Minggu, 03 Juli 2011

UPAYA PENINGKATAN KONTROL YURIDIS DARI PUBLIK TERHADAP PEJABAT PEMERINTAHAN MELALUI PERADILAN TATA USAHA NEGARA GUNA MEWUJUDKAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK GOOD GOVERNANCE

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa salah tugas yang menjadi tanggung jawab negara dan seluruh masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . Dalam konteks ini, amat jelas bahwa salah satu agenda dalam mengisi kemerdekaan adalah memberdayakan segala potensi bangsa dalam bentuk melindungi segenap elemen bangsa dalam rangka mecapai kesejahteraan umum. Di sini terlihat bahwa, salah satu karakter dan agenda bangsa Indonesia adalah terwujudnya model negara yang berbasis negara kesejahteraan (Welfare State).
Dalam kerangka pemikiran inilah, maka segala upaya dan agenda pembangunan yang dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia harus memiliki tujuan dan orientasi kepada terwujudnya kesejahteraan masyarakat atau publik. Termasuk dalam hal ini adalah upaya menegakkan Hukum sebagai pilar menjaga dan menyelamatkan keadilan di tengah masyarakat. Artinya, upaya penegakan hukum (law enforcement) dalam kerangka negara hukum, baik dalam menata sistem hukum, budaya hukum maupun struktur hukum, maka kesemuanya memiliki indikator keberhasilan yang sama, yakni publik menjadi sejahtera dan merdeka.
Salah satu faktor penting dari meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam suasana bangsa yang sudah merdeka adalah adanya pelayanan yang berkualitas dari pejabat pemerintah sebagai aparatur negara dalam melayani kepentingan publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan negara dalam hal ini pemerintah amat strategis dan penting dalam melayani dan mendampingi masyarakat dalam mengelola dan memberdayakan potensi bangsa yang sudah merdeka ini. Kehadiran sebuah kedaulatan rakyat dalam negara merdeka tidak memiliki makna apa-apa apabila tidak ada pemerintah dengan pejabat pemerintahan sebagai instrumen dalam mengelola potensi bangsa untuk menjaga kedaulatan tersebut. Negara yang berdaulat tidak memiliki kewibawaan di hadapan bangsa lain apabila potensi negara tidak mampu diurus dan dikelola secara baik dan benar oleh pemerintah. Sebaliknya, kehadiran dan keberadaan sebuah pemerintah (Government) dalam sebuah negara yang merdeka tidak memiliki makna apabila pemerintah tersebut tidak memiliki dukungan dan legitimasi dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang memiliki dukungan dan relasi yang baik dari rakyat (society).
Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dari sebuah negara merdeka dalam menata bangsanya adalah adanya relasi yang baik dan produktif antara negara (state) dan masyarakat (society) dalam mewujudkan rakyat yang sejahtera. Hubungan yang baik dan dinamis antara negara dan rakyat ditandai dengan kuatnya check and balances antara keduanya. Antara negara dan rakyat tidak ada yang saling mendominasi. Sebagai penguasa, pemerintah sebagai mandataris kekuasaan tentunya lebih memiliki kekuatan yang lebih daripada rakyat yang dikuasainya. Mengingat Pemerintah yang memegang kekuasaan, maka pemikir politik dari Inggris, Lord Acton sejak awal mengingatkan bahwa, Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely.
Kekuasaan tersebut apabila tidak diawasi pelaksanaannya, maka akan ada kecenderungan untuk disalah gunakan. Oleh karena itu, pihak masyarakat atau anggota masyarakat sebagai pihak yang lemah perlu dilindungi, terutama dari segi hukum. Bagir Manan mengatakan: ”… sejarah telah memberikan contoh dan bukti yang berlimpah bahwa kekuasaan tanpa batas lebih banyak melahirkan kesewenang-wenangan dan hilangnya kebebasan serta kemerdekaan warganegara atau penduduk negara yang bersangkutan …”
Dalam rangka menata dan menjaga hubungan baik antara negara dan rakyat maka diperlukan sebuah norma dan hukum. Hukum atau norma yang mengatur substansi hubungan publik dan negara lebih dikenal dengan hukum administrasi negara. Hukum administrasi negara menjadi landasan kerja bagi administrasi negara, yang mengemban tugas servis publik . Kecenderungan penyimpangan oleh pemerintah dan mengharapkan ketaatan serta kepatuhan dari rakyat menjadi alasan adanya norma atau hukum yang mengatur hubungan di antara keduanya. Artinya, sebagai negara hukum, maka Indonesia harus mampu menghadirkan instrumen hukum yang mengatur hubungan antara warga dan negara.
Setidaknya ada 2 (dua) hal yang melatarbelakangi pentingnya hukum yang mengatur hubungan warga dan negara. Pertama, hukum dan norma amat penting sebagai kontrol yuridis dari warga kepada pemerintah yang diwakili pejabat pemerintahan yang sedang melaksanakan kekuasaan. Kedua, dalam konteks demokratisasi dalam sebuah bangsa yang merdeka, maka pilar hukum menjadi amat penting sebagai check and balances bagi pemerintah
Dalam konteks pelembagaan demokrasi serta berwibawanya Negara hukum (Rechtstaat) yang terkait dengan partisipasi publik di ranah publik, maka kehadiran hukum administrasi menjadi penting. Hukum administrasi Negara yang prosesnya berperkaranya di Pengadilan Tata Usaha Negara memberikan ruang publik (Public Sphare) bagi terciptanya iklim demokrasi. Pengadilan Tata Usaha Negara secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu masyarakat dapat lebih berpartisipasi dan turut mengontrol kebijaksanaan para pejabat pemerintah. Di samping itu, efektifitas pelaksanaan hukum administrasi melalui Peradilan tata usaha negara juga berpengaruh pada penerapan tata pemerintahan yang baik (good corporate governance).
Publik sebagai pemegang kedaulatan negara harus diberikan akses yang memadai dan setara dalam lingkup hukum administrasi negara. Dalam prinsip civil society rakyat berhak merasakan adanya jaminan kepastian hukum di segala aspek termasuk hukum administrasi negara. Para pejabat pemerintah baik di pusat maupun di daerah sebagai pelaksana administratif pemerintahan harus dapat senantiasa dikontrol kebijakannya. Sehingga, kualitas produk-produk kebijakan pejabat pemerintah yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Relasi publik dan Negara akan menemukan ruang yang dinamis melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara. Namun sampai saat ini upaya pemanfaatan PTUN sebagai kontrol yuridis untuk mencari keadilan di ranah sengketa administrasi masih cukup rendah. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi stakeholders dunia peradilan, khususnya Pengadilan Tata Usaha Negara untuk melakukan revitalisasi peran dan fungsi. Revitalisasi peran PTUN meniscayakan meningkatnya partisipasi publik di ranah hukum, dan dengan sendirinya menjadi upaya untuk memperkuat Negara hukum.

2. Permasalahan
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dijelaskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Dalam konteks negara merdeka yang berorientasi pada terwujudnya negara kesejahteraan (welfare state), maka persoalan yang muncul saat ini adalah belum maksimalnya peran dan tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan terhadap warga. Salah satu faktor tidak maksimalnya pejabat pemerintah dalam melayani rakyat adalah lemahnya kontrol yuridis publik terhadap kebijakan yang diterbitkan oleh pejabat pemerintah.
2. Partisipasi publik di ranah hukum masih cukup rendah. Apresiasi publik terhadap proses pelembagaan nilai hukum melalui mekanisme yuridis belum sebanding dengan animo publik di ranah politik praktis. Fenomena ini akan memperlemah upaya untuk memperkuat wujud Negara hukum. Salah satu kelemahan tersebut adalah belum berfungsinya secara maksimal peran perangkat peradilan untuk memperoleh keadilan diantaranya Pengadilan Tata Usaha Negara;
3. Persoalan yang dihadapi PTUN ini adalah masih terbatasnya informasi serta pemahaman masyarakat terhadap peran, fungsi dan tugas Pengadilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu tantangan utama saat ini adalah “membumikan” eksistensi dan fungsi PTUN di masyarakat sebagai media untuk mengontrol kebijakan pejabat tata usaha Negara;
4. Persoalan dalam mewujudkan Good Governance atau tata pemerintahan yang baik adalah rendahnya akuntabilitas dan transparansi pejabat pemerintah yang akibat tidak efektifnya kontrol yuridis. Kontrol Yuridis tidak maksimal disebabkan oleh terbatasnya kesadaran hukum dan lemahnya budaya hukum di kalangan pejabat pemerintah .

B. PEMBAHASAN

Selanjutnya, terkait dengan berbagai permasalahan di atas, maka perlu upaya yang serius dan progressif dalam rangka meningkatkan partisipasi publik dalam melakukan kontrol yuridis terhadap kebijakan pejabat pemerintahan melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara. Upaya progressif dalam konteks ini adalah adanya kemampuan untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi yang selama ini berlangsung dan bersiap menyusun strategi dan melaksanakan agenda perbaikan terhadap sistem kontrol yuridis dari publik kepada pejabat pemerintahan.
Sebagai langkah awal diperlukan beberapa pokok pikiran untuk dijadikan pijakan dasar dalam menentukan strategi pencapaian tujuan.
Pertama, Negara sebagai Pengelola Kekuasaan.
Adanya kebijakan publik dari negara yang diperankan oleh pejabat pemerintah sebagai konsekuensi dari perwujudan negara kesejahteraan yang menjadi platform negara Indonesia. Bahkan konsep Welfare State tersebut di dalam perundang-undangan kita untuk pertama kali dikenal dengan istilah ”negara pengurus” . Dalam pengertian dasarnya, ”negara kesejahteraan” merupakan sebuah konsepsi, paradigma dan kerangka aksi tentang pemerintahan di mana sektor negara menjalankan peran kunci di dalam hal memberikan proteksi dan atau melakukan promosi kesejahteraan bagi setiap warga negara. Konsepsi ini secara jelas menempatkan negara dalam hal ini pejabat pemerintahan wajib melaksanakan agenda yang berbasis kepada kesejahteraan bagi publik. Dalam menyusun dan merealisasikan agenda kesejahteraan tersebut, pejabat pemerintah menerbitkan berbagai macam regulasi dan kebijakan.
Fenomena yang selama ini terjadi, secara konstitusional, pejabat pemerintah mendapat mandat untuk sepenuhnya melaksanakan program yang berbasis kesejahteraan, seperti pelayanan sosial (social security), kesehatan, kesejahteraan sosial, pendidikan dan pelatihan dan lain-lain. Namun secara faktual indikator kesejahteraan belum tercapai secara maksimal. Hal ini tergambar pada kondisi angka kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi, pelayanan publik mengenai kebutuhan dasar, pelayanan administrasi (yang menyangkut identitas penduduk dan perizinan), pelayanan bidang infrastruktur belum memadai dan sebagian terbesar pengeluaran dalam APBN (menurut suatu perkiraan ; 50-60% APBN dan 70-80% APBD) dialokasikan kepada penyelenggara negara (pejabat yang dipilih berdasarkan pemilihan umum, pejabat yang dipilih DPR, penjabat yang ditunjuk secara politik, dan pegawai negeri sipil, tentara dan kepolisian).
Fakta di atas menunjukkan bahwa esensi dari Negara Kesejahteraan untuk memberikan pelayanan yang mensejahterakan bagi publik tidak serta merta berjalan dalam koridor idealitas yang sesungguhnya. Dalam situasi negara belum maksimal melaksanakan mandat untuk mensejahterakan kondisi rakyat, maka hal itu harus dipahami bahwa salah satu dari wajah buruk dari konsepsi negara kesejahteraan adalah munculnya rezim korup dan otoriter yang tampil dengan wajah seorang budiman. Dalam hal ini, pemerintah menampilkan berbagai macam data dan pertanggung jawaban formil atas upaya peningkatan kesejahteraan. Namun di sisi lain, secara riil tindakan pemerintah sesungguhnya banyak yang menyimpang dan dikelola secara otoriter dan koruptif. Negara kesejahteraan yang mencitakan pelayanan terbaik baik publik tetap menyisakan potensi pemerintahan yang korup dan menyimpang. Potensi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah amat besar, mengingat semua kendali pembangunan dan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan kebijakan dikendalikan oleh pemerintah. Hal yang berbeda ketika sebuah negara memilih haluan atau sistem Kapitalisme atau Liberalisme yang pada dasarnya menihilkan peran negara dalam pengeloaan pembangunan. Pada posisi negara memiliki kendali yang amat besar dan tidak ada kekuatan yang cenderung melakukan kontrol terhadap negara, maka kekuasaan yang dimiliki negara akan menjadi absolut, tirani atau diktator .
Salah satu faktor yang mendorong bergesernya wajah negara kesejahteraan berubah menjadi pemerintahan yang korup adalah lemahnya kontrol dari publik (society) dalam rangka mengkritisi bahkan menolak kebijakan pemerintah yang secara nyata menyimpang dari esensi kesejahteraan masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan oleh negara akan cenderung tidak terbatas bahkan akan terjadi penumpukan kekuasaan apabila tidak ada kontrol dari publik. Salah satu penyebab lemahnya kontrol terhadap negara adalah tidak memadainya kesadaran dan pemahaman dari publik bahwa negara dapat dikontrol dan dikendalikan melalui mekanisme kontrol yuridis. Sebagai negara hukum, secara konstitusional telah disepakati bahwa semua tindakan elemen bangsa ini, baik pemerintah maupun publik harus mampu dikontrol melalui mekanisme hukum. Dalam konteks relasi publik dan negara, menarik mengutip pendapat Prof. M. Hadjon tentang Negara Hukum; Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa negara hukum Indonesia mengandung unsur: (a) Keserasian hubungan pemerintah dan rakyat; (b) Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; (c) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, dan peradilan sebagai sarana terakhir; (d) Keseimbangan antara hak dan kewajiban

Menurut Philipus M. Hadjon makna yang paling dalam dari negara hukum Indonesia adalah:
“…keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini berkembang elemen lain yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah sedang peradilan merupakan sarana terakhir, dan hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak atau kewajiban tetapi terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban
Beberapa pendapat di atas menjelaskan bahwa publik memiliki ruang hukum untuk menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan negara. Tidak ada kekuatan dan institusi manapun yang tidak mampu diatur oleh hukum, termasuk kebijakan yang diterbitkan oleh pejabat pemerintah. Teori Kontrol yuridis berpijak pada suatu pemikiran bahwa negara adalah pemegang kekuasaan dan mempunyai posisi yang lebih kuat dibanding warganya. Kekuasaan tersebut, apabila tidak ada kontrol yuridis maka muncul kecenderungan untuk disalahgunakan. Hadirnya kontrol yuridis dalam membatasi sebuah kekuasaan terkonfirmasi secara jelas dari C.G. Strong yang mengutip pernyataan dari James Bryce;
” We have defined a constitution as a frame of political society organized through and by law, in which law has established permanent institutions wirh recognized functions and definite rights, and a constitutional state as one in which the powers of the government, the rights of the governed and the relations between the two are adjusted Namun sampai saat ini, tersedianya hukum, dalam hal ini hukum administrasi negara yang secara efektif dapat digunakan dalam mengontrol pejabat pemerintah ternyata belum mampu dimanfaatkan oleh publik.
Kedua, Kontrol Yuridis Sebagai Partisipasi Hukum dari Publik.
Kontrol Yuridis dari publik akan muncul apabila publik memiliki kesadaran dan sensitifitas hukum terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh Pemerintah atas kebijakan yang dikeluarkannya. Pernyataan ini yang menjadi salah satu persoalan bangsa kita saat ini, yakni hukum cenderung terpinggirkan dalam memperkuat kerangka demokratisasi bangsa menuju terwujudnya cita-cita welfare state. Salah satu aspek penting dari nilai demokrasi adalah tegaknya hukum. Keadilan sebagai pilar dari demokrasi mampu dicapai apabila instrumen hukum memiliki kepercayaan dan solusi bagi masyarakat yang mencari keadilan. Lemahnya kepercayaan publik akhir-akhir ini terhadap dunia peradilan sesungguhnya menjadi indikator belum matangnya proses berdemokrasi. Kesadaran hukum sekaligus berwibawahnya institusi hukum menjadi prasyarat pelembagaan demokrasi. Sebab hanya dengan nilai dan pranata hukum yang diharapkan mampu mengatur irama kebebasan politik dalam konteks demokratisasi. Bahkan sejak abad ke- 20 gagasan demokrasi selalu dikaitkan dengan istilah konstitusi, sehingga lahir istilah demokrasi konstitusonil. Gagasan dasar demokrasi konstitusionil adalah terwujudnya cita-cita pemerintahan yang terbatas kekuasaannya (limited Government) Singkatnya, aspek pelaksanaan nilai demokratisasi akan bergeser menjadi liberal dan keluar dari nilai demokrasi apabila tidak mampu diatur oleh pranata hukum. Realitas inilah yang terjadi di Indonesia saat ini, yakni proses pematangan berpolitik lewat demokratisasi tidak serta mengembalikan hukum menjadi institusi yang berwibawa. Ada beberapa alasan yang berusaha menjelaskan fenomena ini.
Pertama, politik sebagai media yang mengatur kepentingan dan memiliki kekuasaan sejatinya mampu melahirkan hukum yang berwibawa. Namun yang terjadi pada bangsa kita adalah politik yang serba pragmatis dan tidak memiliki basis ideologi akhirnya hanya melahirkan pranata hukum yang pragmatis dan hanya berpihak kepada kekuasaan. Tidak heran ketika begitu mudahnya sebuah Undang-undang dijudicial review di Mahkamah Konstitusi karena tidak memiliki landasan filosofi dan konstitusional yang cukup kuat.
Kedua, euphoria politik yang berlangsung tanpa nilai etis demokrasi melahirkan kebebasan dan cenderung memposisikan politik sebagai panglima karena politik yang mengendalikan kekuasaan. Sepertinya semua bisa diperoleh dan diatur dengan kekuasaan politik. Dalam posisi ini, para politisi kemudian menjadikan hukum sebagai pilar nomor dua yang juga bisa “dibeli”. Nalar politik—Kuasa dan Menguasai- menjadi paradigma baru di semua lini kehidupan, termasuk dunia hukum. Maka muncullah praktek money politics dan sogok menyogok di dunia hukum. Sehingga muncul dua kerusakan, secara substansi dan materi, nilai hukum tidak lahir dari gagasan yang ideologis konstitusionil dan penegak hukum terjebak pada pragmatisme dan kepentingan politik pendek.
Ketiga, tertinggalnya penegakan hukum dalam proses penguatan demokratisasi tidak lepas dari lemahnya kepercayaan publik terhadap institusi hukum saat ini. Sederetan kasus penyimpangan yang terjadi dalam dunia peradilan melahirkan kesan negatif di masyarakat terhadap institusi hukum. Ironisnya, dalam posisi ini, internal institusi hukum belum mampu melakukan upaya image building terhadap proses delegitimasi yang saat ini berlangsung. Alih-alih melakukan rekonstruksi terhadap dunia peradilan, yang justru muncul adalah tindakan dan kebijakan yang keluar dari napas reformasi peradilan. Faktor lainnya adalah masih terbatasnya kesadaran dan pengetahuan publik terhadap upaya hukum sebagai kontrol yuridis, publik juga belum memiliki instrumen hukum atau media peradilan yang efektif untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan publik. Dengan demikian, kesadaran hukum menjadi pintu masuk bagi publik dalam melakukan upaya kontrol yuridis terhadap pemerintah.
Kontrol Yuridis adalah bagian dari kontrol-kontrol lainnya terhadap pemerintah, seperti kontrol politis, kontrol melalui tromol-tromol pos, kontrol intern administrasi, kontrol ekstern organisasi/lembaga baik yang strukutral dan non struktural. Kontrol Yuridis dari segi tata bahasa berarti; “Pengawasan, pemeriksaan” dan pengendalian dari segi hukum. Ditinjau dari segi waktu waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau pengawasan dapat pula dibedakan dua jenis kontrol, yaitu; Kontrol a priori dan kontrol a posteriori . Kontrol a priori adalah kontrol yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Keputusan Pemerintah. Kontrol ini bersifat Preventif, sebab tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya kekeliruan. Kontrol a. posteriori adalah kontrol yang terjadi sesudah ada keputusan pemerintah. Kontrol ini dititikberatkan pada sisi korektif terhadap keputusan pemerinath. Kontrol dalam bentuk ekstern pada umumnya dilaksanakan oleh organ atau lembaga yang secara organisatoris berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya kontrol keuangan yang dilakukan oleh Badan Pengawas. Kontrol sosial dilakukan oleh masyarakat melalui pressure dari Civil Society atau media massa. Sedangkan kontrol yuridis dilakukan oleh badan peradilan dan Peradilan Tata Usaha Negara termasuk dalam control ekstern apabila ada gugatan terhadap pemerintah Dalam hal ini ketertinggalan hukum dalam proses demokratisasi, menghendaki adanya peningkatan peran dan potensi Peradilan Tata Usaha Negara yang menjadi media untuk melakukan kontrol yuridis bagi kebijakan publik.
Ketiga. Meningkatkan Peran Pengadilan Tata Usaha Negara
Selayaknya semangat publik yang mengiringi euphoria demokrasi memiliki dampak yang sama bagi tingginya semangat masyarakat untuk berpartisipasi dalam penegakan hukum. Artinya masyarakat memiliki kesadaran hukum yang tinggi dengan menempatkan hukum sebagai solusi yang berkeadilan. Dalam konteks relasi masyarakat dengan Negara, sebagai prasyarat berdemokrasi seharusnya hubungan keduanya memiliki irama yang seimbang dan setara. Namun selama ini yang terjadi adalah masyarakat masih cenderung terkooptasi pada kekuasaan yang dimiliki Negara. Banyak kebijakan Negara yang sejatinya tidak memihak kepada kepentingan orang banyak, namun tidak mampu diadvokasi dan digugat secara proposional dan melalui mekanisme peradilan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena rendahnya pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam mengkritisi dan menggugat kebijakan Negara yang merugikan.
Menggugat kebijakan negara adalah persoalan hukum. Adalah sebuah keniscayaan negara bersama aparatnya menyimpang dari tugasnya. Sehingga dikenal adanya peradilan administrasi negara yang memberi peluang bagi masyarakat untuk mengontrol dan mengadvokasi keputusan pejabat tata usaha negara yang merugikan kepentingan publik.
Dalam konteks pelembagaan demokrasi serta berwibawanya Negara hukum (Rechstaat) yang terkait dengan partisipasi publik di ranah publik, maka kehadiran hukum administrasi menjadi penting. Hukum administrasi Negara yang prosesnya berperkaranya di Pengadilan Tata Usaha Negara memberikan ruang publik (Public Sphare) bagi terciptanya iklim demokrasi. Pengadilan Tata Usaha Negara secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang tersebut juga memungkinkan masyarakat menggugat perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri jika si pejabat TUN tetap tidak melaksanakan putusan PTUN. Selain itu masyarakat juga dimungkinkan untuk mengajukan gugatan perwakilan kelas (class action) jika ada putusan TUN yang merugikan suatu komunitas masyarakat tertentu. Dengan hadirnya UU PTUN yang baru berarti timbul harapan bagi rakyat Indonesia untuk lebih mendapatkan keadilan dalam lingkup hukum administrasi negara. Selain itu masyarakat dapat lebih berpartisipasi dan turut mengontrol kebijaksanaan para pejabat-pejabat TUN. Di samping itu, efektifitas pelaksanaan putusan PTUN juga berpengaruh pada penerapan tata pemerintahan yang baik (good corporate governance).
Publik sebagai pemegang kedaulatan negara harus diberikan akses yang memadai dan setara dalam lingkup hukum administrasi negara. Dalam prinsip civil society rakyat berhak merasakan adanya jaminan kepastian hukum di segala aspek termasuk hukum administrasi negara. Para pejabat TUN baik di pusat maupun di daerah sebagai pelaksana administratif pemerintahan harus dapat senantiasa dikontrol tindak-tanduknya. Sehingga, kualitas produk-produk kebijakan TUN yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Relasi publik dan Negara akan menemukan ruang yang dinamis melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara. Namun sampai saat ini upaya pemanfaatan PTUN untuk mencari keadilan di ranah sengketa administrasi masih cukup rendah. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi stakeholders dunia peradilan, khususnya Pengadilan Tata Usaha Negara untuk melakukan revitalisasi peran dan fungsi. Revitalisasi peran PTUN meniscayakan meningkatnya partisipasi publik di ranah hukum, dan dengan sendirinya menjadi upaya untuk memperkuat Negara hukum.
Dalam rangka meningkatkan peran Pengadilan Tata Usaha Negara serta untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara Hukum maka para stakeholder di dunia peradilan khususnya peradilan tata usaha negara harus memberdayakan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu kontrol yuridis terhadap kebijakan ataupun keputusan yang diambil oleh lembaga eksekutif (pemerintah).
Kontrol yuridis ini bertujuan untuk menguji segi legalitas (rechtsmatigheids) dari suatu keputusan pemerintah. Ditinjau dari segi kedudukan organ atau jabatan yang melakukan kontrol, maka kontrol itu sendiri dibedakan antara kontrol intern dan kontrol ekstern.
Kontrol intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri. Prosedur keberatan administrasi dan kuasi pengadilan (banding administrasi) masih tergolong dalam kontrol intern.
Sedangkan kontrol ekstern dilakukan oleh organ atau lembaga yang secara organisatoris/struktural berada di luar pemerintah (eksekutif). Kontrol yuridis yang dilakukan oleh badan peradilan, khususnya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap tindakan pemerintah yang tercermin dalam setiap keputusan yang diterbitkannya, adalah termasuk kontrol ekstern. Hal tersebut biasa terjadi apabila ada gugatan oleh seseorang (individu) atau badan hukum perdata terhadap kerugian yang diderita akibat diterbitkannya keputusan pemerintah.
Kontrol yuridis harus memperhatikan, apakah semua ketentuan-ketentuan hukum telah dipenuhi selama proses pembuatan keputusan tersebut. Kontrol yuridis hanya dapat dilakukan setelah keputusan pemerintah tersebut diterbitkan.
Publik sebagai pihak yang merasa bahwa kedudukannya selalu di bawah kekuasaan pemerintahan memerlukan suatu alat yang bernama kontrol yuridis sebagai alat yang berfungsi untuk mengoreksi setiap tindakan ataupun perbuatan pemerintah yang dituangkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara, bukan sebagai alat yang menghambat jalannya roda pemerintahan apalagi alat untuk membangkang terhadap pemerintahan yang sah.
Dengan ada adanya pemahaman dan kesadaran publik mengenai pentingnya peran dari kontrol yuridis maka rakyat (baca: publik) tidak akan merasa segan dan ragu lagi untuk menggunakan salah satu lembaga Peradilan yang ada di negeri ini, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara yang umurnya jauh lebih muda dibandingkan dengan lembaga Peradilan lainnya di Indonesia.
Pengadilan Tata Usaha Negara atau disebut juga pengadilan administrasi bertugas melakukan kontrol terhadap pemerintah dari segi hukum (yuridis). Mekanisme kontrol tersebut berjalan melalui proses persidangan, apabila ada gugatan dari seorang individu atau badan hukum perdata kepada pejabat pemerintahan, manakala ada keputusan pemerintah yang dirasakan merugikan kepentingan mereka.
Pengadilan Tata Usaha Negara dengan segala kewenangan yang ada padanya, melalui instrument hukum yang dimilikinya, melakukan tindakan dan putusan hukum, tentang sah tidaknya keputusan pemerintahan tersebut dari segi hukum. Dan apabila perlu Pengadilan Tata Usaha Negara dapat memerintahkan pejabat pemerintah tersebut untuk memperbaiki keputusannya yang cacat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan mampu untuk memfasilitasi publik pencari keadilan melalui kontrol yuridis terhadap kekuasaan yang diamanahkan kepada pejabat pemerintah sebagai organ penggerak negara dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Keempat, PTUN sebagai pilar Good Governance.
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan salah satu bagian penting dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan, khususnya penyelenggaraan pemerintahan oleh pejabat Tata Usaha Negara dalam mewujudkan pelayanan publik. KTUN sebagai instrumen pemerintahan dalam melakukan tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri urusan kehidupan sosial ekonomi warga .
Sebagaimana dibahas di atas, bahwa kegagalan negara kesejahteraan dan kemudian melahirkan pemerintah yang menyimpang akibat rendahnya kontrol dari publik, termasuk kontrol yuridis. Kontrol Yuridis akan lahir secara sistemik apabila publik memiliki kesadaran (awareness) yang memadai terhadap hukum sebagai pilar mewujudkan relasi negara publik yang berkeadilan. Kontrol Yuridis secara efektif dapat berlangsung apabila difasilitasi oleh lembaga peradilan yang berwibawa dan berintegritas. PTUN memiliki peran strategis untuk menjadi media bagi publik dalam melakukan kontrol yuridis terhadap pemerintah. Kesemua sistem itu bermuara pada tujuan lahirnya Good Governance sebagai nafas terjaganya tujuan negara kesejahteraan yang dicita-citakan;
Good Governance sebagai tujuan bersama sampai saat ini belum dapat berjalan secara baik karena beberapa faktor;
Pertama, gagasan atau tujuan Good Governance sebagai sebuah sistem dalam pemerintahan kita belum menjadi komitmen bersama dalam diri pada pelaku birokrasi. Setelah sekian lama berada dalam kultur birokrasi yang tertutup dan cenderung irrasional, seperti budaya Asal Bapak Senang, budaya eweuh pakewuh dll, para pelaku birokrasi belum terbuka atas modernitas birokrasi sebagai prasyarat Good Governance. Salah satu karakter Good Governance adalah adanya akuntabilitas dan transparansi birokrasi. Akuntabilitas dan Transparansi menghendaki adanya Pengawasan atau kontrol dari berbagai pihak. Ketidakmampuan birokrasi untuk terbuka terhadap adanya kontrol publik, termasuk dalam hal kontrol yuridis menjadi tantangan lahirnya Good Governance;
Kedua, kontrol yuridis sebagai pengawasan eksternal dalam rangka perwujudan Good Governance belum berjalan secara maksimal karena rendahnya kultur hukum dalam diri aparat birokrasi. Kontrol Yuridis akan berkontribusi terhadap lahirnya Good Governance apabila pihak birokrasi yang dikontrol memiliki kepekaan dan kepatuhan hukum terhadap hasil (putusan) Pengadilan.
Dengan demikian, harus dipahami bersama bahwa akuntabilitas dan transparansi dalam gagasan Good Governance senantiasa memerlukan koreksi dan kontrol. PTUN sebagai kontrol Yuridis sesungguhnya hadir sebagai koreksi atas kebijakan yang menyimpang, bukan untuk membatasi kekuasaan yang dimiliki negara.

C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa:
1. Salah satu tujuan negara kita sebagai bangsa yang merdeka adalah mewujudkan negara kesejahteraan. Dalam kerangka welfare state, negara dalam hal ini pejabat pemerintahan bertugas untuk melayani dan mensejahterakan rakyatnya. Namun tujuan ini akan mengalami pergeseran dan melahirkan pemerintah yang menyimpang, korup dan diktator apabila kekuasaan yang dimiliki pemerintah tidak mampu dibatasi dan dikontrol oleh publik.
2. Kontrol terhadap kekuasaan yang dikendalikan oleh pejebat menjadi urgent untuk menghindari penyimpangan kekuasaan. Namun kontrol dari publik, khususnya kontrol yuridis akan berjalan secara massif dan maksmal apabila publik memiliki kesadaran hukum dan sensitifitas untuk menggunakan mekanisme hukum sebagai alat kontrol bagi pemerintah. Kontrol Yuridis akan berjalan efektif apabila publik secara berkasadaran menggunakan hukum, dalam hal ini Pengadilan sebagai media memperolah keadilan dalam konteks relasi publik dan negara
3. Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai media kontrol yuridis bagi pemerintah sejatinya memiliki peran yang strategis untuk mengoreksi kekuasaan pemerintah yang menyimpang. Namun disadari bahwa, saat ini kewenangan yuridis yang dimiliki oleh PTUN masih penuh keterbatasan. Sehingga diharapkan dengan adanya Rancangan Undang-Undangan Administrasi Pemerintahan mampu merevitalisasi peran PTUN dalam berkontribusi mewujudkan Good Governance
4. Good Governance menjadi agenda utama dalam mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) bagi bangsa yang merdeka. Good Governance meniscayakan pemerintah yang akuntabel dan dan transparan yang siap melayani publik secara profesional. Gagasan Good Governance akan berjalan dalam koridor yang sesungguhnya apabila pemerintah senantiasa siap untuk mendapat kontroldan pengawasan, termasuk kontrol yuridis dari Peradilan Tata Usaha Negara. Agar kontrol yuridis berjalan efektif dalam kerangka Good Governance, maka diperlukan kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dari aparat pemerintah, terutama pejabat pemerintahan sebagai pengambil keputusan yang menentukan publik.

D. REKOMENDASI
1. Untuk memberdayakan peran kontrol yuridis melalui lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dalam rangka mewujudkan Good Governance (tata pemerintahan yang baik) maka rekomendasi yang dapat disampaikan adalah agar proses sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara cukup menggunakan sistem dua tingkat saja, seperti yang telah dilaksanakan di Perancis, Belanda dan beberapa negara lainnya. Dengan digunakannya sistem dua tingkat pada lembaga peradilan, maka diharapkan mampu menciptakan terwujudnya asas kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga kontrol yuridis dari publik kepada pejabat pemerintahan dapat terwujud sebagai koreksi terhadap tindakan ataupun perbuatan pejabat pemerintahan tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
2. Selain itu, juga perlu diperhatikan pentingnya budaya hukum (legal culture) dari pejabat pemerintah sebagai salah satu faktor penunjang bagi terwujudnya tata pemerintahan yang baik (good governance). Nilai-nilai yang tertanam dalam diri seorang pejabat pemerintah sangat menentukan efktifitas pelaksanaan kontrol yuridis dari Pengadilan Tata Usaha.
REFERENSI:

1. Bagir Manan, “Dewan Konstitusi di Perancis” (Makalah tanpa menyebutkan tempat, waktu dan acara dimana disajikan)
2. Lintong O. Siahaan, Makalah mengenai: Sejarah Singkat Tentang Pembentukan PTUN (Upaya-upaya Tentang Pembentukan PTUN)
3. SF Marbun,” Peradilan Adminstrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia. Jogjakarta, UII Press.2003. Hal 149
4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
5. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
6. Paulus Effendi Lotulung, Controle Juridictionell de L ‘ Administration en Indonese (Disertasi Doktor Universite de Paris I- Phantion – Sorbonne, Paris, 1982)
7. Philiphus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987
8. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat
9. Ramlan Surbakti,” Hubungan Negara dengan Warga Negara Antara Ideal dan Realitas”, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi 28 Tahun 2008
10. Sjahran Basah, “Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia”,Bandung. PT Alumni.1985. Hal . 13
11. Syamsul Bachri, SH., MH., Asas Good Governance Harus Jadi Rujukan KTUN, 4 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar