyakini atau tidak, merupakan salah satu sebab belum terealisasinya otonomi daerah secara empirik. Seperti yang diungkapkan Afan Gaffar, upaya untuk mewujudkan otonomi bagi daerah dalam rangka negara kesatuan sedikit banyak ditentukan oleh “political configuration” pada suatu kurun waktu,9 menunjukkan betapa kuatnya posisi politik pemerintah pusat dalam mengendalikan jalannya pemerintahan secara nasional.

Dalam pemikiran lain yang lebih praktis, Kimura Hirotsune menjelaskan tentang munculnya dua persepsi yang berlawanan tentang otonomi daerah. Pertama, di satu sisi, otonomi daerah dianggap akan memenuhi kebutuhan daerah yang selama ini mengalami kekecewaan akibat praktek sentralisasi kekuasaan birokrasi yang opresif selama masa 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto. Kedua, pada sisi yang lain, otonomi daerah justru sebaliknya dianggap akan membangkitkan semangat separatisme sehingga bila tidak bisa terkendalikan maka akan mengakibatkan krisis politik nasional.

C. Kritik Otonomi Daerah
Cukup menarik mendiskusikan statemen Wapres Megawati12 dalam Pembukaan Rapat Konsolidasi Pembangunan Nasional di Jakarta (Rabu, 16 Mei 2001), yang mengritik UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya banyak disalahtafsirkan. Salah satu kritik yang paling mengena adalah ditangkap adanya tandatanda berlangsungnya semacam pembangkangan dari Kepala Daerah otonom kabupaten atau kota terhadap Kepala Daerah tingkat propinsi. Wapres juga mencontohkan memiliki potensi SDA yang potensial, sehingga bagi daerah yang miskin SDA, otonomi daerah bukanlah merupakan sebuah solusi. Kedua, keberadaan pelembagaan politik daerah yang menempatkan lembaga legislatif (DPRD I dan DPRD II) pada posisi yang cenderung lebih berdaya dan lembaga eksekutif (Bupati, Walikota, Gubernur) pada posisi yang cenderung kurang berdaya, telah memberi kesempatan yang besar bagi legislatif untuk menjadi penguasa baru yang otoriter. Pada posisi ini, permasalahan yang sangat krusial adalah kepada siapa legislatif mempertanggungjawabkan tugas-tugasnya. Dua alasan politis yang dipaparkan di atas, adalah beberapa argumen penting yang bisa mendukung pemikiran Kimura Hirotsune tentang munculnya dualisme persepsi masyarakat yang saling kontradiktif terhadap otonomi daerah.

Saat masih menjadi Wapres-nya Presiden Abdurrahman Wahid, sebelum akhirnya menjadi presiden pula. pelanggaran pasal 3 UU No. 22/1999 tentang peraturan wilayah laut, yang kemudian menimbulkan aksi pengkaplingan wilayah laut oleh masing-masing Kabupaten. Juga pada pasal 45 tentang laporan pertanggungan jawab Kepala Daerah setiap akhir tahun anggaran yang pada praktiknya ditangkap sebagai upaya penjatuhan Kepala Daerah. Seterusnya Wapres sangat menghargai adanya penyempurnaan UU Otoda yang baru tersebut. Di masa di mana UU No. 22/1999 seakan-akan dianggap sebagai dewa penolong yang utama bagi daerah untuk mengelola sumberdaya-nya sendiri, lontaran dari Wapres tersebut semestinya disambut hangat dan dijadikan diskursus demi perbaikan di masa mendatang.

Memang kita ketahui bahwa sejak merdeka 55 tahun lebih, Indonesia telah memiliki 6 buah UU Pemerintahan Daerah: UU No 1/1945, UU No.22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974 dan terakhir UU No. 22/1999. Selanjutnya, munculnya UU No.22/1999 ditambah UU No. 25/1999 diharapkan mampu menjadi momen untuk memperbaiki relasi pusat-daerah yang timpang selama ini. Otonomi daerah diasumsikan sebagai satu-satunya jalan keluar yang harus ditempuh. Namun pertanyaannya ialah, benarkah otonomi daerah secara praksis, setidaknya sesuai dengan aturan UU No. 22/1999, mampu menjadi obat yang sesungguhnya, yang benar-benar mampu membalik keadaan dari sentralistik menjadi desentralistik?

Harapan besar akan terwujudnya demokrasi dalam UU Otoda ini, harus dipertanyakan kembali, jika roh dan semangat yang melandasi mekanisme penyelenggaraan pemerintahan masih seperti yang tercermin dalam UU No. 5/1974, penuh dengan KKN. Apalagi harus kita catat bahwa legislatif daerah yang dihasilkan dari Pemilu ’99 kemarin adalah personal legislatif yang sangat baru, yang dengan demikian sangat rentan terhadap politik uang (money politics). Juga, banyaknya kepentingan yang harus diwakili, yang direpresentasikan atas partai-partai yang ada, bukan merupakan jaminan demokrasi akan terselenggara dengan baik, malah justru jika tidak hati-hati akan memperkeruh keadaan dan mereduksi nilai substansi demokrasi itu sendiri. Jadi, urgensi otonomi daerah, jika hanya ditunjukkan melalui euforia kita terhadap UU No. 22/1999, tentu tidak hanya akan melestarikan praktek-praktek KKN, tapi juga menumbuhsuburkannya di daerah-daerah. Bukti tentang hal ini, secara riil bisa kita saksikan di lapangan akhir-akhir ini. Protes masyarakat atas pemilihan Kepala Daerah yang baru menjadi konsumsi media secara tak henti-henti.
Seperti diketahui bersama bahwa UU 22/99 tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat. Tidak diberlakukannya sistem otonomi bertingkat atau residual seperti tercermin dalam UU No. 5/1974, merupakan sesuatu yang baru. Maksudnya, Gubernur tidak lagi merupakan atasan dari para Bupati atau Walikota yang ada. Ini memang baik, meski tetap harus dijelaskan lagi.

1 Bahwa keberadaan Gubernur di Propinsi menjadi tidak banyak fungsinya. Jika dikatakan bahwa fungsi Propinsi adalah untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang bersifat lintas kabupaten atau kota, pada intinya justru bisa kita katakan bahwa daerah Tk II masing-masing bisa menyelenggarakannya tanpa dibantu oleh propinsi.

2 Kalaupun Propinsi dihapus, langkah ini harus dipahami tidak hanya menghapus institusinya belaka. Hubungan Gubernur sebagai atasan para Bupati yang dibangun selama berpuluh-puluh tahun dulu, sebenarnya telah menghasilkan sebuah bangunan mentalitas yang sangat feodal. Ini tentu tak bisa dihilangkan begitu saja, sebab menghancurkan hubungan itu melalui sebuah UU jelas memerlukan waktu yang sangat lama.

3 Menjadi tak ada gunanya menghapus hubungan feodal antara Bupati-Gubernur, yang dianggap sebagai inefisien itu, jika lantas inefisiensi ulang diciptakan melalui hubungan yang lebih vertikal lagi yakni dengan pemerintah pusat. Seperti disebutkan Pratikno (2000) bahwa UU No. 22/1999 ternyata tidak banyak melakukan perubahan besar, misalnya status propinsi, sehingga posisi Gubernur masih tetap berfungsi ganda yakni sebagai aparat daerah dan aparat pusat. Kami mencatat bahwa ada beberapa paradoksi yang mesti ditinjau ulang dalam

hal ini. Misalnya pasal 38, pasal 40 ayat 3 dan pasal 46 ayat 3. Pasal-pasal itu masih membuka ruang yang lebar bagi adanya intervensi orang-orang pusat terhadap eksistensi Kepala Daerah. Hal ini tercermin dalam kalimat-kalimat seperti “dikonsultasikan kepada presiden. Pada pasal 46 ayat 3 yang dinyatakan bahwa pemberhentian kepala daerah adalah otoritas dari presiden, sedangkan DPRD hanya sekedar mengusulkan saja; atau pasal 52 yang mengatakan bahwa pemberhentian kepala daerah oleh presiden adalah mutlak dan tidak dapat dibatalkan lagi; atau pasal 55 yang mengatakan bahwa tindakan kriminal / pidana yang dilakukan oleh kepala daerah, pengusutannya harus dilakukan dengan seizin presiden. Hal ini menunjukkan betapa UU No. 22/1999 masih jauh dari kata sempurna.

D. Desentralisasi Politik
Sentralisme rezim Orba, dari sudut pandang ekonomi, bisa dibuktikan dari besarnya produksi sumber daya alam yang mesti disetorkan ke pusat. Sementara dari sisi politik, sentralisme Indonesia bisa mewujud dalam berbagai macam bentuk; mulai dari pemaksaan konstitusi sampai pada pemangkasan-pemangkasan hak politik daerah. Setelah reformasi bergulir, setelah pembusukan sentralisme yang korup berhasil sedikit demi sedikit diungkap, maka bergaunglah otonomi daerah (seluas-luasnya). Bahkan sampai pula pada perdebatan tentang bentuk negara, federasi atau kesatuan. Namun, di sela-sela perdebatan itu kita tentu menginginkan suatu solusi yang adil. Bisa kita sepakati bahwa munculnya problem federasi adalah karena sentralisme; yakni ketidakadilan pusat pada daerah. Oleh karena itu, akar persoalan ini sesungguhnya adalah pada, bagaimana mengatasi persoalan ketidakadilan secara efektif dan proporsional. Ini dilakukan karena dalam negara federasi pun, jika sentralisme kekuasaan politik masih diemban pusat, maka jangan berharap akan ada keadilan.
Otonomi daerah seluas-luasnya mungkin bisa dijadikan alternatif yang cukup baik untuk mengatasi persoalan itu. Namun tampaknya juga harus dimengerti bahwa konsep ‘otonomi seluas-luasnya’ sebetulnya hanya konsep yang diproduksi pemerintah Indonesia. Dalam dunia akademik, tidak pernah dikenal wacana ‘otonomi seluasluasnya’. Sedangkan kalimat yang paling dekat dasn representatif untuk mendeskripsikan konsep otonomi seluas-luasnya adalah devolution atau desentralisasi politik.13 Istilah ini populer di AS tahun 1994 ketika Richard P. Nathan menjulukinya sebagai Devolution Revolution, meski substansi sesungguhnya sudah dikenal lebih kurang 2 dekade lalu. Desentralisasi politik yang dimaksud ini adalah bagaimana mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal. Jadi ia adalah kemampuan unit pemerintah yang mandiri dan independen. Dalam kondisi seperti ini, tentu saja pusat mesti melepas
13 Keterangan berikut mengacu pada karya kawan saya, Fadilah Putra. 1999. Devolusi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan PB KOPRI.

fungsi-fungsi tertentunya untuk menciptakan unit-unit pemerintahan yang otonom. Statusnya berada di luar kontrol langsung dari pemerintah pusat.
Pemerintahan lokal yang otonom dan mandiri memiliki mensyaratkan hal-hal seperti berikut, bahwa pemerintah lokal mempunyai teritorium yang jelas, memiliki status hukum yang kuat untuk mengelola sumberdaya dan mengembangkan lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independen. Ini tentu harus didukung oleh kebijakan yang menyiratkan bahwa kewenangan pemerintah pusat sangat kecil dan pengawasan yang dilakukannya lebih bersifat tak langsung.

Denis Rondinelli (1981)14 mengatakan bahwa desentralisasi politik adalah peralihan kekuatan ke unit-unit geografis pemerintah lokal yang terletak di luar struktur komando secara formal dari pemerintahan pusat. Dengan demikian, desentralisasi politik menyatakan bahwa konsep-konsep pemisahan, dari berbagai struktur dalam sistem politik secara keseluruhan. Pemerintah lokal harus diberi otonomi dan kebebasan serta dianggap sebagai level terpisah yang tidak memperoleh kontrol langsung dari pemerintah pusat. Pada saat yang sama, pemerintah lokal harus memiliki batas-batas geografis yang ditetapkan secara hukum dan jelas di mana mereka (unit-unit tersebut) menerapkan wewenangnya dan melaksanakan fungsi-fungsi publik. Dalam desentralisasi politik, pemerintah lokal juga harus mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan diri sebagai lembaga. Pengertiannya adalah bahwa lembaga ini dianggap rakyat lokal sebagai organisasi yang menyediakan layanan yang memenuhi kebutuhannya dan sebagai unit-unit pemerintah yang berpengaruh. Selanjutnya yang harus diingat adalah bahwa desentralisasi politik merupakan suatu rancangan di mana terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Pemerintah lokal memiliki kemampuan untuk saling berinteraksi dengan unit-unit yang lain dalam sistem pemerintahan yang merupakan bagiannya.
Desentralisasi politik juga merupakan cara untuk lebih mendekatkan pembangunan pada rakyat yang lebih mengetahui situasi dan kebutuhan mereka sendiri. Sedangkan menurut Lenny Goldberg, Come The Devolution, The American Propect, Winter (1996) agar tujuan itu bisa dicapai adalah dengan:

1 Mengembalikan hak-hak sipil dan kebebasan sipil pada rakyat,
2 Pemerintah pusat memberikan hak pengelolaan dana pada pemerintah daerah,
3 Preferensi dari pusat atas sektor pembangunan harus fleksibel dengan preferensi dari daerah,
4 Pemerintah pusat harus dapat mengembangkan standar-standar baru yang dapat memperkuat tanpa mendikte. Mengapa demikian? Biasanya pemerintah pusat seringkali tidak memiliki kepercayaan pada kemampuan pemerintah daerah. Ini bisa ditunjukkan pada perlakuan terhadap SOP (standart operating procedures), atau di sini lebih dikenal dengan istilah Juklak/Juknis, yang sangat berlebihan. Realitasnya, Pemerintah daerah sering tidak dapat segera menjalankan program-program tertentu bila juklak/juknis belum turun dari pusat.
5 Berusaha memberikan kekuasaan kepada rakyat.
Desentralisasi politik dalam konteks operasionalnya adalah penegakan kedaulatan pada legislatif di daerah atas nama basis rakyatnya. Parameter dari penegakan ini adalah:
1 Political will pemerintah pusat dan derajat transfer kewenangan bagi daerah
2 Derajat budaya, perilaku dan sikap yang kondusif bagi pembuatan keputusan dan administrasi yang decentralized
3 Kesesuaian kebijakan dan program yang dirancang bagi pembuatan keputusan dan manajemen yang decentralized
4 Derajat ketersediaan sumberdaya finansial, manusia dan fisik bagi organisasi yang mengemban tanggung jawab yang diserahkan. (Hermawan Sulistiyo; 1998).

Pada umumnya sistem nasional dibagi menjadi tiga tingkat dan dua sektor pemerintah lokal. Ada pusat-pusat nasional, propinsi atau ibukota yang bertindak sebagai perantara lokal. Lokal dibagi menjadi sektor-sektor pedesaan dan perkotaan walaupun pembagian seperti itu di banyak negara sekarang sering hanya merupakan sisa dari pertanian di masa lalu. Dalam beberapa negara, persyaratan-persyaratan khusus dibuat untuk pemerintahan lokal dari pusat-pusat perkotaan yang luas. Perkecualian terhadap tiga pola tingkatan adalah sistem pemerintahan militer, dengan kontrol langsung terhadap lokalitas-lokalitas, meski dewasa ini sistem pemerintahan militer sudah jarang.
Mawhood (1987) misalnya secara tegas mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, the devolution of power from central to local government. 15 Oleh karenanya dapat dimengerti, bila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijaksanaan desentralisasi sebagai upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability, dan local responsiveness. Di antara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah; dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu. Dengan rumusan definisi dan tujuan desentralissai seperti dikemukakan di atas, para pendukung political decentralisasi perspektif percaya bahwa keberadaan kebijaksanaan desentralisasi akan mampu menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis, atau apa yang disebut oleh Vincent Ostrom sebagai the features of a system of governance that would be appropriate to circumstance where people govern rather than presuming that government govern(1991:6). Argumen dasarnya adalah, dengan konsep tersebut diasumsikan society akan memiliki akses yang lebih besar dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sementara, pada sisi lain, pemerintah daerah sendiri, akan lebih responsif terhadap berbagai tuntutan yang datang dari komunitasnya.

E. Good Governance
Jika prasyarat desentralisasi sudah bisa dipenuhi seperti itu, maka cukup bisa dipastikan akan diperoleh hasil bahwa daerah dan pemerintah pusat berbesar hati untuk mewujudkan hal tersebut. Sehingga masalah yang kemudian harus diagendakan penangananya oleh daerah adalah tentang pelaksanaan good governance (penyelenggaraan negara yang baik), khususnya dalam pengelolaan SDA yang menjadi aset andalan pembangunan daerah. Belajar dari bad governance (penyelenggaraan negara yang buruk) di masa lalu yang telah menyebabkan porak-porandanya sistem
15 Dr Syarif Hidayat. 2000. Esensi Otonomi Daerah dalam Perspektif Politik. Jakarta: Media Indonesia.
ekonomi, sosial-bodaya dan sistem ekologi, kita sepakat bahwa di masa depan pengelolaan SDA dan pembangunan daerah haruslah mengacu kepada prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersifat good and clean governance (baik dan bersih).
Menggunakan prinsip good governance, titik tekannya (emphasize) mesti mengandung kesadaran sustainable (berkelanjutan). Di manapun, pembangungan dengan kaidah good and clean governance itu ditujukan guna memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep dari pembangunan berkelanjutan ini merupakan respon atas berbagai kerusakan lingkunan yang disebabkan oleh pembangunan yang memacu pertumbuhan dan tidak menginterasikan aspek lingkungan dalam kebijakannya.16
Prinsip-prinsip good and clean governance yang banyak diperbincangkan saat ini adalah:

1 Lembanga perwakilan (DPRD) yang mampu menjalankan fungsi kontrol dan penyaluran aspirasi masyarakat

2 Sistem peradilan yang fair, mandiri dan profesional

3 Birokrasi yang profesional, responsif dan akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat; dan tatanan masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi kontrol terhadap negara Intinya, good and clean governance yang juga mengintegrasikan prinsip

keberlanjutan ekosistem dalam sistemnya tersebut akan berfungsi sangat baik untuk menuju pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas hidup bersama di daerah. Maka, refleksi kita bersama adalah adalah bagaimana menanamkan komitmen yang kuat untuk bisa berperan maksimal sesuai dengan kapasitas masing-masing elemen mewujudkan good and clean governance, bukan hanya sebagai retorika tapi menjadi paradigma sistem negara.

Good governance merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini banyak diperkenalkan sebagai upaya merumuskan pemerintahan yang baik. Di era otonomi daerah seperti ini, kita melihat tampaknya ada tempat khusus bagi perbaikan kinerja pemerintahan yang ada, terutama pemerintah lokal, di mana nanti diharapkan akan mendukung proses demokrasi ke arah yang sesungguhnya.

Seperti ditunjukkan oleh Meuthia-Ganie Rachman (2000), bahwa good governance mempunyai indikator-indikator yang dimaksudkan sebagai:

1 Penjamin situasi keterbukaan (transparancy)
2 Pertanggungjawaban publik (public accountability) dan,
3 Kontrol dalam proses ekonomi maupun politik

Konsep ini sendiri sebenarnya telah banyak dikembangkan oleh berbagai badan internasional. Secara umum, konsep good governance mengundang keterlibatan masyarakat sebagai pendorong pemerintah (jalur struktur) untuk lebih menghargai sekaligus menempatkan masyarakat sebagai subyek kebijakan, bukan hanya obyek yang bisa diatur ke mana arah kebijakan dirumuskan.

Memang, bahwa konsep good governance (yang dirumuskan oleh negara-negara maju-kapitalis itu) tidak sepenuhnya bisa diterapkan di Indonesia. Konsep ini sendiri harus dipadankan dengan situasi di Indonesia agar jalan menuju terwujudnya demokrasi yang dicita-citakan semakin lempang. Untuk bisa sampai pada apa yang dicita-citakan sebagai “pemerintahan yang baik”, nyaris semua aspek yang terlibat dalam pembangunan Indonesia harus dilibatkan. Aktivis parpol, Ornop, LSM, pemerintah, politisi, pengusaha, agamawan, dan masyarakat secara luas mesti memahami arah dan tujuan pencapaian pembangunan Indonesia. Hal ini mutlak diperlukan, sebab akan menjadi sangat ironis jika antarelemen bangsa justru tidak padu. Bahkan tidak hanya tidak padu, melainkan sulit dimengerti dalam rangka mewujudkan demokrasi yang sehat, jalan-jalan yang tidak sehat tetap digunakan. Ironisnya lagi, itu dianggap sebagai sah sebab mereka mengatasnamakan “pembawa aspirasi demokrasi”.
Urgensi sesegera mungkin membahas konsep good governance bagi pemerintahan (terutama lokal) di Indonesia sulit ditolak. Salah satu urgensi itu adalah bagi pembentukan masyarakat sipil yang bertanggung jawab di satu sisi, dan penciptaan pemerintahan yang baik di lain pihak. Sehingga problematikanya, mana yang lebih dulu diciptakan? Good governance atau civil society? Sekiranya pertanyaan ini bukanlah merupakan pertanyaan pilihan, di mana kita harus memilih salah satunya. Keduanya adalah satu: Satu komponen dalam pengembangan masyarakat bangsa secara adil. Memilih salah satunya untuk didahulukan pada akhirnya juga akan menegasikan yang lain. Orde Baru adalah contoh yang baik untuk kita bisa mengerti bahwa rezim pada saat itu memilih salah satunya. Mereka berusaha terlebih dahulu untuk menciptakan “pemerintahan yang baik” di satu sisi, yang lantas mengabaikan “keberdayaan masyarakat” di lain pihak. Dari sini bisa kita mengerti bahwa upaya keras untuk menciptakan demokrasi harus didukung oleh kedua jalur itu; tidak hanya satu. Satu jalur berkeinginan keras untuk menciptakan demokrasi, sementara di sisi lain terlihat enggan untuk berpartisipasi dalam meraih demokrasi, di samping fatal, hal ini tentunya akan senjang dan timpang. Inilah yang jarang kita sadari. Sering kita terjebak pada fatamorgana bahwa demokrasi hanya akan bisa terwujud melalui aksi massa rakyat pada pemerintah yang korup.


F. Penutup: Peluang Menuju Demokrasi
Secara normatif demokrasi menurut Robert A. Dahl adalah sistem yang benarbenar atau hampir mutlak bertanggung jawab kepada semua warga negaranya. Secara lebih empirik demokrasi menurut Joseph A. Schumpeter adalah sistem, di mana para pengambil keputusan kolektifnyua yang paling kuat dipilih melalui pemilu periodik, di mana para calon bebas bersaing untuk merebut suara dan di mana hampir semua orang dewasa berhak memilih. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa demokrasi mengandung dua dimensi penting, yaitu persaingan dan partisipasi. Sementara leboih dahulu dari mereka, Plato, telah mengingatkan bahwa demokrasi itu penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat berbuat sekehendak hatinya. Bahkan demokrasi diidentikan dengan cara-cara pemborosan dan membosankan serta mengandung resiko besar. Dengan demokrasi yang diiringi globalisasi perekonomian yang semakin nyata menunjukkan bahwa interdependensi berbagai negara dan masyarakat bangsa-bangsa semakin kuat dan nyata. Kenichi Ohmae (1999) mengingatkan bahwa saat ini kita sedang dan akan memasuki era dunia tanpa batas. Secara ringkas dunia tanpa batas ini ditandai dengan semakin terfokusnya masalah ke dalam 5 C yang strategik:

1 Customer
2 Company
3 Competition
4 Currency
5 Country.

Aspek country tetap menempati posisi yang penting dalam globalisasi nanti sebagai penyiap berbagai lingkungan hidup dan institutional arrrangement yang memungkinkan organisasi-organisasi global dapat berperan di dalamnya. Reasoning di atas mengatakan bahwa negara dianggap berperan pada wilayah akselerator publik, penghubung antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan multinasional.

Jumat, 24 Juni 2011

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK (Analisis Tingkat Keterlibatan Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan)

BAB I
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang
Dalam suatu negara hukum yang demokratis, penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dilakukan melalui kebijakan publik. Proses kebijakan pubIik dalam negara demokrasi yang konstitusional mengimprasikan keterlibatan unsur pemerintah, dunia usaha dan masyarakat luas, yang didasari dan disemangati nilai-niIai kemanusiaan dan peradaban yang luhur, serta diselenggarakan dengan mengindahkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance).
Kebijakan publik merupakan fenomena yang kompleks dan dinamis. Kompleksitas dan dinamika tersebut akan lebih terasa apabila pengamatan kita ditujukan pada proses kebijakan. Dari perspektif manajemen, proses kebijakan dapat dipandang sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi paling tidak tiga kelompok utama, yaitu (1) formulasi kebijakan, (2) pelaksanaan kebijakan, dan (3) evaluasi kinerja kebijakan (Mustopadidjaja1 2003).
Kinerja pemerintahan yang balk (good government performance) harus diawali dengan kebijakan yang baik (good policy), dan good policy hanya dapat dicapai melalui formulasi kebijakan yang balk (good policy formulation). Tanpa formulasi kebijakan yang baik tidak mungkin kebijakan yang baik akan terwujud, dan kinerja yang tinggi hanya dapat terwujud jika didukung oleh sistem dan proses pelaksanaan kebijakan yang baik.
Menurut R. Dye (dalam Mustopadidjaja, 2003), dalam perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi, politik, administrasi publik dan kebijakan publik, telah memperkenalkan berbagai model pembuatan atau formulasi kebijakan meliputi: (1) Model Kelembagaan, kebijakan dipandang sebagai kegiatan lembaga pemeritahan; (2) Model Proses, kebijakan dipandang sebagai aktivitas politik; (3) Model Elit, kebijakan dipandang sebagai preferensi elite; (4) Model Kelompok, kebijakan dipandang sebagai konsensus kelompok; (5) Model Rasional, kebijakan dipandang sebagai pencapaian tujuan secara rasional, dan menjamin optimalitas sosial; (6) Model Inkremental, kebijakan dipandang sebagai modifikasi kebijakan sebelumnya; (7) Model Sistem, kebijakan dipandang sebagai keluaran dan sistem; (8) Model Permainan, kebijakan dipandang sebagai pilihan rasional dalam situasi yang kompetitif; dan (9) Model Pilihan Publik, kebijakan dipandang sebagai pembuatan keputusan kolektif dan individu-Individu yang berkepentingan.
Dalam rangka model-model kebijakan tersebut berkembang pilihan-pilihan mengenai sistem manajemen kebijakan, yang secara ekstrim dapat dibagi atas dua kelompok yaitu yang: (1) bersifat sentralistik, otoriter dan non-partisipatif; dan (2) bersifat demokratik, desentralistik, transparan, partisipatif, manusiawi dan rasional. Dalam sistem pengambilan atau perumusan kebijakan yang demokratik, desentralistik, terbuka dan partisipatif, dimana peran berbagai stakeholders dengan latar belakang dan perilaku yang berlainan, perlu dipertimbangkan sikap politik masing-masing dan pengaruhnya terhadap pilihan atas sejumlah kemungkinan alternatif atau opsi kebijakan.
Perkembangan sejarah politik dan pemerintahan dalam kurun waktu sebelum era reformasi telah berkembang proses penyusunan atau formulasi kebijakan dan manajemen pemerintahan yang bersifat sentralistik, elitis, otoriter, dan relatif tertutup. Dalam kondisi demikian, proses demokrasi dan sistem pertanggungjawaban menjadi semu, sistem checks and balances tidak berkembang, KKN merajalela, dan pengawasan serta penegakan hukum menjadi tidak efektif.
Mungkin model yang berkembang pada kurun waktu tersebut bersifat rasional, namun tidak human. Akibatnya sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi politik bangsa menjadi rapuh. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dengan berbagai dampaknya yang luas merupakan bukti kerapuhan sistem kebijakan yang berkembang selama ini.
Negara kita adalah negara hukum yang demokratis, berbentuk negara kesatuan dengan sistem dan proses kebijakan yang mengakomodasikan peran serta masyarakat yang luas, dimana pengambilan keputusan politik yang strategis (GBHN) dan kebijakan-kebijakan pokok lainnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, dilakukan bersama secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat bangsa.
Sedangkan, pengembangan kebijakan selanjutnya seperti Propenas/Propeda dan APBN(D), Undang-undang dan dan Perda dilakukan bersama pemerintah, yang harus terjamin keserasiannya baik secara substantif maupun format perundangundangannya. Dalam rangka reformasi total menuju masyarakat Indonesia Baru dan dalam menghadapi tantangan abad ke-21 yang syarat dengan tuntutan demokratisasi, transparansi dan daya saing, akuntabilitas, dan tegaknya HAM dewasa ini, diperlukan suatu pendekatan bahkan paradigma dimana setiap stakeholders dapat beranjak untuk melakukan aktivitas, interaksi dan partisipasinya dalam proses formulasi atau perumusan kebijakan.

I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka kajian ini difokuskan untuk mencemati lebih lanjut mengenai tingkat keterlibatan masyarakat dalam pembuatan atau formulasi kebijakan Publik di Indonesia




BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Kebijakan Publik
Menurut Para Ahli :
· Thomas R. Dye : “Public Policy is whatever government choose to do or not to do.” Apapun yang dipilih pemerintah untuk bertindak untuk melakukan atau tidak melakukan.
· David Easton : “ Public Policy is the authoritative allocation of values for the whole society.” Kebijakan public adalah pengalokasian nilai-nilai secara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyarakat serta hanya pemerintah yang memiliki kekuasaan.
· Harold D. Laswell and Abraham :” A projected program of goals values and practices.” Kebijakan publik sebagai program pencapaian tujuan nilai-nilai dan praktika-praktika yang terarah.
· M. Irfan Islamy :” Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan-tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.”
Kebijakan publik secara umum dapat dijelaskan sebagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
Proses dan tahap pembuatan kebijakan publik menurut Thomas R. Dye:
1. Problem Identification( Identifikasi Masalah)
2. Agenda Setting ( Prioritas Masalah)
3. Policy Formulation (Perumusan Kebijakan)
4. Policy Legitimation (Pengesahan Kebijakan)
5. Policy Implementation (Penerapan Kebijakan)
6. Policy Evaluation (Laporan Kebijakan & Pengawasan)
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan public anatara lain perlunya dorongan dari berbagai kebijakan, situasi ekonomi yang berkaitan dengan dana, sarana pendukung untuk para pelaksana, teknologi yang dapat mendukung implementasi kebijakan serta perkiraan apakah kebijakan tersebut akan menimbulkan masalah baru atau mengancam pertahanan dan keamanan negara.

2.2 Formulasi Kebijakan Publik
Formulasi kebijakan yang lazimnya diawali dengan identifikasi isu kebijakan tertentu dan berujung pada penentuan opsi kebijakan. Hasil formulasi kemudian tuangkan dalam format perundang-undangan tertentu, menyentuh dinamika interaksi sosial politik dan kelembagaan yang melibatkan berbagai kelompok kepentingan. Substansi permasalahan yang dihadapi tidak lepas dari dinamika dan kompleksitas perkembangan lingkungan kebijakan.
Untuk menambah sensitivitas terhadap kondisi lingkungan kebijakan, berikut diidentifikasi “9 views” yang kiranya patut mendapat perhatian dalam analisis kebijakan (Mustopadidjaja, 2003). Views (pandangan) dimaksud adalah semacam intellectual ventures yang bertalian dengan kajian dan formulasi kebijakan.
Pertama, agenda setting adalah suatu tahap sebelum perumusan kebijakan dilakukan, yaitu bagaimana isu-isu itu muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindakianjuti berupa tindakan-tindakan pemerintah. Banyak isu yang masuk ke pemerintah, yang diharapkan agar pemerintah segera mengambil tindakan, ternyata pemerintah tidak bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat.
Kedua, cara pandang sistemik; tak ada suatu permasalahan kebijakan publik yang tidak terkait dengan masalah-masalah lainnya, kita harus mengenali benar saling hubungan tersebut, dan mengidentifikasi secara obyektif posisi permasalahan yang dihadapi dalam konteks keseluruhan masalah yang dihadapi masyarakat.
Ketiga, eksternalitas dan jastifikasi intervensi pemerintah; analisis kebjakan juga harus memperhatikan berbagai biaya dan manfaat yang tidak langsung (indirect cost and benefits) yang mungkin timbul belakangan dan sulit diukur, disamping perhatiannya yang sangat intensif terhadap biaya dan manfaat langsung dan berbagai kebijakan yang justru mudah dilihat dan diukur.
Keempat, psikologi penentuan pilihan; adanya keterbatasan pendekatan rasional dan informasi mengenai kompleksitas dalam pengambilan keputusan yang memerlukan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kemampuan intelegensia yang timbul sebagai nilai lebih berkat pengalaman hidup atau akumulasi nilai yang didapat akibat interaksi sesama aktor dalam proses pengambilan keputusan dimana juga dipertimbangkan berbagai diagnosis dan prognosis.
Kelima, pemetaan alternatif; perjalanan mencari sesuatu memerlukan peta sehingga jelas jalan dan arah mana yang telah kita lalui dan kemana lagi kita harus melangkah. Dalam pengambilan keputusan kita mengenal konsep decision tree yang dapat membantu mengembangkan peta dan jalur-jalur pilihan yang dapat ditempuh.
Keenam, pentingnya analisis marjinal; kita harus memperhatikan batas-batas toleransi biaya yang mungkin harus dikeluarkan untuk mencapai kinerja dengan batas-batas kepuasan atau tingkat capaian tertentu, karena akan lebih realistis dari pada bersikap babwa keseluruhan tujuan atau tingkat kepuasan maksimal dapat dicapai.
Ketujuh, biaya ekonomis; konsep opportunity costs yang menyatakan bahwa biaya sesungguhnya dari suatu program belum terungkap sepenuhya dalam nilai uang, tetapi dari berbagai nilai yang harus dikorbankan karena pendanaan program tersebut dan itulah yang kita harus perhitungkan.
Kedelapan, pluralitas, interdependensi dan dinamika kepuasan; yang ingin dikemukakan adalah kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan, siapa yang melakukannya, dan kapan harus dilakukan adalah tidak mudah dan dapat cepat dicapai dan banyak faktor yang berpengaruh di dalamnya.
Kesembilan, output; bukan hanya input yang jadi tuntutan pertanggungjawaban, esensinya adalah kebijakan harus dinilai tidak atas dasar upaya apa yang telah dicoba untuk mencapai sesuatu, melainkan atas dasar apa yang secara nyata telah dicapainya.
Uraian di atas mengisyaratkan perlunya kita mengantisipasi perilaku politik stakeholders dalam proses formulasi kebijakan. Pluralitas sosiopolitik yang melekat pada konsep dan mewarnai kehidupan demokrasi, bersama dengan masalahmasalah etika dan psikokultural yang berpengaruh terhadap perilaku para aktor sosial politik, perlu mendapat perhatian tersendiri dalam manajemen proses kebijakan pada keseluruhan tahapannya. Pada tahap formulasi kita perlu menandai peta politik dengan mengantisipasi kemungkinan sikap para stakeholders yang berperan dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam menentukan pilihan atas sejunlah opsi kebijakan.

2.3 Langkah-langkah dalam Formulasi Kebijakan
Secara sederhana langkah-langkah dalam melakukan formulasi atau analisis
kebijakan publik dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pengajuan Persoalan. Tujuan daripada kegiatan ini adalah untuk menentukan dan memahami hakekat persoalan dan suatu permasalah dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat. Tiga bakal pokok yang perlu dimiliki untuk melakukan pengkajian persoalan adalah teori, metodologi (metode dan teknik) dan informasi. Teori, metode, dan teknik yang diperlukan dalam tahapan ini adalah metode penelitian (termasuk evaluation research), metode kuantitatif, dan teori-teori relevan dan selaras dengan substansi persoalan yang dihadapi, serta informasi mengenai substansi permasalahan tersebut. Pesan metodologi penelitian yang perlu diingat disini adalah perumusan persoalan secara operasional dan fungsional. Rumusan tersebut harus nyata dan jelas pengertiannya serta terjabarkan yang mana faktor-faktor penyebab (independent variabel), dan faktor-faktor yang merupakan akibat (dependent variabel). Teori tertentu yang relevan dengan persoalan akan mempermudah pengkajian persoalan, sedangkan metode-metode kuantitatif akan membantu perumusan yang operasional.
2. Penentuan Tujuan. Tujuan adalah akibat yang secara sadar ingin dicapai atau ingin dihindari. Secara umum suatu kebijakan selalu bertujuan untuk mencapai kebaikan-kebaikan yang lebih banyak dan lebih baik atau mencegah terjadinya keburukan-keburukan atau kerugian-kerugian semaksimal mungkin. Kewajiban analis dalam tahapan ini adalah merumuskan tujuan tersebut secara jelas, realistis, dan terukur.
3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah alat atau cara-cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai, langsung ataupun tidak langsung, sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Bisa juga dikaitkan sebagai pilihan-pilihan di luar alat atau cara-cara yang telah digunakan atau yang telah ada. Alternatif-alternatif kebijakan dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal. Pertama, berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang ada (sedang dijalankan). Kedua, dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam sesuatu bidang dan dicoba diterapkan dalam bidang yang tengah dipelajari (balancing). Ketiga, merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu (inventive) (Starling, 1974).
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang dihadapi, diwujudkan dalam hubungan-hubungan kausal atau fungsional. Model dapat dituangkan dalam berbagai bentuk seperti model skematik (flow chart dan arrow diagram), model fisikal (miniatur), model game (latihan manajemen, peperangan, dsb.), model simbolik (ekonometrika, program komputer), dan sebagainya. Manfaat dari pada model dalam analisis kebijakan adalah mempermudah deskripsi persoalan secara struktural, membantu dalam melakukan prediksi akibat-akibat yang timbul dari dan atau tiadanya perubahanperubahan dalam faktor penyebab. Dengan demikian, model merupakan alat bantu yang baik dalam perumusan dan penentuan solusi, atau dalam perumusan tujuan dan pengambangan serta penentuan pilihan alternatif kebijakan.
5. Penentuan Kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif-alternatif. Ini menyangkut bukan hanya hal-hal yang bersifat pragmatis seperti ekonomi (efisiensi, dsb.), politik (konsensus antar stakeholders, dsb.), administratif (kemungkinan efektivitas, dsb.), dan seterusnya, tetapi juga hal-hal yang menyangkut nilai-nilai abstrak yang fundamental seperti etika dan falsafah kriteri yang berhubungan dengan nilai dan pandangan hidup. Dalam hubungan ini, bangsa Indonesia telah memiliki Pancasila dan UUD 1945 sebagai “Pedoman Perilaku” dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang secara imperatif harus dijadikan nilai dasar yang menghikmati setiap kebijakan. Nilai dasar tersebut perlu dikembangkan sehingga secara tehnis bisa dijadikan kriteria dalam penilaian dan penentuan alternatif-alternatif kebijakan; dan secara sosiokultural dapat berperan sebagai pedoman perilaku dalam interaksi keseluruhan proses kebijakan.
6. Penilaian Alternatif. Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria-kriteria di atas. Tujuan penilaian adalah mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan fasilitas tiap alternatif dalam pencapaian tujuan, sehingga diperoleh kesimpulan mengenai alternatif yang mungkin paling efektif dan efisien. Misalnya, dari segi ekonomi (alternatif mana yang paling efisien, atau yang akan memberikan keuntungan terbesar dengan ongkos termurah, dsb.), dari segi politik (perlu diperhitungkan alternatif mana yang paling bisa diterima, dsb.), dari segi administratif (perlu dilihat apakah suatu alternatif secara kelembagaan bisa dilaksanakan). Alternatif perlu pula dinilai dari segi etis dan falsafah. Mungkin suatu alternatif secara ekonomis menguntungkan dan secara administratif bisa dilaksanakan, tetapi bertentangan dengan nilai-nilai sosial tertentu sehingga (kemungkinan besar) tidak ada kemufakatan dari stakeholders untuk menerimanya.
7. Perumusan Rekomendasi. Penilaian atas alternatif-alternatif akan memberikan gambaran mengenai sejumlah pilihan-pilihan yang “tepat” untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Langkah akhir dan analisis kebijakan adalah merumuskan saran mengenai alternatif yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan secara optimum pada kondisi berbagai faktor lingkungan, administrasi, dan ekonomi tertentu. Dalam rekomendasi ini ada baiknya dikemukakan juga “strategi pelaksunaan” dari alternatif-alternatif kebijakan yang disarankan tersebut (implementation strategy of the recommended policy alternatives).
2.4 Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan
Dalam perumusan kebijakan publik paling tidak terdapat sebanyak enam faktor strategis yang biasanya mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Faktor politik. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan publik, karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik aktor-aktor dari pemerintah maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, LSM, asosiasi profesi, media massa, dan lain-lain).
2. Faktor ekonomi/finansial. Faktor mi pun perlu dipertimbangkan terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan atau menyerap dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam suatu daerah.
3. Faktor administratif/organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu pula dipertimbangkan faktor administratif atau organisatoris yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
4. Faktor teknologi. Dalam perumusan kebijakan publik perlu mempertimbangkan teknologi yaitu apakah teknologi yang ada dapat mendukung apabila kebijakan tersebut diimplementasikan.
5. Faktor sosial, budaya, dan agama. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya, dan agama atau yang sering disebut masalah Sara.
6. Faktor pertahanan dan keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan ini pun akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang akan dikeluarkan tidak mengganggu stabilitas keamanan suatu daerah.

2.5 Stakeholders dalam Perumusan Kebijakan Publik
Proses perumusan kebijakan publik sejauh mi dipahami sebagai kegiatan sosiopolitik yang dinamis dan berlangsung dalam sistem kelembagaan formal dan informal yang kompleks. Dengan demikian, proses kebijakan publik yang harus senantiasa terjaga konsistensinya dengan dimensi-dimensi nilai yang melekat dalam sistem administrasi negara, menjadi bukan persoalan yang sederhana apabila diproyeksikan pada reaitas konfigurasi para pelaku serta garis aspirasi dan alur garis penetapan kebijakan dalam keseluruhan proses kebjakan publik.
Pelaku permusan kebijakan publik pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu: (1) Resmi, termasuk dalam pelaku ini adalah lembaga pemerintahan seperti birokrasi, presiden (eksekutif), DPR/D (legislatif) dan Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya (yudikatif); (2) Tidak Resmi, termasuk dalam pelaku ini adalah kelompok kepentingan, partai poitik, LSM, media massa dan manajemen individu.
Lembaga/instansi pemerintah banyak terlibat dalam perumusan ataupun pengembangan kebijakan publik. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah tertentu sehingga keterlibatan lembaga itu sebagai aparat pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka. Dengan pemahaman tersebut, maka lembaga/instansi pemerintah telah menjadi pelaku penting datam proses pembuatan kebijakan.
Selain itu, lembaga/instansi pemerintah juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan kebijakan dalam sistem politik. Lembaga/ instansi tersebut secara khas tidak hanya menyarankan kebijakan, tetapi juga secara aktif melakukan lobi dan menggunakan tekanan-tekanan dalam penetapan kebijakan publik.
Di tingkat daerah lembaga legislatif disebut DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Daerah. Setiap peraturan perundangundangan yang menyangkut persoalan-persoalan publik harus mendapat perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, penyelidikan-penyelidikan, dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat pemerintah, kelompok-kelompok kepentingan, dan lain sebagainya.
Keberadaan lembaga legislatif tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Lembaga ini terbentuk melalui permilu yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
Partai politik yang memenangkan pemilu akan menempatkan para wakil rakyatnya yang selanjutnya akan mengartikulasikan tuntutan-tuntutan masyrakat. Tuntutan-tuntutan itu kemudian dirumuskan dalam bentuk kebijakan yang “seharusnya” dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Dengan kata lain, partai politik merupakan perwakiIan dari suara rakyat yang telah memandatkan suaranya melalui proses pemilu untuk duduk di lembaga legislatif serta diharapkan dapat memper- juangkan apa yang menjadi aspirasi, tuntutan, dan kepentingan masyarakat.
Kelompok kepentingan merupa-kan pemeranserta tidak resmi yang memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan di hampir semua negara. Perbedaan yang mungkin ada bergantung pada apakah negara demokratis atau otoriter, moderen atau berkembang. Perbedaan tersebut me nyangkut keabsahan serta hubungan antar pemerintah dengan kelompok-kelompok tersebut. Dalam sistem politik demokratis, kelompok-kelompok kepentingan akan lebih memainkan peran yang lebih dengan kegiatan yang lebih terbuka dibanding sistem otoriter.
Dalam sistem demokrasi kebebasan berpendapat dilindungi, serta warga negara mempunyai keterlibatan politik. Walaupun dalam kedua sistem tersebut kelompok-kelompok kepentingan berbeda dalam hal hubungan dan sifat aktivitasnya, namun pada semua sistem tersebut, kelompok-kelompok kepentingan menjalankan fungsi artikulasi kepentingan, yaitu mereka berfungsi menyatakan tuntutan-tuntutan dan memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan. Kelompok kepentingan juga saling memberikan informasi kepada para pejabat publik dan sering informasi yang diberikan bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari usul-usul kebijakan yang diajukan, sehingga kelompok kepentingan telah memberikan sumbangan yang berarti bagi rasionalitas pembuatan kebijakan.
Dalam sistem demokrasi, partai-partai politik memegang peranan penting karena digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Hal ini berarti bahwa partai-partai politik pada dasarnya lebih berorientasi kepada kekuasaan dibandingkan kebijakan publik. Namun demikian, pengaruh mereka tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses pembuatan kebijakan publik. Partai Politik di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3l Tahun 2002 merupakan organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara RI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Partai politik mernpunyai tugas untuk menyalurkan aspirasi, menampung, mengolah dan mengintegrasikan aspirasi masya-rakat yang selanjutnya membuat usulan kebijakan.
Partisipasi warga negara dalam sistem politik, walaupun sistem politik tersebut merupakan sistem politik demokratis, sering dianggap mempunyai partisipasi rendah. Hal ni didasarkan pada kenyataan bahwa banyak orang tidak memberikan suaranya pada waktu pemilihan umum, tidak ikut serta dalam kegiatan partai politik, tidak terlibat dalam kelompok-kelompok penekan serta mempunyai perhatian yang rendah terhadap sistem politik.
Di negara-negara yang berdasarkan sistem otoriter, kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan para warga negara biasanya merupakan akibat dan kebijakan-kebijakan publik. Penguasa akan tetap menaruh perhatian terhadap apa yang menjadi keinginan rakyat agar kekacauan sedapat mungkin diminimalkan, dan juga mempunyai keinginan untuk menjaga keutuhan negara, seperti halnya keinginan para warga negara meskipun mereka tidak dliibatkan secara langsung dalam pembuatan kebijakan.
Dalam negara demokratis, pemilu merupakan tanggapan tidak langsung terhadap tuntutan-tuntutan warga negara dalam pembuatan kebijakan karena memungkinkan untuk memilih para pejabat dan sedikit banyak menginstruksikan para pejabat mengenai kebijakan tertentu. Dengan demikian, warga negara mempunyai hak untuk didengar dan para pejabat mempunyai tugas untuk mendengarkan.
Dalam proses pembuatan suatu kebijakan, perlu keterlibatan para pembuat kebijakan, baik pelaku yang resmi maupun yang tidak resmi. Untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan, terlebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pelaku (participant), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau kekuasaan yang mereka miliki, bagaimana mereka saling berhubungan dan saling mengawasi.

2.6 Implementasi Kebijakan Publik
1. Implementasi Kebijakan Pada Prinsipnya:
Cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan.
Untuk mengiplementasikan kebijakan ada dua pilihan langkah:
1. Langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program.
2. Melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk Undang –Undang atau Pancasila adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan (PP)

2. Pengelolaan Implementasi Kebijakan
Pertimbangan Kemungkinan
Kebijakan/Program dapat disebut gagal karena keduanya memang tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana. Kebijakan/Program dapat dilaksanakan sesuai rencana, tetapi tidak mampu mencapai hasil yang diharapkan.
Implementasi Kebijakan
· REGULATIF
Kebijakan yang dirancang untuk menjamin terwujudnya penaatan terhadap serangkaian ketentuan, aturan ataupun prosedur tertentu yang diwajibkan kepada objek dan subjet kebijakan.
· ALOKATIF
Kebijakan yang menetapkan kebutuhan masukan/input berupa dana, waktu, personil maupun perlengkapan ( termasuk tehnologi, mesin, sarana dan prasarana.
3. Analisis implementasi menkaji beberapa faktor yang menghambat atau mempelancar pelaksanaan kebijakan:
1. Siapa dan berapa banyak unsur pelaksana kebijakan
2. Bagaimana setting pelaksanaannya
3. Apakah ada standar operasional yang baku.
4. Bagaimana tingkat konsensus pelaksanaan kebijakan yang disepakati.
5. Bagaimana tingkat dampak yang diharapkan
6. Tehnik apa yang dapat digunakan untuk peleksanaan kebijakan ini.
7. Apakah sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pelaksanaan telah tersedia.
4. Fungsi Pemantauan Implementasi Kebijakan
Compliance (penaatan): memonitor apakah tindakan pelaksana kebijakan dan stakeholders memenuhi standar dan prosedur yang telah ditetapkan. Auditing(pemeriksaan): memeriksa apakah sumber-sumber dan program yang ditujukan bagi target group dan benefeciaries telah benar-benar atau diterima yang bersangkutan. Explanation (penjelasan): memperoleh informasi untuk menjelaskan tingkat kinerja kebijakan.
5. Upaya – Upaya Mencegah Kegagalan Implementasi Kebijakan
1. Kebijakan tidak bersifat Ambiqua
2. Prosedur administrasi jelas dan dikomunikasikan secara konsisten
3. SDM terlatih dan well informended tersedia untuk melaksanakan kebijakan
4. SDM memperoleh delegasi wewenang
5. SDM memperoleh insentif dan motivasi
6. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi
Aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.(Udoji,1981,hal.32)
6. Model-Model Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakn yang berpola “dari atas kebawah “ (top-bottomer) versus dari” bawah keatas “ (bottom topper), Implementasi yang berpola paksa (command-and-conntrol) dan mekanisme pasar (economic incentive).
· Kebijakan Publik Yang Bisa Langsung Operasioanal :
1. Keppres,
2. Inpres,
3. Kepmen,
4. Keputusan Kepala Daerah,
5. Keputusan kepala dinas,
6. Dan lain-lain
· Model Mekanisme Paksa
Model yang mengedepankan arti penting lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme paksa didalam negara dimana tidak ada mekanisme insentif bagi yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau melanggarnya.


· Model Mekanisme Pasar
Model yang mengedepankan mekanisme insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak mendapatkan sanksi, namun tidak mendapatkan insentif. Ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau melanggarnya

7. Variabel Yang Mempengaruhi Kebijakn Publik
1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganisasi.
2. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor,
3. Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan
4. Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/ implementor.
8. Hambatan Dalam Implementasi Kebijakan
Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis palaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening: yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsitensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga palaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen & kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/ badan pelaksan dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kebutuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.




2.7 Syarat Implementasi Kebijakan Brian W. Hoogwood dan lewis A. gun (1978)
Syarat pertama berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan tidak akan menimbulkan masalah yang besar. Syarat kedua adalah apakah untuk melaksanakannya tersedia sumberdaya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu. Gagasan sangat bijaksana karena berkenaan dengan fabisilitas dari implementasi kebijakan Syarat ketiga apakah perpaduan sumber –sumber yang diperlukan benar-benar ada. Kebijkan publik adalah kebijakan yang komplek dan menyangkut impak yang luas. Karen aitu, Implementasi kebijakan publik akan melibatkan berbagai–bagai sumber yang diperlukan, baik dalam konteks sumber daya atau sumber aktor. Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal. Jadi, prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang dapat menyelesaikan masalah yang hendak ditanggulangi. Dalam metodologi dapat disederhanakan menjadi “apakah jika X dilakukan akan terjadi Y”. Syarat kelima adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Asumsinnya, semakin sedikit hubungan “sebab akibat”,semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah kebijkan yang mempunyai hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas implementasi kebijakan . Syarat keenam adalah apakah hubungan saling ketergantungan kecil. Asumsinya adalah jika hubungan saling ketergantungan tinggi, justru implementasi tidak akan dapat berjalan secara efektif apa lagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan. Implementasi kebijakan pengaruh utamaan gender banyak menemui kendala karena Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tergantung dalam intensitas yang tinggi kepada seluruh departemen dan LPND serta kepada daerah-daerah. Syarat ketujuh adalah pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Tidaklah begitu sulit dipahami, bahwa mereka yang ada dalam perahu yang sama sepakat akan tujuan yang sama . sebuah perahu dengan penumpang dengan tujuan yang berbeda-beda dan tidak ada yang mampu memimpin, adalah sebuah perahu yang tidak pernah beranjakk dari tempatnya berada. Jika Kepala Daerah dan DPRD tidak pernah bersepakat bahkan saling menjatuhkan untuk menyusun satu kebaikan publik untuk membawa kemajuan bagi rakyat daerah, yang terjadi adalah kemerosotan pembangunan dikawasan tersebut. Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektivitas implementassi kebijakan. Syarat kesembilan adalah komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Komunikasi adalah organisasi, dan koordinasi adalah asal muasal dari kerjasama tim serta ter bentuknya sinergi. Syarat kesepuluh adalah bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.Kekuasan atau power adalah syarat bagi kefektivan implementasi kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari kekuasaan, maka kebijakan akan tetap berupa kebijakan tanpa ada impak bagi target kebijakan.

2.8 Memilih Model
Setelah mengetahui model-model implementasi kebijakan, masalah penting adalah model mana yang terbaik yang hendak dipakai? Jawabannya adalah tidak ada model yang terbaik. Setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara top-down seperti kebijakan anti-terorisme. Kebijakan – kebijakan yang bersifat top-downer adalah kebijakan yang bersifat sangat strategis dan berhubungan dengan keselamatan negara. Berbeda dengan kebijakan yang lebih efektif jika diimplementasikan secara Bottom-upper, yang biasanya berkenaan dengan hal-hal yang tidak secara langsung berkenaan dengan national security seperti kebijakan kontrasepsi (KB), padi varitas ungul, pengembangan ekonomi nelayan, dan sejenisnya.
Namun sebenarnya, pilihan yang paling efektif adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijakan publik yang partisivatif, artinya yang bersifat top-downer dan bottom-upper. Model seperti ini biasanya lebih dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan, dan murah. Bahkan dapat pula dilaksanakan untuk hal-hal yang bersifat national security. Indonesia mempunyai kebijakan keamanan nasioanal yang disebut sebagai pertahanan rakyat semesta dimana konsep ini menghendaki implementasi pertahanan nasional melibatkan kerja sama antar militer dengan rakyat, dimana kedua komponen ini tidak saling berhubungan secara hierarkis, namun berhubungan secara kooperatif murni.

2.9 Tepat Penanggulangan Masalah Dalam Implementasi Kebijakan
Tepat pertama, adalah apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excellent is the policy. Sisi kedua dari kebijakan adalah apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan seperti yang kita bahas pada bab sebelumnya tentang perumusan kebijakan. Sisiketiga adalah, apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan ) yang sesuai dengan karakter kebijakannya.
Tepat kedua adalah “tepat pelaksananya”. Aktor implementasi kebijakan tindakan hanya pemerintah . Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerja sama antara pemerintah- masyarakat/swasta , atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atrau contractig out). Kebijakan–kebijakan yang bersifat monopoli, seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama dengan masyarakat, seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau dimana pemerintah tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-industri berskala menengah dan kecil yang tidak strategis , sebaiknya diserahkan kepada masyarakat.
Tepat ketiga adalah “tepat target”. Ketepatan berkenaan dengan tiga hal. Pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan interrvensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Di Indonesia kebijakan untuk Income generating diwarnai dengan banyaknya kebijakan pemberian kredit bersubsidi oleh berbagai departemen yang akhirnya overlapping dan saling mematikan di lapangan. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk disintervensi, ataukah tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target dan kondisi mendukung atau menolak. Sosialisasi kebijakan pertanian dikawasan konflik tidaklah salah, namun tidak efektif karena prioritas utama adalah keselamatan nyawa. Pembangunan kawasan industri maju dikawasan terbelakang tanpa menyiapkan masyarakatnya menghasilkan penolakan yang laten seperti pada kasus–kasus di Papua (Irian Jaya). Ketiga, apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
Tepat keempat adalah “tepat lingkungan “. Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan, yaitu interaksi diantara lembaga perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Donald J. Calista (1994) menyebutkan sebagai pariabel endogen, yaitu authoritativa arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari berbagai organisasi yang terlibat dengan kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, dan implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar menawar antara otoritas yang mengeluakan kebijakan dengan jejaring yang berkenaaan dengan implementasi kebijakan. Lingkungan kedua adalah lingkungan eksternal kebijakan yang disebut oleh Calista sebagai variabel eksogen yang terdiri dari public opinion yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interfretive instution yang berkenaan dengan interfretasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekanan, dan kelompok kepentingan, dalam mengiterprestasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individual yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam menginterprestasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
Ke empat “tepat “ tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis Dukungan
1. Dukungan politik,
2. Dukungan strategik, dan
3. Dukungan teknis.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Keterlibatan Masyarakat dalam Perumusan Kebijakan/Perda
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan pada masing-masing daerah lokus sangat bervariasi, bahkan terdapat daerah lokus yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik, mulai dari perumusan sampai penetapan suatu Perda. Umumnya, daerah hanya melibatkan masyarakatnya pada saat sosialisasi Perda atau ketika suatu Perda sudah ditetapkan oleh Dewan. Jadi sifatnya hanya mensosialisasikan Perda yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Adapun proses perumusan kebijakan atau Perda pada masing-masing daerah lokus.
Keterlibatan masyarakat tidak hanya terbatas pada perumusan kebijakan publik melainkan juga pada partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bertujuan untuk menjamin keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan, agar aspirasi dan kepentingan masyarakat terakomodasi dalam program dan kegiatan pembangunan yang tertuang dalam APBD. Keberadaan P4DB adalah untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat.
Peran serta masyarakat disampaikan dalam bentuk saran, pendapat publik melalui Forum Musyawarah Pembangunan Kelurahan. Melalui Forum tersebut, masyarakat mengusulkan kegiatan-kegiatan pembangunan yang akan dijadikan prioritas, dan usulan prioritas masyarakat menjadi rujukan satuan kerja untuk mengusulkan program dan kegiatan ke dalam belanja publik APBD. Keterlibatan masyarakat tidak hanya dibatasi pada perencanaan atau penyusunan program dan kegiatan saja, melainkan juga keterlibatannya dalam pengawasan (pengawasan tidak langsung) hingga selesainya suatu kegiatan pembangunan.
Misalnya, Perda menyangkut pertanian, ada Dinas terkait yang kami undang, seperti Tata Kota, Bapedalda, dan Ekbang. Pembahasan dilakukan di Bagian Hukum untuk merumuskan teknis penyusunan yang merupakan tanggung jawab Bagian Hukum, sedangkan isinya merupakan tanggung jawab Dinas terkait dan biasanya ada tambahan dari instansi terkait yang diundang. Setelah pembahasan, tim kajian melakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum Perda disampaikan ke Dewan. Yang dilibatkan dalam sosialisasi tersebut adalah Lurah, Kepala Lingkungan, RW, RT, dan Tokoh Masyarakat (toko pemuda, agama dan LSM), serta komponen pengusaha.
Hasil pembahasan (sosialisasi) serta masukan-masukan dari forum disampaikan ke Bagian Hukum. Perubahan dilakukan oleh tim dengan melibatkan anggota Dewan (ketua komisi) dan instansi terkait berdasarkan masukan dari masyarakat. Pembahasan ulang dilakukan antara tim kajian dengan instansi terkait dan ketua komisi. Hasil remusuan kemudian disam-paikan kepada Dewan untuk dibahas pada persidangan berikutnya. Berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2001 Pasal 17, Perda tentang retribusi dan pajak 15 hari setelah ditetapkan dapat dikirim ke Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Gubernur untuk meminta pengesahan. Setelah ditetapkan, Perda tidak langsung diberlakukan, namun menunggu 1 bulan 15 hari, dan bilamana tidak ada tanggapan, Perda tersebut bisa diberlakukan atau diimplementasikan.
Draft atau rancangan awal suatu Perda dibuat atau disusun oleh instansi teknis yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan draft Perda yang disusun; (b) Setelah draft Perda selesai disusun oleh instansi teknis, disampaikan kepada Sekretaris Kabupaten melalui Bagion Hukum; (c) Sekretaris Daerah membentuk Tim (interen Sekretariat) untuk membahas draft Perda yang diusulkan oleh instansi teknis; (d) Dalam rangka penyempurnaan draft Perda, Tim intern Sekretariat yang diketuai oleh Sekretaris Kabupaten dan beranggotakan semua Asisten dan Kabag Hukum (selaku Sekretanis Tim) melakukan pembahasan dan penyempurnaan draft Perda dengan melibatkan instansi terknis dan instansi terkait Iainnya; (e) Setelah draft Perda dianggap memadai, maka dilakukan sosialisasi pada Kecamatan dengan melibatkan aparat kecamatan, aparat kelurahan dan, masyarakat (Kepala Lingkungan, RW, RT, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, LSM, serta komponen pengusaha. Kegiatan sosialisasi merupakan wujud pelibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan atau Perda dan bertujuan memperoleh masukan dari masyarakat; (f) Tim ( melalui rapat) kemudian mengevaluasi masukan-masukan dan kritikan-kritikan dari masyarakat dalam rangka penyempurnaan draft Perda; (g) Draft Perda diajukan ke legislatif untuk dibahas; (h) Apabila Perda telah ditetapkan oleh legislatif, maka Perda tersebut dikirim ke Depdagri dan departemen terkait untuk disahkan; dan (i) Jika selama 1 bulan 15 hari tidak ada tanggapan atau pembatalan maka Perda tersebut dapat diberlakukan.
Keterlibatan akademis lebih banyak pada aspek hukum. Hasilnya dikaji dalam proses penyusunan draft rancangan Perda. Para akademisi juga melakukan analisis kebijakan sampai penyusunan draft rancangan Perda. Hasilnya dipresentasikan baik kepada Dinas Tata Kota maupun kepada instansi terkait (Hukum, Ke-PU-an, Bappeda, dan anggota legislatif. Setelah dipresentasikan, rancangan tersebut disampaikan ke Bagian Hukum. Bagian Hukum mengundang instansi terkait untuk mendiskusikan dan menyamakan persepsi sebelum disampaikan ke legislatif. Dengan demikian, pada waktu pembahasan di legislatif, tidak ada lagi perbedaan pendapat di kalangan eksekutif. Keterlibatan akademisi hanya sampai pada pembahasan atau diskusi dengan Tim yang ada di Sekretariat yang dipimpi oleh Sekretaris Daerah, bukan pembahasan di legislatif.
Diharapkan Perda yang diberlakukan mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat karena proses penyusunannya melibatkan masyarakat. Dengan demikian dalam implementasinya diharapkan tidak ditemukan banyak kendala yang berarti atau dengan kata lain dapat diterima baik oleh masyarakat setempat.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Implikasi dari diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 84 Tahun 2000 tentang Perangkat Organisasi Pemerintah Daerah sebagaimana telah dirubah dengan PP Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membentuk organisasi pemerintah daerah yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah.
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan di umum dalam proses perumusan kebijakan. Sebelum tahun 2003 keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik juga belum ada.
Mekanisme penyusunan Perda umumnya diprakarsai atau diusulkan oleh instansi teknis tertentu (seperti Dinas, Badan, dan Kantor). Namun, tidak satupun Perda yang telah ditetapkan selama kurun waktu lima tahun, yang diusulkan oleh Dewan. Instansi teknis melakukan penggodokan atas draft atau konsep Perda yang akan dibuat. Jika sudah memadai mereka mengusulkan konsep Perda tersebut kepada pemerintah melalui Sekretariat Daerah (Bagian Hukum). Selanjutnya, dibentuk tim oleh Sekretaris Daerah untuk membahas dan menyempurnakan. Anggota Tim terdiri dari Sekretaris Daerah (selaku Ketua), para Asisten, Kepala Bagian Hukum (selaku Sekretaris), instansi pengsul, dan instansi yang terkait secara substansi dengan Perda yang akan ditetapkan. Bagian Hukum bertanggung jawab pada teknik penyusunannya agar Perda yang akan ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan kebijakan atau peraturan yang lebih tinggi. Sedangkan instansi pengusul bertanggung jawab atas isi atau substansinya.
Apabila dianggap sudah memadai oleh anggota Tim tersebut, selanjutnya Tim turun ke masyarakat untuk mencari dan memperoleh masukan-masukan atau bahkan kritikan-kritikan jika sekiranya masyarakat kurang sependapat atau setuju dengan rancangan Perda yang akan diajukan ke Dewan. Kegiatan ini melibatkan segenap lapisan masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, dan LSM serta komponen pengusaha.
Tim kemudian melakukan perbaikan dan penyempurnaan sesuai dengan masukan-masukan maupun kritikan-kritikan dari masyarakat. Selanjutnya, rancangan tersebut diusulkan ke legislatif untuk dibahas pada sidang dewan herikutnya. Setelah dilakukan pembahasan yang intens dan disetujui oleh Dewan, maka Perda tersebut diberi nomor oleh Bagian Hukum. Perda yang telah disteujui oleh Dewan atau legislatif tidak serta merta langsung diberlakukan. Berdasarkan PP Nornor 6 Tahun 2001 pasal 17 bahwa setelah Perda ditetapkan paling lambat 15 hari kemudian, harus dikirim ke Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan (khusus untuk Perda tentang pajak dan retribusi), dan Gubernur untuk meminta pengesahan. Apabila dalam kurung waktu 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari, tidak ada tanggapan atau pembatalan, baru kemudian Perda tersebut dapat diberlakukan atau dilaksanakan.

4.2 Saran
Kebijakan yang dirumuskan atau ditetapkan oleh pemerintah daerah (legislatif dan eksekutif) pada lokus kajian masih didominasi oleh kebijakan atau Perda yang mengatur mengenai pembentukan struktur dan tata kerja organisasi pemerintah daerah. Hal mi memberikan indikasi bahwa pemerintah daerah umumnya masih cenderung lebih banyak mengurusi birokrasi (dirinya sendiri) ketimbang mengurus atau melayani masyarakat. Kedepan, pemerintah daerah diharapkan mampu dan beralih kepada perumusan kebijakan yang lebih banyak pada pengaturan yang memungkmnkan masyarakat dapat berperan secara aktif dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Perumusan Perda yang mengatur tentang retribusi dan pajak juga sangat menonjol pada lokus kajian. Kebijakan ini dipandang kurang simpatik oleh masyarakat, karena hampir semua kegiatan masyarakat terutama kegiatan ekonomi dikenakan pajak atau retribusi. Pada hal peran pemerintah daerah dalam menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi masyarakat dapat dinilai sangat minim atau tidak optimal. Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan tidak terlalu memfokuskan diri pada penetapan-penetapan sejumlah pungutan kepada masyarakat tetapi lebih banyak pada upaya-upaya penciptaan kesempatan kerja dan memfasilitasi usaha-usaha produktif masyarakat.
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik yang umumnya berbentuk Perda Namun, pemerintah daerah nampaknya sudah mempunyai komitmen yang kuat untuk melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal ini tercermin dari dikeluarkannya peraturan perundang-undangan baik berupa Perda maupun Surat Keputusan Bupati atau Walikota yang secara khusus mengatur mengenai mekanisme keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik. Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan dapat membangkitkan, mendorong, dan memfasilitasi partisipasi aktif masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan.
Selain itu, diharapkan juga pemerintah daerah tidak hanya melakukan sosialisasi ketika sejumlah kebijakan publik (Perda) telah ditetapkan. Pendekatan seperti ini justru membatasi dan menutup ruang masyarakat untuk memberikan masukan-masukan untuk perbaikan, penyempurnaan, dan kritikan-krtikan karena dapat memberatkan masyarakat, terutama kebijakan yang mengatur tentang pajak dan retribusi daerah. Kemanpuan legislatif atau Dewan dalam merumuskan kebijakan publik juga amat dituntut agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tidak satupun kebijakan publik (Perda) yang dihasilkan atau ditetapkan yang murni muncul atau digagas sendiri oleh anggota Dewan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadjayadi, C., 2000 Perspektif masyarakat daerah di era otonomi daerah. Revitalisasi Komitmen

Chen Tony, 2003 Licencing Clinic Seminar, Microsoft Indonesia, Jakarta July 10th,

Chempy,J., 1996 Reengineering the Corporation, Prentice-Hall, New York

Dunn, William N. 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Edisi Kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gibson, Rowan., 1997 Rethinking the future, Nicholas Breadly Publishing, London

Islamy, M. Irfan. 2001. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Kebangsaan dalam menyongsong Era Otonomi Daerah, IA-ITB, Bandung 28 Oktober 2000

Moekijat. 1995. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Mandar Maju

Mustopadidjaja AR. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publi: formulasi, implementasi dan evaluasi kinerja. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI.

Nolan R.L and Croson,D.C , 1993 The Stages Theory of A Frame Work for IT Adaption and Organizational Learning, Harvard Business School. Cambridge MA

Rose, Collin and Nicholl, Malcolm J., 1997 Accellerated learning for the 21st century, A Dell Trade Paperback, New York

Soenarko. 2000. Public Policy; pengertian pokok untuk memahami dan analisa kebijaksanaan pemerintah. Surabaya: Airlangga University Press.

Sutopo dan Sugiyanto. 2001. Analisis Kebijakan Publik (Bahan ajar Diklatpim tingkat III). Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan; dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (edisi kedua). Jakarta: Bumi Aksara.