Jumat, 24 Juni 2011

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK (Analisis Tingkat Keterlibatan Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan)

BAB I
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang
Dalam suatu negara hukum yang demokratis, penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dilakukan melalui kebijakan publik. Proses kebijakan pubIik dalam negara demokrasi yang konstitusional mengimprasikan keterlibatan unsur pemerintah, dunia usaha dan masyarakat luas, yang didasari dan disemangati nilai-niIai kemanusiaan dan peradaban yang luhur, serta diselenggarakan dengan mengindahkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance).
Kebijakan publik merupakan fenomena yang kompleks dan dinamis. Kompleksitas dan dinamika tersebut akan lebih terasa apabila pengamatan kita ditujukan pada proses kebijakan. Dari perspektif manajemen, proses kebijakan dapat dipandang sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi paling tidak tiga kelompok utama, yaitu (1) formulasi kebijakan, (2) pelaksanaan kebijakan, dan (3) evaluasi kinerja kebijakan (Mustopadidjaja1 2003).
Kinerja pemerintahan yang balk (good government performance) harus diawali dengan kebijakan yang baik (good policy), dan good policy hanya dapat dicapai melalui formulasi kebijakan yang balk (good policy formulation). Tanpa formulasi kebijakan yang baik tidak mungkin kebijakan yang baik akan terwujud, dan kinerja yang tinggi hanya dapat terwujud jika didukung oleh sistem dan proses pelaksanaan kebijakan yang baik.
Menurut R. Dye (dalam Mustopadidjaja, 2003), dalam perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi, politik, administrasi publik dan kebijakan publik, telah memperkenalkan berbagai model pembuatan atau formulasi kebijakan meliputi: (1) Model Kelembagaan, kebijakan dipandang sebagai kegiatan lembaga pemeritahan; (2) Model Proses, kebijakan dipandang sebagai aktivitas politik; (3) Model Elit, kebijakan dipandang sebagai preferensi elite; (4) Model Kelompok, kebijakan dipandang sebagai konsensus kelompok; (5) Model Rasional, kebijakan dipandang sebagai pencapaian tujuan secara rasional, dan menjamin optimalitas sosial; (6) Model Inkremental, kebijakan dipandang sebagai modifikasi kebijakan sebelumnya; (7) Model Sistem, kebijakan dipandang sebagai keluaran dan sistem; (8) Model Permainan, kebijakan dipandang sebagai pilihan rasional dalam situasi yang kompetitif; dan (9) Model Pilihan Publik, kebijakan dipandang sebagai pembuatan keputusan kolektif dan individu-Individu yang berkepentingan.
Dalam rangka model-model kebijakan tersebut berkembang pilihan-pilihan mengenai sistem manajemen kebijakan, yang secara ekstrim dapat dibagi atas dua kelompok yaitu yang: (1) bersifat sentralistik, otoriter dan non-partisipatif; dan (2) bersifat demokratik, desentralistik, transparan, partisipatif, manusiawi dan rasional. Dalam sistem pengambilan atau perumusan kebijakan yang demokratik, desentralistik, terbuka dan partisipatif, dimana peran berbagai stakeholders dengan latar belakang dan perilaku yang berlainan, perlu dipertimbangkan sikap politik masing-masing dan pengaruhnya terhadap pilihan atas sejumlah kemungkinan alternatif atau opsi kebijakan.
Perkembangan sejarah politik dan pemerintahan dalam kurun waktu sebelum era reformasi telah berkembang proses penyusunan atau formulasi kebijakan dan manajemen pemerintahan yang bersifat sentralistik, elitis, otoriter, dan relatif tertutup. Dalam kondisi demikian, proses demokrasi dan sistem pertanggungjawaban menjadi semu, sistem checks and balances tidak berkembang, KKN merajalela, dan pengawasan serta penegakan hukum menjadi tidak efektif.
Mungkin model yang berkembang pada kurun waktu tersebut bersifat rasional, namun tidak human. Akibatnya sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi politik bangsa menjadi rapuh. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dengan berbagai dampaknya yang luas merupakan bukti kerapuhan sistem kebijakan yang berkembang selama ini.
Negara kita adalah negara hukum yang demokratis, berbentuk negara kesatuan dengan sistem dan proses kebijakan yang mengakomodasikan peran serta masyarakat yang luas, dimana pengambilan keputusan politik yang strategis (GBHN) dan kebijakan-kebijakan pokok lainnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, dilakukan bersama secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat bangsa.
Sedangkan, pengembangan kebijakan selanjutnya seperti Propenas/Propeda dan APBN(D), Undang-undang dan dan Perda dilakukan bersama pemerintah, yang harus terjamin keserasiannya baik secara substantif maupun format perundangundangannya. Dalam rangka reformasi total menuju masyarakat Indonesia Baru dan dalam menghadapi tantangan abad ke-21 yang syarat dengan tuntutan demokratisasi, transparansi dan daya saing, akuntabilitas, dan tegaknya HAM dewasa ini, diperlukan suatu pendekatan bahkan paradigma dimana setiap stakeholders dapat beranjak untuk melakukan aktivitas, interaksi dan partisipasinya dalam proses formulasi atau perumusan kebijakan.

I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka kajian ini difokuskan untuk mencemati lebih lanjut mengenai tingkat keterlibatan masyarakat dalam pembuatan atau formulasi kebijakan Publik di Indonesia




BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Kebijakan Publik
Menurut Para Ahli :
· Thomas R. Dye : “Public Policy is whatever government choose to do or not to do.” Apapun yang dipilih pemerintah untuk bertindak untuk melakukan atau tidak melakukan.
· David Easton : “ Public Policy is the authoritative allocation of values for the whole society.” Kebijakan public adalah pengalokasian nilai-nilai secara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyarakat serta hanya pemerintah yang memiliki kekuasaan.
· Harold D. Laswell and Abraham :” A projected program of goals values and practices.” Kebijakan publik sebagai program pencapaian tujuan nilai-nilai dan praktika-praktika yang terarah.
· M. Irfan Islamy :” Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan-tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.”
Kebijakan publik secara umum dapat dijelaskan sebagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
Proses dan tahap pembuatan kebijakan publik menurut Thomas R. Dye:
1. Problem Identification( Identifikasi Masalah)
2. Agenda Setting ( Prioritas Masalah)
3. Policy Formulation (Perumusan Kebijakan)
4. Policy Legitimation (Pengesahan Kebijakan)
5. Policy Implementation (Penerapan Kebijakan)
6. Policy Evaluation (Laporan Kebijakan & Pengawasan)
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan public anatara lain perlunya dorongan dari berbagai kebijakan, situasi ekonomi yang berkaitan dengan dana, sarana pendukung untuk para pelaksana, teknologi yang dapat mendukung implementasi kebijakan serta perkiraan apakah kebijakan tersebut akan menimbulkan masalah baru atau mengancam pertahanan dan keamanan negara.

2.2 Formulasi Kebijakan Publik
Formulasi kebijakan yang lazimnya diawali dengan identifikasi isu kebijakan tertentu dan berujung pada penentuan opsi kebijakan. Hasil formulasi kemudian tuangkan dalam format perundang-undangan tertentu, menyentuh dinamika interaksi sosial politik dan kelembagaan yang melibatkan berbagai kelompok kepentingan. Substansi permasalahan yang dihadapi tidak lepas dari dinamika dan kompleksitas perkembangan lingkungan kebijakan.
Untuk menambah sensitivitas terhadap kondisi lingkungan kebijakan, berikut diidentifikasi “9 views” yang kiranya patut mendapat perhatian dalam analisis kebijakan (Mustopadidjaja, 2003). Views (pandangan) dimaksud adalah semacam intellectual ventures yang bertalian dengan kajian dan formulasi kebijakan.
Pertama, agenda setting adalah suatu tahap sebelum perumusan kebijakan dilakukan, yaitu bagaimana isu-isu itu muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindakianjuti berupa tindakan-tindakan pemerintah. Banyak isu yang masuk ke pemerintah, yang diharapkan agar pemerintah segera mengambil tindakan, ternyata pemerintah tidak bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat.
Kedua, cara pandang sistemik; tak ada suatu permasalahan kebijakan publik yang tidak terkait dengan masalah-masalah lainnya, kita harus mengenali benar saling hubungan tersebut, dan mengidentifikasi secara obyektif posisi permasalahan yang dihadapi dalam konteks keseluruhan masalah yang dihadapi masyarakat.
Ketiga, eksternalitas dan jastifikasi intervensi pemerintah; analisis kebjakan juga harus memperhatikan berbagai biaya dan manfaat yang tidak langsung (indirect cost and benefits) yang mungkin timbul belakangan dan sulit diukur, disamping perhatiannya yang sangat intensif terhadap biaya dan manfaat langsung dan berbagai kebijakan yang justru mudah dilihat dan diukur.
Keempat, psikologi penentuan pilihan; adanya keterbatasan pendekatan rasional dan informasi mengenai kompleksitas dalam pengambilan keputusan yang memerlukan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kemampuan intelegensia yang timbul sebagai nilai lebih berkat pengalaman hidup atau akumulasi nilai yang didapat akibat interaksi sesama aktor dalam proses pengambilan keputusan dimana juga dipertimbangkan berbagai diagnosis dan prognosis.
Kelima, pemetaan alternatif; perjalanan mencari sesuatu memerlukan peta sehingga jelas jalan dan arah mana yang telah kita lalui dan kemana lagi kita harus melangkah. Dalam pengambilan keputusan kita mengenal konsep decision tree yang dapat membantu mengembangkan peta dan jalur-jalur pilihan yang dapat ditempuh.
Keenam, pentingnya analisis marjinal; kita harus memperhatikan batas-batas toleransi biaya yang mungkin harus dikeluarkan untuk mencapai kinerja dengan batas-batas kepuasan atau tingkat capaian tertentu, karena akan lebih realistis dari pada bersikap babwa keseluruhan tujuan atau tingkat kepuasan maksimal dapat dicapai.
Ketujuh, biaya ekonomis; konsep opportunity costs yang menyatakan bahwa biaya sesungguhnya dari suatu program belum terungkap sepenuhya dalam nilai uang, tetapi dari berbagai nilai yang harus dikorbankan karena pendanaan program tersebut dan itulah yang kita harus perhitungkan.
Kedelapan, pluralitas, interdependensi dan dinamika kepuasan; yang ingin dikemukakan adalah kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan, siapa yang melakukannya, dan kapan harus dilakukan adalah tidak mudah dan dapat cepat dicapai dan banyak faktor yang berpengaruh di dalamnya.
Kesembilan, output; bukan hanya input yang jadi tuntutan pertanggungjawaban, esensinya adalah kebijakan harus dinilai tidak atas dasar upaya apa yang telah dicoba untuk mencapai sesuatu, melainkan atas dasar apa yang secara nyata telah dicapainya.
Uraian di atas mengisyaratkan perlunya kita mengantisipasi perilaku politik stakeholders dalam proses formulasi kebijakan. Pluralitas sosiopolitik yang melekat pada konsep dan mewarnai kehidupan demokrasi, bersama dengan masalahmasalah etika dan psikokultural yang berpengaruh terhadap perilaku para aktor sosial politik, perlu mendapat perhatian tersendiri dalam manajemen proses kebijakan pada keseluruhan tahapannya. Pada tahap formulasi kita perlu menandai peta politik dengan mengantisipasi kemungkinan sikap para stakeholders yang berperan dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam menentukan pilihan atas sejunlah opsi kebijakan.

2.3 Langkah-langkah dalam Formulasi Kebijakan
Secara sederhana langkah-langkah dalam melakukan formulasi atau analisis
kebijakan publik dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pengajuan Persoalan. Tujuan daripada kegiatan ini adalah untuk menentukan dan memahami hakekat persoalan dan suatu permasalah dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat. Tiga bakal pokok yang perlu dimiliki untuk melakukan pengkajian persoalan adalah teori, metodologi (metode dan teknik) dan informasi. Teori, metode, dan teknik yang diperlukan dalam tahapan ini adalah metode penelitian (termasuk evaluation research), metode kuantitatif, dan teori-teori relevan dan selaras dengan substansi persoalan yang dihadapi, serta informasi mengenai substansi permasalahan tersebut. Pesan metodologi penelitian yang perlu diingat disini adalah perumusan persoalan secara operasional dan fungsional. Rumusan tersebut harus nyata dan jelas pengertiannya serta terjabarkan yang mana faktor-faktor penyebab (independent variabel), dan faktor-faktor yang merupakan akibat (dependent variabel). Teori tertentu yang relevan dengan persoalan akan mempermudah pengkajian persoalan, sedangkan metode-metode kuantitatif akan membantu perumusan yang operasional.
2. Penentuan Tujuan. Tujuan adalah akibat yang secara sadar ingin dicapai atau ingin dihindari. Secara umum suatu kebijakan selalu bertujuan untuk mencapai kebaikan-kebaikan yang lebih banyak dan lebih baik atau mencegah terjadinya keburukan-keburukan atau kerugian-kerugian semaksimal mungkin. Kewajiban analis dalam tahapan ini adalah merumuskan tujuan tersebut secara jelas, realistis, dan terukur.
3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah alat atau cara-cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai, langsung ataupun tidak langsung, sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Bisa juga dikaitkan sebagai pilihan-pilihan di luar alat atau cara-cara yang telah digunakan atau yang telah ada. Alternatif-alternatif kebijakan dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal. Pertama, berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang ada (sedang dijalankan). Kedua, dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam sesuatu bidang dan dicoba diterapkan dalam bidang yang tengah dipelajari (balancing). Ketiga, merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu (inventive) (Starling, 1974).
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang dihadapi, diwujudkan dalam hubungan-hubungan kausal atau fungsional. Model dapat dituangkan dalam berbagai bentuk seperti model skematik (flow chart dan arrow diagram), model fisikal (miniatur), model game (latihan manajemen, peperangan, dsb.), model simbolik (ekonometrika, program komputer), dan sebagainya. Manfaat dari pada model dalam analisis kebijakan adalah mempermudah deskripsi persoalan secara struktural, membantu dalam melakukan prediksi akibat-akibat yang timbul dari dan atau tiadanya perubahanperubahan dalam faktor penyebab. Dengan demikian, model merupakan alat bantu yang baik dalam perumusan dan penentuan solusi, atau dalam perumusan tujuan dan pengambangan serta penentuan pilihan alternatif kebijakan.
5. Penentuan Kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif-alternatif. Ini menyangkut bukan hanya hal-hal yang bersifat pragmatis seperti ekonomi (efisiensi, dsb.), politik (konsensus antar stakeholders, dsb.), administratif (kemungkinan efektivitas, dsb.), dan seterusnya, tetapi juga hal-hal yang menyangkut nilai-nilai abstrak yang fundamental seperti etika dan falsafah kriteri yang berhubungan dengan nilai dan pandangan hidup. Dalam hubungan ini, bangsa Indonesia telah memiliki Pancasila dan UUD 1945 sebagai “Pedoman Perilaku” dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang secara imperatif harus dijadikan nilai dasar yang menghikmati setiap kebijakan. Nilai dasar tersebut perlu dikembangkan sehingga secara tehnis bisa dijadikan kriteria dalam penilaian dan penentuan alternatif-alternatif kebijakan; dan secara sosiokultural dapat berperan sebagai pedoman perilaku dalam interaksi keseluruhan proses kebijakan.
6. Penilaian Alternatif. Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria-kriteria di atas. Tujuan penilaian adalah mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan fasilitas tiap alternatif dalam pencapaian tujuan, sehingga diperoleh kesimpulan mengenai alternatif yang mungkin paling efektif dan efisien. Misalnya, dari segi ekonomi (alternatif mana yang paling efisien, atau yang akan memberikan keuntungan terbesar dengan ongkos termurah, dsb.), dari segi politik (perlu diperhitungkan alternatif mana yang paling bisa diterima, dsb.), dari segi administratif (perlu dilihat apakah suatu alternatif secara kelembagaan bisa dilaksanakan). Alternatif perlu pula dinilai dari segi etis dan falsafah. Mungkin suatu alternatif secara ekonomis menguntungkan dan secara administratif bisa dilaksanakan, tetapi bertentangan dengan nilai-nilai sosial tertentu sehingga (kemungkinan besar) tidak ada kemufakatan dari stakeholders untuk menerimanya.
7. Perumusan Rekomendasi. Penilaian atas alternatif-alternatif akan memberikan gambaran mengenai sejumlah pilihan-pilihan yang “tepat” untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Langkah akhir dan analisis kebijakan adalah merumuskan saran mengenai alternatif yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan secara optimum pada kondisi berbagai faktor lingkungan, administrasi, dan ekonomi tertentu. Dalam rekomendasi ini ada baiknya dikemukakan juga “strategi pelaksunaan” dari alternatif-alternatif kebijakan yang disarankan tersebut (implementation strategy of the recommended policy alternatives).
2.4 Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan
Dalam perumusan kebijakan publik paling tidak terdapat sebanyak enam faktor strategis yang biasanya mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Faktor politik. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan publik, karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik aktor-aktor dari pemerintah maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, LSM, asosiasi profesi, media massa, dan lain-lain).
2. Faktor ekonomi/finansial. Faktor mi pun perlu dipertimbangkan terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan atau menyerap dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam suatu daerah.
3. Faktor administratif/organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu pula dipertimbangkan faktor administratif atau organisatoris yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
4. Faktor teknologi. Dalam perumusan kebijakan publik perlu mempertimbangkan teknologi yaitu apakah teknologi yang ada dapat mendukung apabila kebijakan tersebut diimplementasikan.
5. Faktor sosial, budaya, dan agama. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya, dan agama atau yang sering disebut masalah Sara.
6. Faktor pertahanan dan keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan ini pun akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang akan dikeluarkan tidak mengganggu stabilitas keamanan suatu daerah.

2.5 Stakeholders dalam Perumusan Kebijakan Publik
Proses perumusan kebijakan publik sejauh mi dipahami sebagai kegiatan sosiopolitik yang dinamis dan berlangsung dalam sistem kelembagaan formal dan informal yang kompleks. Dengan demikian, proses kebijakan publik yang harus senantiasa terjaga konsistensinya dengan dimensi-dimensi nilai yang melekat dalam sistem administrasi negara, menjadi bukan persoalan yang sederhana apabila diproyeksikan pada reaitas konfigurasi para pelaku serta garis aspirasi dan alur garis penetapan kebijakan dalam keseluruhan proses kebjakan publik.
Pelaku permusan kebijakan publik pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu: (1) Resmi, termasuk dalam pelaku ini adalah lembaga pemerintahan seperti birokrasi, presiden (eksekutif), DPR/D (legislatif) dan Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya (yudikatif); (2) Tidak Resmi, termasuk dalam pelaku ini adalah kelompok kepentingan, partai poitik, LSM, media massa dan manajemen individu.
Lembaga/instansi pemerintah banyak terlibat dalam perumusan ataupun pengembangan kebijakan publik. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah tertentu sehingga keterlibatan lembaga itu sebagai aparat pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka. Dengan pemahaman tersebut, maka lembaga/instansi pemerintah telah menjadi pelaku penting datam proses pembuatan kebijakan.
Selain itu, lembaga/instansi pemerintah juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan kebijakan dalam sistem politik. Lembaga/ instansi tersebut secara khas tidak hanya menyarankan kebijakan, tetapi juga secara aktif melakukan lobi dan menggunakan tekanan-tekanan dalam penetapan kebijakan publik.
Di tingkat daerah lembaga legislatif disebut DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Daerah. Setiap peraturan perundangundangan yang menyangkut persoalan-persoalan publik harus mendapat perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, penyelidikan-penyelidikan, dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat pemerintah, kelompok-kelompok kepentingan, dan lain sebagainya.
Keberadaan lembaga legislatif tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Lembaga ini terbentuk melalui permilu yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
Partai politik yang memenangkan pemilu akan menempatkan para wakil rakyatnya yang selanjutnya akan mengartikulasikan tuntutan-tuntutan masyrakat. Tuntutan-tuntutan itu kemudian dirumuskan dalam bentuk kebijakan yang “seharusnya” dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Dengan kata lain, partai politik merupakan perwakiIan dari suara rakyat yang telah memandatkan suaranya melalui proses pemilu untuk duduk di lembaga legislatif serta diharapkan dapat memper- juangkan apa yang menjadi aspirasi, tuntutan, dan kepentingan masyarakat.
Kelompok kepentingan merupa-kan pemeranserta tidak resmi yang memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan di hampir semua negara. Perbedaan yang mungkin ada bergantung pada apakah negara demokratis atau otoriter, moderen atau berkembang. Perbedaan tersebut me nyangkut keabsahan serta hubungan antar pemerintah dengan kelompok-kelompok tersebut. Dalam sistem politik demokratis, kelompok-kelompok kepentingan akan lebih memainkan peran yang lebih dengan kegiatan yang lebih terbuka dibanding sistem otoriter.
Dalam sistem demokrasi kebebasan berpendapat dilindungi, serta warga negara mempunyai keterlibatan politik. Walaupun dalam kedua sistem tersebut kelompok-kelompok kepentingan berbeda dalam hal hubungan dan sifat aktivitasnya, namun pada semua sistem tersebut, kelompok-kelompok kepentingan menjalankan fungsi artikulasi kepentingan, yaitu mereka berfungsi menyatakan tuntutan-tuntutan dan memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan. Kelompok kepentingan juga saling memberikan informasi kepada para pejabat publik dan sering informasi yang diberikan bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari usul-usul kebijakan yang diajukan, sehingga kelompok kepentingan telah memberikan sumbangan yang berarti bagi rasionalitas pembuatan kebijakan.
Dalam sistem demokrasi, partai-partai politik memegang peranan penting karena digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Hal ini berarti bahwa partai-partai politik pada dasarnya lebih berorientasi kepada kekuasaan dibandingkan kebijakan publik. Namun demikian, pengaruh mereka tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses pembuatan kebijakan publik. Partai Politik di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3l Tahun 2002 merupakan organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara RI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Partai politik mernpunyai tugas untuk menyalurkan aspirasi, menampung, mengolah dan mengintegrasikan aspirasi masya-rakat yang selanjutnya membuat usulan kebijakan.
Partisipasi warga negara dalam sistem politik, walaupun sistem politik tersebut merupakan sistem politik demokratis, sering dianggap mempunyai partisipasi rendah. Hal ni didasarkan pada kenyataan bahwa banyak orang tidak memberikan suaranya pada waktu pemilihan umum, tidak ikut serta dalam kegiatan partai politik, tidak terlibat dalam kelompok-kelompok penekan serta mempunyai perhatian yang rendah terhadap sistem politik.
Di negara-negara yang berdasarkan sistem otoriter, kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan para warga negara biasanya merupakan akibat dan kebijakan-kebijakan publik. Penguasa akan tetap menaruh perhatian terhadap apa yang menjadi keinginan rakyat agar kekacauan sedapat mungkin diminimalkan, dan juga mempunyai keinginan untuk menjaga keutuhan negara, seperti halnya keinginan para warga negara meskipun mereka tidak dliibatkan secara langsung dalam pembuatan kebijakan.
Dalam negara demokratis, pemilu merupakan tanggapan tidak langsung terhadap tuntutan-tuntutan warga negara dalam pembuatan kebijakan karena memungkinkan untuk memilih para pejabat dan sedikit banyak menginstruksikan para pejabat mengenai kebijakan tertentu. Dengan demikian, warga negara mempunyai hak untuk didengar dan para pejabat mempunyai tugas untuk mendengarkan.
Dalam proses pembuatan suatu kebijakan, perlu keterlibatan para pembuat kebijakan, baik pelaku yang resmi maupun yang tidak resmi. Untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan, terlebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pelaku (participant), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau kekuasaan yang mereka miliki, bagaimana mereka saling berhubungan dan saling mengawasi.

2.6 Implementasi Kebijakan Publik
1. Implementasi Kebijakan Pada Prinsipnya:
Cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan.
Untuk mengiplementasikan kebijakan ada dua pilihan langkah:
1. Langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program.
2. Melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk Undang –Undang atau Pancasila adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan (PP)

2. Pengelolaan Implementasi Kebijakan
Pertimbangan Kemungkinan
Kebijakan/Program dapat disebut gagal karena keduanya memang tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana. Kebijakan/Program dapat dilaksanakan sesuai rencana, tetapi tidak mampu mencapai hasil yang diharapkan.
Implementasi Kebijakan
· REGULATIF
Kebijakan yang dirancang untuk menjamin terwujudnya penaatan terhadap serangkaian ketentuan, aturan ataupun prosedur tertentu yang diwajibkan kepada objek dan subjet kebijakan.
· ALOKATIF
Kebijakan yang menetapkan kebutuhan masukan/input berupa dana, waktu, personil maupun perlengkapan ( termasuk tehnologi, mesin, sarana dan prasarana.
3. Analisis implementasi menkaji beberapa faktor yang menghambat atau mempelancar pelaksanaan kebijakan:
1. Siapa dan berapa banyak unsur pelaksana kebijakan
2. Bagaimana setting pelaksanaannya
3. Apakah ada standar operasional yang baku.
4. Bagaimana tingkat konsensus pelaksanaan kebijakan yang disepakati.
5. Bagaimana tingkat dampak yang diharapkan
6. Tehnik apa yang dapat digunakan untuk peleksanaan kebijakan ini.
7. Apakah sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pelaksanaan telah tersedia.
4. Fungsi Pemantauan Implementasi Kebijakan
Compliance (penaatan): memonitor apakah tindakan pelaksana kebijakan dan stakeholders memenuhi standar dan prosedur yang telah ditetapkan. Auditing(pemeriksaan): memeriksa apakah sumber-sumber dan program yang ditujukan bagi target group dan benefeciaries telah benar-benar atau diterima yang bersangkutan. Explanation (penjelasan): memperoleh informasi untuk menjelaskan tingkat kinerja kebijakan.
5. Upaya – Upaya Mencegah Kegagalan Implementasi Kebijakan
1. Kebijakan tidak bersifat Ambiqua
2. Prosedur administrasi jelas dan dikomunikasikan secara konsisten
3. SDM terlatih dan well informended tersedia untuk melaksanakan kebijakan
4. SDM memperoleh delegasi wewenang
5. SDM memperoleh insentif dan motivasi
6. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi
Aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.(Udoji,1981,hal.32)
6. Model-Model Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakn yang berpola “dari atas kebawah “ (top-bottomer) versus dari” bawah keatas “ (bottom topper), Implementasi yang berpola paksa (command-and-conntrol) dan mekanisme pasar (economic incentive).
· Kebijakan Publik Yang Bisa Langsung Operasioanal :
1. Keppres,
2. Inpres,
3. Kepmen,
4. Keputusan Kepala Daerah,
5. Keputusan kepala dinas,
6. Dan lain-lain
· Model Mekanisme Paksa
Model yang mengedepankan arti penting lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme paksa didalam negara dimana tidak ada mekanisme insentif bagi yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau melanggarnya.


· Model Mekanisme Pasar
Model yang mengedepankan mekanisme insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak mendapatkan sanksi, namun tidak mendapatkan insentif. Ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau melanggarnya

7. Variabel Yang Mempengaruhi Kebijakn Publik
1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganisasi.
2. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor,
3. Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan
4. Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/ implementor.
8. Hambatan Dalam Implementasi Kebijakan
Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis palaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening: yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsitensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga palaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen & kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/ badan pelaksan dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kebutuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.




2.7 Syarat Implementasi Kebijakan Brian W. Hoogwood dan lewis A. gun (1978)
Syarat pertama berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan tidak akan menimbulkan masalah yang besar. Syarat kedua adalah apakah untuk melaksanakannya tersedia sumberdaya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu. Gagasan sangat bijaksana karena berkenaan dengan fabisilitas dari implementasi kebijakan Syarat ketiga apakah perpaduan sumber –sumber yang diperlukan benar-benar ada. Kebijkan publik adalah kebijakan yang komplek dan menyangkut impak yang luas. Karen aitu, Implementasi kebijakan publik akan melibatkan berbagai–bagai sumber yang diperlukan, baik dalam konteks sumber daya atau sumber aktor. Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal. Jadi, prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang dapat menyelesaikan masalah yang hendak ditanggulangi. Dalam metodologi dapat disederhanakan menjadi “apakah jika X dilakukan akan terjadi Y”. Syarat kelima adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Asumsinnya, semakin sedikit hubungan “sebab akibat”,semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah kebijkan yang mempunyai hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas implementasi kebijakan . Syarat keenam adalah apakah hubungan saling ketergantungan kecil. Asumsinya adalah jika hubungan saling ketergantungan tinggi, justru implementasi tidak akan dapat berjalan secara efektif apa lagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan. Implementasi kebijakan pengaruh utamaan gender banyak menemui kendala karena Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tergantung dalam intensitas yang tinggi kepada seluruh departemen dan LPND serta kepada daerah-daerah. Syarat ketujuh adalah pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Tidaklah begitu sulit dipahami, bahwa mereka yang ada dalam perahu yang sama sepakat akan tujuan yang sama . sebuah perahu dengan penumpang dengan tujuan yang berbeda-beda dan tidak ada yang mampu memimpin, adalah sebuah perahu yang tidak pernah beranjakk dari tempatnya berada. Jika Kepala Daerah dan DPRD tidak pernah bersepakat bahkan saling menjatuhkan untuk menyusun satu kebaikan publik untuk membawa kemajuan bagi rakyat daerah, yang terjadi adalah kemerosotan pembangunan dikawasan tersebut. Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektivitas implementassi kebijakan. Syarat kesembilan adalah komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Komunikasi adalah organisasi, dan koordinasi adalah asal muasal dari kerjasama tim serta ter bentuknya sinergi. Syarat kesepuluh adalah bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.Kekuasan atau power adalah syarat bagi kefektivan implementasi kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari kekuasaan, maka kebijakan akan tetap berupa kebijakan tanpa ada impak bagi target kebijakan.

2.8 Memilih Model
Setelah mengetahui model-model implementasi kebijakan, masalah penting adalah model mana yang terbaik yang hendak dipakai? Jawabannya adalah tidak ada model yang terbaik. Setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara top-down seperti kebijakan anti-terorisme. Kebijakan – kebijakan yang bersifat top-downer adalah kebijakan yang bersifat sangat strategis dan berhubungan dengan keselamatan negara. Berbeda dengan kebijakan yang lebih efektif jika diimplementasikan secara Bottom-upper, yang biasanya berkenaan dengan hal-hal yang tidak secara langsung berkenaan dengan national security seperti kebijakan kontrasepsi (KB), padi varitas ungul, pengembangan ekonomi nelayan, dan sejenisnya.
Namun sebenarnya, pilihan yang paling efektif adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijakan publik yang partisivatif, artinya yang bersifat top-downer dan bottom-upper. Model seperti ini biasanya lebih dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan, dan murah. Bahkan dapat pula dilaksanakan untuk hal-hal yang bersifat national security. Indonesia mempunyai kebijakan keamanan nasioanal yang disebut sebagai pertahanan rakyat semesta dimana konsep ini menghendaki implementasi pertahanan nasional melibatkan kerja sama antar militer dengan rakyat, dimana kedua komponen ini tidak saling berhubungan secara hierarkis, namun berhubungan secara kooperatif murni.

2.9 Tepat Penanggulangan Masalah Dalam Implementasi Kebijakan
Tepat pertama, adalah apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excellent is the policy. Sisi kedua dari kebijakan adalah apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan seperti yang kita bahas pada bab sebelumnya tentang perumusan kebijakan. Sisiketiga adalah, apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan ) yang sesuai dengan karakter kebijakannya.
Tepat kedua adalah “tepat pelaksananya”. Aktor implementasi kebijakan tindakan hanya pemerintah . Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerja sama antara pemerintah- masyarakat/swasta , atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atrau contractig out). Kebijakan–kebijakan yang bersifat monopoli, seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama dengan masyarakat, seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau dimana pemerintah tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-industri berskala menengah dan kecil yang tidak strategis , sebaiknya diserahkan kepada masyarakat.
Tepat ketiga adalah “tepat target”. Ketepatan berkenaan dengan tiga hal. Pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan interrvensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Di Indonesia kebijakan untuk Income generating diwarnai dengan banyaknya kebijakan pemberian kredit bersubsidi oleh berbagai departemen yang akhirnya overlapping dan saling mematikan di lapangan. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk disintervensi, ataukah tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target dan kondisi mendukung atau menolak. Sosialisasi kebijakan pertanian dikawasan konflik tidaklah salah, namun tidak efektif karena prioritas utama adalah keselamatan nyawa. Pembangunan kawasan industri maju dikawasan terbelakang tanpa menyiapkan masyarakatnya menghasilkan penolakan yang laten seperti pada kasus–kasus di Papua (Irian Jaya). Ketiga, apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
Tepat keempat adalah “tepat lingkungan “. Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan, yaitu interaksi diantara lembaga perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Donald J. Calista (1994) menyebutkan sebagai pariabel endogen, yaitu authoritativa arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari berbagai organisasi yang terlibat dengan kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, dan implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar menawar antara otoritas yang mengeluakan kebijakan dengan jejaring yang berkenaaan dengan implementasi kebijakan. Lingkungan kedua adalah lingkungan eksternal kebijakan yang disebut oleh Calista sebagai variabel eksogen yang terdiri dari public opinion yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interfretive instution yang berkenaan dengan interfretasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekanan, dan kelompok kepentingan, dalam mengiterprestasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individual yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam menginterprestasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
Ke empat “tepat “ tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis Dukungan
1. Dukungan politik,
2. Dukungan strategik, dan
3. Dukungan teknis.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Keterlibatan Masyarakat dalam Perumusan Kebijakan/Perda
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan pada masing-masing daerah lokus sangat bervariasi, bahkan terdapat daerah lokus yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik, mulai dari perumusan sampai penetapan suatu Perda. Umumnya, daerah hanya melibatkan masyarakatnya pada saat sosialisasi Perda atau ketika suatu Perda sudah ditetapkan oleh Dewan. Jadi sifatnya hanya mensosialisasikan Perda yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Adapun proses perumusan kebijakan atau Perda pada masing-masing daerah lokus.
Keterlibatan masyarakat tidak hanya terbatas pada perumusan kebijakan publik melainkan juga pada partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bertujuan untuk menjamin keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan, agar aspirasi dan kepentingan masyarakat terakomodasi dalam program dan kegiatan pembangunan yang tertuang dalam APBD. Keberadaan P4DB adalah untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat.
Peran serta masyarakat disampaikan dalam bentuk saran, pendapat publik melalui Forum Musyawarah Pembangunan Kelurahan. Melalui Forum tersebut, masyarakat mengusulkan kegiatan-kegiatan pembangunan yang akan dijadikan prioritas, dan usulan prioritas masyarakat menjadi rujukan satuan kerja untuk mengusulkan program dan kegiatan ke dalam belanja publik APBD. Keterlibatan masyarakat tidak hanya dibatasi pada perencanaan atau penyusunan program dan kegiatan saja, melainkan juga keterlibatannya dalam pengawasan (pengawasan tidak langsung) hingga selesainya suatu kegiatan pembangunan.
Misalnya, Perda menyangkut pertanian, ada Dinas terkait yang kami undang, seperti Tata Kota, Bapedalda, dan Ekbang. Pembahasan dilakukan di Bagian Hukum untuk merumuskan teknis penyusunan yang merupakan tanggung jawab Bagian Hukum, sedangkan isinya merupakan tanggung jawab Dinas terkait dan biasanya ada tambahan dari instansi terkait yang diundang. Setelah pembahasan, tim kajian melakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum Perda disampaikan ke Dewan. Yang dilibatkan dalam sosialisasi tersebut adalah Lurah, Kepala Lingkungan, RW, RT, dan Tokoh Masyarakat (toko pemuda, agama dan LSM), serta komponen pengusaha.
Hasil pembahasan (sosialisasi) serta masukan-masukan dari forum disampaikan ke Bagian Hukum. Perubahan dilakukan oleh tim dengan melibatkan anggota Dewan (ketua komisi) dan instansi terkait berdasarkan masukan dari masyarakat. Pembahasan ulang dilakukan antara tim kajian dengan instansi terkait dan ketua komisi. Hasil remusuan kemudian disam-paikan kepada Dewan untuk dibahas pada persidangan berikutnya. Berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2001 Pasal 17, Perda tentang retribusi dan pajak 15 hari setelah ditetapkan dapat dikirim ke Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Gubernur untuk meminta pengesahan. Setelah ditetapkan, Perda tidak langsung diberlakukan, namun menunggu 1 bulan 15 hari, dan bilamana tidak ada tanggapan, Perda tersebut bisa diberlakukan atau diimplementasikan.
Draft atau rancangan awal suatu Perda dibuat atau disusun oleh instansi teknis yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan draft Perda yang disusun; (b) Setelah draft Perda selesai disusun oleh instansi teknis, disampaikan kepada Sekretaris Kabupaten melalui Bagion Hukum; (c) Sekretaris Daerah membentuk Tim (interen Sekretariat) untuk membahas draft Perda yang diusulkan oleh instansi teknis; (d) Dalam rangka penyempurnaan draft Perda, Tim intern Sekretariat yang diketuai oleh Sekretaris Kabupaten dan beranggotakan semua Asisten dan Kabag Hukum (selaku Sekretanis Tim) melakukan pembahasan dan penyempurnaan draft Perda dengan melibatkan instansi terknis dan instansi terkait Iainnya; (e) Setelah draft Perda dianggap memadai, maka dilakukan sosialisasi pada Kecamatan dengan melibatkan aparat kecamatan, aparat kelurahan dan, masyarakat (Kepala Lingkungan, RW, RT, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, LSM, serta komponen pengusaha. Kegiatan sosialisasi merupakan wujud pelibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan atau Perda dan bertujuan memperoleh masukan dari masyarakat; (f) Tim ( melalui rapat) kemudian mengevaluasi masukan-masukan dan kritikan-kritikan dari masyarakat dalam rangka penyempurnaan draft Perda; (g) Draft Perda diajukan ke legislatif untuk dibahas; (h) Apabila Perda telah ditetapkan oleh legislatif, maka Perda tersebut dikirim ke Depdagri dan departemen terkait untuk disahkan; dan (i) Jika selama 1 bulan 15 hari tidak ada tanggapan atau pembatalan maka Perda tersebut dapat diberlakukan.
Keterlibatan akademis lebih banyak pada aspek hukum. Hasilnya dikaji dalam proses penyusunan draft rancangan Perda. Para akademisi juga melakukan analisis kebijakan sampai penyusunan draft rancangan Perda. Hasilnya dipresentasikan baik kepada Dinas Tata Kota maupun kepada instansi terkait (Hukum, Ke-PU-an, Bappeda, dan anggota legislatif. Setelah dipresentasikan, rancangan tersebut disampaikan ke Bagian Hukum. Bagian Hukum mengundang instansi terkait untuk mendiskusikan dan menyamakan persepsi sebelum disampaikan ke legislatif. Dengan demikian, pada waktu pembahasan di legislatif, tidak ada lagi perbedaan pendapat di kalangan eksekutif. Keterlibatan akademisi hanya sampai pada pembahasan atau diskusi dengan Tim yang ada di Sekretariat yang dipimpi oleh Sekretaris Daerah, bukan pembahasan di legislatif.
Diharapkan Perda yang diberlakukan mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat karena proses penyusunannya melibatkan masyarakat. Dengan demikian dalam implementasinya diharapkan tidak ditemukan banyak kendala yang berarti atau dengan kata lain dapat diterima baik oleh masyarakat setempat.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Implikasi dari diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 84 Tahun 2000 tentang Perangkat Organisasi Pemerintah Daerah sebagaimana telah dirubah dengan PP Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membentuk organisasi pemerintah daerah yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah.
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan di umum dalam proses perumusan kebijakan. Sebelum tahun 2003 keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik juga belum ada.
Mekanisme penyusunan Perda umumnya diprakarsai atau diusulkan oleh instansi teknis tertentu (seperti Dinas, Badan, dan Kantor). Namun, tidak satupun Perda yang telah ditetapkan selama kurun waktu lima tahun, yang diusulkan oleh Dewan. Instansi teknis melakukan penggodokan atas draft atau konsep Perda yang akan dibuat. Jika sudah memadai mereka mengusulkan konsep Perda tersebut kepada pemerintah melalui Sekretariat Daerah (Bagian Hukum). Selanjutnya, dibentuk tim oleh Sekretaris Daerah untuk membahas dan menyempurnakan. Anggota Tim terdiri dari Sekretaris Daerah (selaku Ketua), para Asisten, Kepala Bagian Hukum (selaku Sekretaris), instansi pengsul, dan instansi yang terkait secara substansi dengan Perda yang akan ditetapkan. Bagian Hukum bertanggung jawab pada teknik penyusunannya agar Perda yang akan ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan kebijakan atau peraturan yang lebih tinggi. Sedangkan instansi pengusul bertanggung jawab atas isi atau substansinya.
Apabila dianggap sudah memadai oleh anggota Tim tersebut, selanjutnya Tim turun ke masyarakat untuk mencari dan memperoleh masukan-masukan atau bahkan kritikan-kritikan jika sekiranya masyarakat kurang sependapat atau setuju dengan rancangan Perda yang akan diajukan ke Dewan. Kegiatan ini melibatkan segenap lapisan masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, dan LSM serta komponen pengusaha.
Tim kemudian melakukan perbaikan dan penyempurnaan sesuai dengan masukan-masukan maupun kritikan-kritikan dari masyarakat. Selanjutnya, rancangan tersebut diusulkan ke legislatif untuk dibahas pada sidang dewan herikutnya. Setelah dilakukan pembahasan yang intens dan disetujui oleh Dewan, maka Perda tersebut diberi nomor oleh Bagian Hukum. Perda yang telah disteujui oleh Dewan atau legislatif tidak serta merta langsung diberlakukan. Berdasarkan PP Nornor 6 Tahun 2001 pasal 17 bahwa setelah Perda ditetapkan paling lambat 15 hari kemudian, harus dikirim ke Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan (khusus untuk Perda tentang pajak dan retribusi), dan Gubernur untuk meminta pengesahan. Apabila dalam kurung waktu 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari, tidak ada tanggapan atau pembatalan, baru kemudian Perda tersebut dapat diberlakukan atau dilaksanakan.

4.2 Saran
Kebijakan yang dirumuskan atau ditetapkan oleh pemerintah daerah (legislatif dan eksekutif) pada lokus kajian masih didominasi oleh kebijakan atau Perda yang mengatur mengenai pembentukan struktur dan tata kerja organisasi pemerintah daerah. Hal mi memberikan indikasi bahwa pemerintah daerah umumnya masih cenderung lebih banyak mengurusi birokrasi (dirinya sendiri) ketimbang mengurus atau melayani masyarakat. Kedepan, pemerintah daerah diharapkan mampu dan beralih kepada perumusan kebijakan yang lebih banyak pada pengaturan yang memungkmnkan masyarakat dapat berperan secara aktif dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Perumusan Perda yang mengatur tentang retribusi dan pajak juga sangat menonjol pada lokus kajian. Kebijakan ini dipandang kurang simpatik oleh masyarakat, karena hampir semua kegiatan masyarakat terutama kegiatan ekonomi dikenakan pajak atau retribusi. Pada hal peran pemerintah daerah dalam menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi masyarakat dapat dinilai sangat minim atau tidak optimal. Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan tidak terlalu memfokuskan diri pada penetapan-penetapan sejumlah pungutan kepada masyarakat tetapi lebih banyak pada upaya-upaya penciptaan kesempatan kerja dan memfasilitasi usaha-usaha produktif masyarakat.
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik yang umumnya berbentuk Perda Namun, pemerintah daerah nampaknya sudah mempunyai komitmen yang kuat untuk melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal ini tercermin dari dikeluarkannya peraturan perundang-undangan baik berupa Perda maupun Surat Keputusan Bupati atau Walikota yang secara khusus mengatur mengenai mekanisme keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik. Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan dapat membangkitkan, mendorong, dan memfasilitasi partisipasi aktif masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan.
Selain itu, diharapkan juga pemerintah daerah tidak hanya melakukan sosialisasi ketika sejumlah kebijakan publik (Perda) telah ditetapkan. Pendekatan seperti ini justru membatasi dan menutup ruang masyarakat untuk memberikan masukan-masukan untuk perbaikan, penyempurnaan, dan kritikan-krtikan karena dapat memberatkan masyarakat, terutama kebijakan yang mengatur tentang pajak dan retribusi daerah. Kemanpuan legislatif atau Dewan dalam merumuskan kebijakan publik juga amat dituntut agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tidak satupun kebijakan publik (Perda) yang dihasilkan atau ditetapkan yang murni muncul atau digagas sendiri oleh anggota Dewan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadjayadi, C., 2000 Perspektif masyarakat daerah di era otonomi daerah. Revitalisasi Komitmen

Chen Tony, 2003 Licencing Clinic Seminar, Microsoft Indonesia, Jakarta July 10th,

Chempy,J., 1996 Reengineering the Corporation, Prentice-Hall, New York

Dunn, William N. 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Edisi Kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gibson, Rowan., 1997 Rethinking the future, Nicholas Breadly Publishing, London

Islamy, M. Irfan. 2001. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Kebangsaan dalam menyongsong Era Otonomi Daerah, IA-ITB, Bandung 28 Oktober 2000

Moekijat. 1995. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Mandar Maju

Mustopadidjaja AR. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publi: formulasi, implementasi dan evaluasi kinerja. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI.

Nolan R.L and Croson,D.C , 1993 The Stages Theory of A Frame Work for IT Adaption and Organizational Learning, Harvard Business School. Cambridge MA

Rose, Collin and Nicholl, Malcolm J., 1997 Accellerated learning for the 21st century, A Dell Trade Paperback, New York

Soenarko. 2000. Public Policy; pengertian pokok untuk memahami dan analisa kebijaksanaan pemerintah. Surabaya: Airlangga University Press.

Sutopo dan Sugiyanto. 2001. Analisis Kebijakan Publik (Bahan ajar Diklatpim tingkat III). Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan; dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (edisi kedua). Jakarta: Bumi Aksara.

TEORI SISTEM

contac y email:bankdata_son@yahoo.com

POLITIK DAN MILITER TINJAUAN TEORITIS

A. Latar Belakang
Politik dan militer bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Memang jika dilihat dengan awam sepertinya tak ada sama sekali hubungan antara politik dan militer. Namun jika kita menelusuri timbulnya politik dan terjadinya aksi militer, tak pernah luput dari dua permasalahan tersebut. Disatu sisi para elit politik berusaha menarik perhatian dan partisipasi orang yang dipengaruhi dengan janji-janji politik berupa kemakmuran dan keadilan, tapi jika kemauan dari para elit politik tersebut tidak terpenuhi, maka semuanya akan berakhir diujung moncong senjata yang disarana dan prasaranai dengan kekuatan militer.
Begitu juga sebaliknya jika para elit politik tersebut berhasil dalam menyampaikan gagasan atau keinginannya dan setelah semua yang di harapkan tersebut terpenuhi, maka tak jarang pula kekuatan militer yang akan memfinishing (memuluskan tujuan) dari kaum elit tersebut untuk mempertahankan bahkan menguasai lebih banyak lagi harapan yang diinginkan oleh para elit politik tersebut.
Pernyataan saya ini kiranya dapat kita buktikan sendiri keabsahannya. Kita mulai dari pergerakan politik yang digawangi oleh kaum muda dibawah organisasi Budi Utomo 1928 yang bercita-cita mempersatukan Indonesia dalam satu “Ikrar Politik” yang diberi nama Sumpah Pemuda. Dalam ikrar tersebut jelas terlihat keinginan politik dari sebahagian anak muda bangsa yang ingin mempersatukan berbagai kerajaan yang tersebar dari Aceh sampai Papua, menjadi satu kesatuan, satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia.
Coba kita renungi keinginan tersebut, sebagai anak bangsa yang saat ini mengenyam dan merasakan sendiri arti persatuan (Republik Indonesia) pasti akan mendukung dengan sepenuh hati keinginan dan cita-cita luhur organisasi Budi Utomo. Tapi bagaimana dengan pemikiran para raja, sultan, dan pemimpin daerah yang ada pada waktu itu, saya rasa mereka tidak semuanya setuju akan keinginan tersebut. Para elit politik daerah pada waktu itu saya pastikan akan menentang keinginan tersebut.
Disatu sisi, kaum muda Budi Utomo berjuang memuluskan cita-cita politiknya, tapi disilain para raja, sultan atau pemimpin lainnya akan tetap mempertahankan kekuasaan yang selama ini mereka miliki. Tidak jarang mulai saat itu, kita tidak hanya berperang melawan kolonial Belanda dengan serikat dagangnya (VOC), tapi juga melawan bangsa sendiri dengan munculnya perang kedaerahan yang kesemuanya menggunakan kekuatan militer.
Begitu juga setelah Indonesia merdeka, keinginan politik para elit negara untuk tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia terus ditentang oleh para elit daerah yang tidak ingin kekuasaanya dihalangi. Mulai saat itu, sampai hari ini pemberontakan tak kunjung usai. Aceh dengan GAM nya masih ada, begitu juga fertellin di Timor Timur masih mengancam, pemberontakan masyarakat Papua dengan slogan Papua Merdeka, bahkan di daerah kita sendiri Provinsi Riau masih ada gerakan Riau Merdeka. Semua itu berujung konflik militer yang berawal dari keinginan politik sekelompok kaum elit negeri ini yang merasa tidak puas akan apa yang mereka miliki.(Ratanuson:2004)
“Demokrasi”. Sepertinya kata yang pantas untuk membendung semua itu adalah demokrasi. Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat. Kata mulia bagi kaum mayoritas. Tapi itu hanya slogan yang pelaksanaannya tidak seratus persen benar. Para elit politik masih memegang kendali. Penguasa masih memegang kekuasaan mutlak dalam segala hal. Rakyat hanya korban, tak bisa bicara banyak, kalaupun ada yang berani bicara, racun arsenik akan mengakhiri hidupnya. Jika rakyat secara massal melawan, kuasa militer akan siap menghadapi dan meluluhlantakkan tangan-tangan kecil rakyat yang hanya bermodal keringat dan air mata.
Negara yang sekaligus adalah wilayah bagi otoritas sipil, sebenarnya tidak cukup jika hanya melihat supremasi sipil sebagai minimalisasi intervensi militer dalam kehidupan politik sipil. Otoritas sipil harus mempunyai keunggulan di semua bidang politik, termasuk perumusan dan implementasi dari kebijakan pertahanan nasional. Karena kebijakan adalah jalan yang relevan dan mapan yang menjembatani antara produser ideologi, aktivitas negara, hasil dan akibatnya.
Demokrasi harus menempatkan militer di bawah otoritas sipil sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi militer untuk menjalankan pertimbangan profesional dan kegiatan yang menjadi bidang mereka dalam batas-batas parameter kebijakan yang ditetapkan oleh sipil. Lebih jauh lagi, jika politisi sipil ingin efektif dalam menguasai dan memelihara pengakuan militer atas supremasi sipil, maka hal ini juga akan melibatkan partisipasi substansial dari militer dalam anggaran, strategi dan keputusan kebijakan yang dilakukan sipil. Hal ini yang mendasari pelajaran kedua dan mungkin pelajaran yang paling penting dan utama bagi demokrasi, yaitu bahwa ekspansi peran militer dan kudeta militer merupakan proses yang dikendalikan secara politik; dengan cara yang sama, upaya meraih supremasi sipil juga harus dilakukan secara politik.

B. Tinjauan Pustaka
1. DEMOKRASI SEBAGAI UPAYA PEMISAHAN PERAN DAN FUNGSI PEMERINTAH DENGAN MASYARAKAT

Dalam konteks republik, demokrasi harus dipahami sebagai sebuah usaha untuk memisahkan pemerintah dan masyarakat dalam peran dan fungsinya juga memberikan pembatasan-pembatasan fungsi yang ditetapkan oleh hukum pada lembaga-lembaga pemerintah yang ada. Sehingga demokrasi mempunyai dua dimensi pentingyaitu :
· Pertama, demokrasi merupakan prosedur atau fasilitas bagi terselenggaranya proses keterlibatan orang dalam pemerintahan. Di sini kadar demokrasi ditentukan oleh keterbukaan bagi partisipasi yang makin luas dan rasionalitas untuk menyerap partisipasi yang ada. Partisipasi yang dimaksud paling tidak mengandung dua hal, yakni: otonomi dan kebebasan yang membuka keterlibatan semua orang, serta otentisitas dari keterlibatan itu sendiri.
· Kedua, karena fasilitas itu selalu terbuka dan meminta keikutsertaan semua orang secara langsung, maka di saat yang sama demokrasi selalu juga berarti ketidakmungkinan, karena tidak akan pernah ada supremasi politik yang benar-benar memungkinkan semua orang ikut secara langsung. Dengan demikian demokrasi yang semakin baik membutuhkan instrumen atau prosedur yang sengaja dibuat dan diarahkan untuk meningkatkan partisipasi dan otentisitas pilihan publik. Benar bahwa demokrasi memang menyediakan prosedur dan fasilitas, tetapi demokrasi tidak pernah menyediakan sistem etis dalam dirinya sendiri.
Disinilah kemudian politik atau dunia publik, berada pada jalur dimana segala macam orang secara umum akan berada pada kebersamaan. Juga di dalamnya adalah militer. Dapat dikatakan kondisi demikian berlaku diskursus baik bagi wacana (ucapan), maupun tindakan atau perbuatan. Dengan kata lain, disinilah kemudian rujukan atas civil society senantiasa dilakukan oleh aktor-aktor dalam suatu ruang, atau sphere, dengan tujuan untuk memperluas batas-batas ruang tersebut vis a vis negara. Dalam konteks Indonesia saat ini, dimana proses transisi ini akan menuju ke suatu keadaan yang lebih demokratis atau tidak, aspek kemiliteran sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pemberdayaan civil society. Tetapi agar lebih jleas, apa pun yang menjadi hasilnya justru sangat tergantung pada kuat/lemahnya lembaga-lembaga demokratis sendiri. Dengan kata lain, jikalau lembaga militer senantiasa dinilai sebagai penentu, hal itu tidak terlepas dari keadaan masih begitu lemahnya lembaga-lembaga demokratis.
Masyarakat madani menurut sosiolog Ralf Dahrendorf harus dirancang lebih baik dari sekedar “masyarakat madani” (Bürgergesellschaft) karena masyarakat madani memberi tekanan pada karakter perdamaian dari hubungan sosial domestik, namun sayangnya, tidak termasuk militer. Padahal seorang militer, tak peduli apakah ia seorang perwira atau serdadu, harus membawa identitas warga negara, pemahaman masyarakat madani mendukung pemikiran mengenai sebuah integrasi sosial dari militer.
Dengan akselerasi dari masyarakat madani yang modern ke dalam organisme individual dan plural, usaha ini khususnya selalu dihalangi oleh sederet nilai yang berbeda dalam kedua sistem sosial tersebut. Dalam ranah ini, institusi dan organisasi dari hubungan intelektual yang berbeda ini, seperti pembentukan militer, yang semakin dipertanyakan dan menjadi terasing dalam masyarakat. Dalam berbagai hal, institusi besar dari masyarakat barat, negara-bangsa, gereja, partai politik, namun terutama militer yang belum termasuk dalam pengembangan ini. Untuk menyebut selain dua hasil dari dinamika sosial ini, masyarakat yang kaya ini mengikis konsep kewajiban, namun juga ketertarikan dari pekerjaan serdadu secara umum.
Kemudian, dengan menghubungkan pergeseran rancangan keamanan geopolotis secara global, organisasi militer barat telah berubah dari instrument pertahanan negara semata menjadi mekanisme pencegah krisis internasional dan resolusi konflik. Sebuah perkembangan bahwa, untuk alasan yang mendalam, telah menimbulkan banyak komentar unuk menyarankan sebuah civilianization pada militer. Tugas yang secara signifikan telah berubah dan misi yang diberikan pada angkatan bersenjata dalam wilayah keamanan internasional menuntut kerjasama militer dan sipil yang erat dan sebuah pandangan yang meluas bagi kepemimpinan militer yang efisien. Kemajuan ini menghasilkan pencantuman subyek “sipil” yang terus ditambah ke dalam kurikulum pendidikan militer. Pemberlakuan intervensi militer yang terbaru untuk alasan kemanusiaan bahkan menghasilkan pemikiran mengenai pentingnya humanisme militer yang baru.
2. HUBUNGAN KHUSUS ANTARA TEORI POLITIK DAN MILITER

Dalam dunia modern, hubungan khusus antara politik dan militer telah dijabarkan oleh ahli teori perang asal Prussia, Carl von Clausewitz, dalam diktatnya yang controversial berjudul “War is the Continuation of Policy by Other Means”. Seni berpolitik mendahulukan seni petunjuk perang, di luar segalanya, terdapat fakta bahwa faktor politik merupakan inti dari faktor militer semata. Sehingga orang harus berpikir bahwa angkatan bersenjata menemukan posisi dan integritas sosial mereka dalam sebuah konteks politik yang menyeluruh.
Akibatnya, seperti yang terjadi pada profesi lain, budaya professional dalam militer terletak pada tujuan organisasi militer dan tugas-tugasnya, yang harus memenuhi sistem politik. Kebertahanan angkatan militer terletak pada kemampuan dalam menempatkan perhatian negara di bawah keadaan luar biasa yang terjadi pada konflik angkatan bersenjata. Hal ini menghasilkan kesimpulan pada sift militer, yang harus dilihat dari kemampuan untuk menempatkan ancaman secara sah atau menggunakan kekuatan pasukan. Kemampuan ini kemudian, memperpanjang keberhasilan kondisi konflik bersenjata, didapat dari kebutuhan akan pendidikan dan pelatihan militer yang akan menimbulkan keistimewaan dalam dunia militer – proses seleksi secara fisik dan mental, disiplin, struktur hirarki, hubungan yang ketat antara komandan dan anggota pasukan, dan semua hal yang membantu untuk menghindarkan retaknya hubungan yang erat dalam ketahanan militer di bawah kondisi yang paling menantang dan berat dalam situasi konflik bersenjata.
Dengan kata lain, di luar fungsinya militer mengikuti organisasi. Hal ini, kemudian, dalam satuan argumentasi mengapa institusi organisasi militer begitu berbeda dengan sifat organisasi lain kita menemukan sistem politik yang sama. Ketika pada saat ini meningkatnya keamanan internasional dan juga interindependensi berlipat ganda antara komponen militer dan non militer dalam suat negara mengadopsi ikatan fungsional antara angkatan bersenjata dan organisasi sipil, pemisahan institusional dari militer dalam bagian masyarakat sipil ternyata masih menyisakan fakta. Di mana militer telah terintegrasi dalam struktur militer diketahui melalui supremasi politik dan diadaptasi pada pengaturan birokrasi dalam administrasi politik moderen, dan hal itu masih memerlukan tindakan eksklusif untuk menyiapkan, dan bila diperlukan, menerapkan kekerasan dan pemaksaan. Meski militer secara luas telah dianggap memiliki karakter organisasi sipil, dan di balik fakta bahwa jarak antara elit sipil dan militer telah dipisah, misi terakhir untuk memperjuangkan dan memperpanjang konflik masih menjadi kunci untuk memahami keunikan sifat militer.
Kemampuan dan kesiapan ini tepat untuk mengaplikasikan kekuatan dan untuk menempatkan hidup seseorang dan orang lain dalam resiko yang membutuhkan personal yang benar-benar dan dalam arti sebenarnya berkemauan untuk mengambil tanggung jawab yang khusus ini bagi diri mereka dan orang lain.
Menurut Aristoteles, tugas tertentu membutuhkan orang yang memiliki temperamen dan sifat yang tepat. Sesuai dengan ungkapan tersebut, Clausewitz menulis: “setiap panggilan khusus dalam hidup, jika harus diikuti dengan sukses”, membutuhkan kualifikasi pemahaman dan jiwa yang khusus”. Setiap individu bebas memilih, tentu saja, apakah ia ingin menjadi anggota angkatan bersenjata negaranya atau tidak. Namun ia tidak bebas memilih apakah itu berarti harus menjadi tentara professional, yang jumlahnya masih sedikit.
Karakter unik yang dimiliki militer dan isu yang terdapat dalam Chasm of Values antara kekuatan militer dan masyarakat telah banyak dibahas dalam berbagai cara. Jurang pemisah ini telah dilukiskan sebagai perbedaan antara nilai konvensional militer, dengan yang tidak konvensional yang hadir dalam masyarakat moderen. Saat Civilian Logic bersifat utilitarian dan egois, Military Ethos bersifat mengutamakan kepentingan orang lain dan dilakukan demi kepentingan kolektif, yang pada akhirnya pengorbanan fisik masih dituntut pada seorang serdadu. Pada dasarnya, perbedaan yang tidak dapat disatukan antara pemikiran seorang serdadu dan sipil menghasilkan dilemma yang pokok dalam etika.
Penyimpangan telah terjadi pada tahapan dari teori inkompabilitas, sebuah teori yang bisa ditelusur untuk revolusi teknologi dan demokrasii di abad ke-19, yang meng-klaim ketidakmampuan struktural dari masyarakat sosial yang sangat beradab untuk menjalankan perang. Alasan untuk ketidakmampuan ini, faktor-faktor seperti teknologi komunikasi masyarakat moderen yang rapuh, atau defisit mental dan psikologi pada masyarakat sipil dan tentara adalah alasan yang sering dikemukakan. Meskipun teori inkompabilitas ini secara umum telah terbukti salah, teori tersebut membantu kita untuk memahami perbedaan normatif dan sistematis antara angkatan bersenjata dan lingkungan sosial mereka.
Apa yang ditunjukan oleh teori inkompabilitas adalah kebutuhan akan organisasi militer untuk menghasilkan legitimasi dan penerimaan oleh masyarakat. Dalam berbagai interdependensi dan proses pertukaran antara masyarakat sipil dan militer, perlu dicatat bahwa ketika institusi militer telah membuka diri terhadap perubahan sosial, yang bertolak belakang antara satu dengan lainnya. Secara umum, angkatan bersenjata secara formal berpegang teguh pada bentuk teknologi tinggi yang terakhir, namun, pada saat yang bersamaan, juga melakukan praktek yang sudah lama dilakukan dan terlihat seperti ritual yang sudah ketinggalan zaman.
Pada satu sisi, telah diperlihatkan oleh banyak penelitian sosial bahwa, misalnya, militer Amerika Serikat secara jelas telah melakukan tugasnya secara lebih baik bila dibandingkan dengan lembaga negara lain di Amerika, dalam hal integrasi ras dan memperbaiki kesalahan rasial. Kenyataannya adalah mereka tidak seberhasil dalam menata issue gender di mana mereka tidak dapat mengubah fakta bahwa militer terkadang memimpin perubahan sosial dalam isu yang paling diinginkan. Pandangan integrasi dari Truman mungkin mewakili pemaksaan dari luar terhadap militer mengenai sebuah prinsip moral yang universal, pada saat masyarakat sipil menunjukan sedikit komitmen terhadap integrasi sosial.
Di sisi lain, membentuk satu sosok identitas tentara berdasarkan makna kekesatriaan dan keberanian masih dianggap konstitutif oleh banyak orang. dalam hal ini menarik juga untuk dicatat bahwa sebuah bagian besar dari undang-undang perang moderen telah mengembangkan kodefikasi dan universalitas kebiasaan dan peraturan untuk tentara khusus dan professional, sesuatu, khususnya, yang berbeda dengan kehidupan sosial yang umum. Hal ini mempertahankan penekanan pada profesionalisme sebagai nilai mutlak dari ketentaraan –sebuah nilai pengganti untuk kekesatriaan. Namun banyak masyarakat sipil yang cenderung untuk meremehkan kehormatan perang atau sebuah kode makna kehormatan seperti yang terjadi pada masa lampau, karena banyak tentara professional yang meremehkan masyarakat sipil sebagai kemunduran ataupun kemerosotan moral.
Hal itu terlihat seakan-akan sebuah pandangan terhadap nilai menyertai profesi dari masa Republik Plato, di mana ia mengenalkan empat makna utama: keadilan, kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, “utama” (cardo – inti di atas segalanya) bagi tentara manapun, bahkan hingga sekarang. Misalnya, selama Perang Gurun, Joint Chief of Staff Jenderal Colin Powell, dalam memutuskan untuk tidak melanjutkan perang terhadap tentara Irak, dengan rendah hati menerangkan keputusannya bahwa pengrusakan mereka akan sangat “tidak Amerika dan tidak ksatria”. Dalam kasus ini, seperti juga yang lain, moralitas seorang tentara terbukti lebih membatasi dan manusiawi ketimbang hukum internasional.
Dalam hal pentingnya menyebutkan disiplin, komando, hirarki, divisi tugas, dan, sebagai tambahan, supremasi masyarakat di atas individu merupakan kualitas abadi seorang tentara yang sedang bertugas, dan menjadi sangat jelas bahwa mengintegrasikan tentara ke dalam nilai dan lembaga masyarakat sipil akan melemahkan sifat dan tugas yang berbeda dari organisasi tersebut.
Di Amerika Serikat, sebuah komisi yang berbeda menyebutkan bahwa “disiplin” – bagian pemikiran yang membawa kemauan untuk mematuhi perintah tak peduli betapa tidak menyenangkan atau berbahaya…-bukanlah karakter dari masyarakat sipil”. Kemudian, misalnya, terlihat seakan-akan makna disiplin paling baik dapat ditumbuhkan dalam tingkat isolasi dari godaan tertentu dan pemuasan materi yang ada dalam masyarakat sekarang. Tidak hanya Mahkamah Agung AS yang telah lama mengetahui bahwa militer adalah komunitas khusus yang terpisah dari masyarakat sipil. Atau seperti yang diungkapkan oleh seorang perwira senior, “tak ada tempat selain nilai yang penting untuk mempertahankan sebuah masyarakat yang demokratis yang sering dianggap aneh oleh nilai masyarakat itu sendiri”. Hal ini tidak menunjukan bahwa sifat dari nilai militer dan arti dari kehormatan tentara sebagai sesuatu yang tak dapat diubah. Komitmen normatif yang tepat untuk masyarakat yang terpisah ini telah bergeser secara signifikan seiring berjalannya waktu. Biasanya, masyarakat barat yang moderen tidak lagi memperbolehkan seseorang untuk menanamkan makna kepahlawanan Homeric atau tentara Samurai, namun pemikiran historis dari kehormatan perang dapat ditinjau ulang dengan cara yang dapat membuat nilai-nilai itu dipertahankan dalam sebuah subkomunitas terbatas dari sebuah komunitas yang jauh lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

Larry Diamond dan Marc F. Platter (ed), Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi. RajaGrafindoPersada, Jakarta. 2001, hal XXXVI

Pascale Laborier, Understanding the Relevance of Ideas for Governmentality: Some Conceptual and Methodological Reflections. Paper Uppsala, Sweden, 13-18 April 2004

Alfred Stepan, Rethinking Militray Politics: Brazil and the Southern Cone. Princeton University Press, Princeton. 1988, hal 138-139

Robertus Robert, Republikanisme dan Keindonesiaan Sebuah Pengantar. Marjin Kiri, Jakarta. Juni 2007, hal 101

Henk Schulte Nordholt dan Gusti Asnan (ed.), Indonesia in Transition Work in Progress. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2003, hal 29-30

Ratanuson,2004. “Demokrasi di Antara Slogan dan Harapan “ http://www.bingkaruang.net/Jurnal/Pemerintahan/Demokrasi_Theory.doc., 9 mei 2004).

NEGARA SOSIAL: PEMIKIRAN POLITIK LORENZ VON STEIN DAN PELAJARAN UNTUK INDONESIA

PENDAHULUAN
Negara-negara Eropa Barat dapat dikategorikan sebagai negara sosialis, dalam arti bahwa negara dipandang sebagai lembaga yang harus aktif menyantuni kehidupan masyarakat, terutama mereka yang lemah secara politis dan ekonomis. Negara, begitulah ide tersebut, bukanlah semata-mata "penjaga malam" yang pasif di tengah kompetisi yang demokratis dalam segala bidang, melainkan haruslah secara aktif menciptakan atau mengkondisikan lahirnya kesejahteraan. Salah seorang perumus ide ini adalah Lorenz von Stein, yang hampir tidak dikenal di Indonesia. Antara lain untuk ikut andil dalam diskusi tentang komunisme yang mulai muncul lagi di negara kita, pokok-pokok pemikiran Stein dielaborasi dalam artikel ini dan kemudian dicoba dicarikan relevansinya untuk kasus Indonesia.

A. Sejarah dan biografie
Karena suatu gagasan tidak jatuh begitu saja dari langit atau muncul dari bumi, melainkan dirangsang oleh situasi sosial yang melingkupi si penggagas, adalah perlu untuk mengenali secara ringkas keadaan masyarakat Eropa abad ke-19 pada waktu Lorenz von Stein hidup (1815-1890) dan sedikit biografinya. Eropa abad ke-19 adalah kelanjutan dari Eropa abad ke-18 yang penuh dengan penemuan teknik, revolusi industri dan revolusi politik. Abad ke-19 ditandai oleh kehidupan sosial yang penuh dengan pergeseran dan gelombang gerakan sosial-politik yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana setiap gerakan tersebut berusaha untuk melakukan penataan masyarakat di atas kepentingan dan ketertarikan (Interesse) masing-masing. Untuk merealisir tujuan-tujuannya, setiap gerakan merumuskan ide-ide dan teori politiknya sendiri sebagai instrumen kerja dan sekaligus bintang penunjuk jalan. Kaitan antara gerakan dengan teori sosial-politik menjadi begitu kuat ketika pada saat yang bersamaan terbentuk suatu masyarakat-warga-negara atau civil society (4:270). Sementara itu di Jerman dalam abad ke-19 sejarah sosialnya ditandai oleh gerakan-gerakan emansipasi warga negara yang terutama diwakili oleh tuntutan emansipasi dari kelas pekerja yang sedang tumbuh (3:46).
Dalam situasi seperti itulah Lorenz von Stein hidup. Dia lahir 1815 di Borby/Eckernförde, Schleswig Holstein, Jerman Utara yang berbatasan dengan Denmark. Pada umur 24 tahun, 1839, dia telah melakukan promosi doktor tentang sejarah hukum sipil Denmark. Dua tahun kemudian dia tinggal di Paris hingga 1843 atas biaya kerajaan Denmark, lalu pulang dan 1846 menjadi profesor di Kiel. Sejak itu dia menulis "Sejarah gerakan sosial di Perancis" yang baru dirampungkannya 1850, alias dalam satu dasawarsa. Selain sebagai ilmuwan, Stein mencoba untuk aktif di lapangan yang diamatinya, tapi tidak dapat dikatakan sukses. Pada 1848 dia menjadi kandidat yang gagal untuk Musyawarah Nasional Jerman di Frankfurt, tapi dua tahun kemudian berhasil menjadi anggota parlemen Schleswig Holstein. Tahun 1855 dia meinggalkan Kiel, menjadi profesor di Wina. Di sana tahun 1874 dia melamar untuk menjadi anggota parlemen yang diangkat, tapi gagal. Tahun 1880-an dia menjadi penasihat pemerintah untuk politik Jepang sebelum akhirnya meninggal pada tahun 1890 di Weidlingen/Wina, Austria.
Stein menulis ribuan artikel koran, essai dan buku. Tulisannya yang pertama adalah essai tentang karakteristik ilmu hukum mutakhir (1841), sedang karangannya yang terakhir adalah sebuah buku pintar tentang ajaran administrasi bagian ke-tiga yang mengupas keterkaitan antara administrasi dan kehidupan masyarakat (1888). Tiga jilid bukunya tentang sejarah gerakan sosial di Perancis (1850) seperti telah disinggung di depan menjadi karya monumentalnya. Untuk menyebut tulisan-tulisannya yang lain di antaranya adalah tentang: sosialisme dan komunisme di Perancis (1842), teori-teori negara di Yunani sebelum Aristoteles dan Plato (1853), persoalan-persoalan di Austria (1865), teori ekonomi (1878) dan ihwal kesehatan (1882). Dari sini terlihat bahwa Stein --barangkali seperti semua ilmuwan di zamannya-- menekuni hampir semua disiplin ilmu sosial atau geistliche Wissenschaften, mulai dari filsafat, hukum, ekonomi, sejarah hingga politik.

B. Pokok-pokok pikiran Stein tentang negara sosial
Stein berusaha untuk mencegah tendensi revolusioner dari masyarakat jaman baru (yakni masyarakat Eropa sejak abad ke-17, dimana banyak penemuan teknologi) melalui dua jalan: secara analitis melalui konsep "ilmu tentang masyarakat" ("die Wissenschaft der Gesellschaft") dan secara politis melalui peringatannya tentang perlunya kesiapan negara untuk terus melakukan reformasi (5a:12). Konsep "kerajaan sosial" ("das soziale Königtum")-nya merupakan satu-satunya pikiran dalam sejarah ide politik abad ke-19 yang berusaha untuk memberikan legitimasi sosiologis atas konsep monarkhie konstitusional yang telah berkembang sebelumnya yang bersifat kompromis. Stein berpendapat, bahwa hanya negara yang tersusun secara monarkhies tetapi konstitusional dan terbukalah yang sanggup mengembangkan strategi tawar-menawar sosial dan mempraktikkannya --sesuatu yang mutlak perlu mengingat kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada pada fase industrialisasi-maju saat itu (5a:12-13).
Stein memandang jamannya sebagai "kesadaran akan eksistensi tata masyarakat". Mendahului Karl Marx (1818-1883) dia menyatakan dengan tegas: "Kesadaran jaman ini mulai....memahami kekuasaan negara sebagai alat untuk memajukan masyarakat, sebagai senjata dalam perjuangan sosial, dan sebagai sarana untuk membebaskan masyarakat." Masyarakat bukan lagi sebagai suatu unit yang tergantung kepada negara dan politik, bukan suatu massa yang an-organis dan terbentuk secara kebetulan semata, melainkan "suatu bentuk kehidupan manusiawi yang mandiri dan punya hak milik". Dalam bentuk kehidupan ini setiap pribadi yang mandiri berusaha untuk, melalui kerja, memperkembangkan diri dan dengan demikian juga mengejar kepentingannya. Dari upaya pengembangan diri ini akan selalu muncul pertentangan antara kapital dan kerja, dan ini menentukan konflik di dalam masyarakat. Konflik ini mengkristal, dan kemudian tatanan masyarakat manusia adalah atau menjadi "tata ketergantungan dari mereka yang tidak memiliki kepada mereka yang menguasai" (6:475).
Jadi masyarakat manusia itu terbelah dan ini menghasilkan ketidaksamaan dan ketidakbebasan sosial. Pertentangan antara kelas yang menguasai dan kelas yang tergantung ini meluas hingga pada tataran perundang-undangan dan administrasi, karena atau sepanjang kelas-sosial-yang-menguasai berusaha untuk memegang kekuasaan negara, untuk dapat terus mempertahankan posisi-menguasai mereka dan menjaga agar kelas yang tak menguasai tetap tergantung dan tidak bebas. Dalam dinamika masyarakat, kelas yang tergantung --dikondisikan oleh berkembangnya ide kebebasan, kesamaan dan keadilan-- tidak mau berada terus-menerus dalam ketergantungan terhadap dan tekanan dari kelas yang menguasai. Mereka berupaya untuk mengubah undang-undang negara demi kepentingan mereka: pertama-tama melalui cara reformasi dan kemudian melalui perubahan negara atau revolusi --suatu "hal yang perlu dan alamiah" (6:476).
Tetapi revolusi selain mampu menciptakan tatanan politik dan juga masyarakat yang baru, dia juga menciptakan pertentangan baru di dalam masyarakat, yang di dalamnya "setiap orang berusaha untuk tampil dalam badan perundang-undangan negara, dan dengannya menyingkirkan siapa saja yang tidak mempunyai kedudukan". Dengan kata lain: revolusi toh akhirnya menciptakan kelas yang di atas dan kelas yang di bawah lagi. Dengan akibat revolusi yang semacam ini pertentangan-dasar dalam masyarakat antara kapital dan kerja tidak tersingkirkan, bahkan menajam terus sekalipun telah terbentuk apa yang disebut kekuasaan proletariat. Lingkaran setan ini, menurut Stein, dapat dipatahkan melalui reformasi sosial yang inisiatifnya beradal dari negara sendiri, yang di dalamnya negara terlibat dalam reformasi itu. Kalau negara memperhatikan kelas bawah, pastilah dia akan berusaha untuk menyeimbangkan kelas-kelas yang bertentangan: di satu pihak dengan melakukan perbaikan keadaan kelas yang tergantung melalui suatu reformasi sosial, di pihak lain dengan menyadarkan kelas-yang-berkuasa bahwa jika mereka secara aktif mendukung usaha perbaikan kondisi kelas-yang-tergantung tersebut adalah juga demi kepentingan mereka sendiri (6:746). Mudah dipahami bahwa Stein menolak ide perjuangan kelas sebagai jawaban atas masyarakat yang memang berkelas. Dalam tulisan lain dia merumuskan alternatifnya sebagai "proses sosial dari gerakan kelas yang menaik" ("der soziale Prozeß der aufsteigenden Klassenbewegung"), dimana negaralah yang harus bertanggungjawab (5a:17).
Jadi mirip dengan Marx, Stein pertama-tama menegaskan adanya antagonismus antara pemegang kapital dan proletar: masyarakat adalah sistem ketergantungan dan ketidakbebasan. Dalam sistem ini kelas-yang-punya berupaya untuk memegang terus kekuasaan negara dan di pihak lain kaum proletar berusaha untuk merebut kekuasaan ini dan menghapuskan hak milik privat. Agar supaya perkembangan setiap pribadi dapat berlangsung, termasuk di dalamnya hak milik privat, maka penguasaan oleh pemilik kapital di satu pihak maupun revolusi proletar di pihak lain harus dihindari. Sarananya adalah kekuasaan negara yang berdiri di atas semua kepentingan dalam masyarakat yang saling bertentangan tersebut. Suatu "kerajaan sosial" --dengan korps pegawai yang terdidik-- dapat menciptakan emansipasi bagi kelas bawah yang tidak memiliki privillege dan hal ini dapat meredam ketegangan sosial (4:320-1).
Dalam tulisannya tentang perkembangan ilmu politik di Yunani, Stein menulis (7:174):
"Setiap kali pergolakan antar kelas di dalam masyarakat meledak, setiap kali itu pula muncul seorang diktator. Setiap kali --melalui pergolakan antar kelas tersebut-- hak milik dan harta pribadi dicerabut, pasti muncul suatu organ absolut, karena bukan lagi rakyat melainkan hukum keberlangsungan barang-ekonomis dan barang-masyarakat-lah yang sangat memerlukan kekuasaan negara."

Jadi kepentingan yang beraneka-ragam di dalam masyarakat tidak terbawa ke arah keseimbangan sosial sebagaimana dinyatakan oleh teori liberal tradisional. Negara dalam masyarakat yang berkelas adalah --jika tidak faktual ya tendensial-- penguasaan oleh suatu kelas. Penguasaan politis oleh suatu kelas ini tidak cocok dengan definisi Stein tentang negara sebagai "umum" atau "keseluruhan" (das Allgemein). Sejak awal Stein tidak percaya pada gerakan-otonom masyarakat, dia berpendapat perlunya upaya pemuasan oleh negara sebagai sesuatu yang alamiah. Dalam "kerajaan sosial" dibangun suatu lembaga "yang tidak terpengaruh oleh sesuatu kepentingan masyarakat" (7:174-5).
Stein menyatakan bahwa masyarakat (dalam hal ini mencakup pengertian "negara" plus "masyarakat") dimungkinkan berkiprah untuk mereformasi dirinya sendiri, dan tentulah reformasi ini berlangsung dalam garis kepentingan mereka sendiri. Dalam kasus ini kekuasaan negara berfungsi sebagai pembimbing, pengarah dan motivator; sementara kelas-yang-punya diharapkan juga dengan sepenuh hati dan dengan bantuan negara serta kekuasaannya terlibat tanpa lelah dalam reformasi sosial itu (6:747). "Tidakkah merupakan tugas tertinggi dan absolut dari jaman kita ini untuk mengangkat kelas bawah ke situasi material yang layak dan masuk akal?" tulis Stein tahun 1842 (2:47).
Di pihak negara, administrasinyalah yang dituntut paling utama untuk berbuat, sedangkan perundang-undangan dan bentuk negara adalah hal sekunder --yang penting adalah mereka melalui kekuatan integrasi-politiknya mendukung reformasi sosial. Karenanya Stein memperjuangkan, dengan mengingat situasi Jerman pada pertengahan abad ke-19, atas pertimbangan efektivitas, suatu "kerajaan sosial" yang memiliki administrasi yang netral dan efektif. Dalam penglihatan Stein hanya monarkhie-konstitusional-lah yang merupakan bentuk hukum yang tepat, yang di dalamnya dapat dilakukan penyeimbangan kepentingan sosial yang saling bertentangan. Hanya dengannyalah dapat dijamin terjembataninya jarak sosial di dalam masyarakat dan terjaganya kontinuitas serta kehidupan negara dan masyarakat yang bertata. Dalam konteks ini dia menyebut "kerajaan konstitusional" sebagai "bentuk yang wajar dari negara-negara Jerman dalam jaman masyarakat yang terindustrialisasi ini" (3:52-3).
Birokrasi dengan bidang kerjanya yang luas disebut Stein sebagai "sistem administrasi sosial", yang bekerja untuk "negara yang memperkembangkan masyarakatnya". Administrasi dalam hal ini secara kuat dihadapkan pada tuntutan-tuntutan negara yang masih diwarnai oleh masyarakat berkelas jaman baru. Baik dalam persoalan perkotaan dan perumahan, kemiskinan dan pangan, asuransi dan penyantunan, dalam semua hal Stein mencoba untuk merumuskan organisasi dari manajemen administrasi negara di atas "prinsip sosial". Keyakinannya yang utama adalah bahwa hanya melalui jalan inilah negara dapat mencegah munculnya masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh sistem produksi kapitalistis dengan cara yang tidak mengganggu seorangpun --ini berarti negara dapat melaksanakan tugasnya untuk memuaskan semua kelompok, das Allgemein (3:74).
Konsepsi Stein tentang negara administrasi sosial di atas merupakan "alternatif sosiopolitik yang prinsipiil atas liberalisme negara-hukum yang --berdasar wahamnya tentang homogenitas politik dan harmoni sosial-- mengabaikan problema integrasi dan legitimasi yang kompleks dari masyarakat industri" (Pankoke, dikutip dalam 7:178). Konsepsi Stein dapat pula dipandang sebagai "alternatif bagi ajaran revolusi Marx yang banyak dikritik itu" (Fahrenbach, dikutip dalam 7:178) atau bahkan merupakan "jalan tengah" antara pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels tentang energi dialektis dalam perkembangan masyarakat dan pemikiran Herbert Spencers tentang sistem sosial yang organis serta liberalisme non-intervensionis atau antara pandangan yang pesismistis dan yang optimistis (Klages, dikutip dalam 7:178). Sebagai kebijakan politik, di kemudian hari pikiran negara sosial ini direalisasikan dalam perundang-undangan sosial dalam masa pemerintahan Otto von Bismarck pada tahun 1880-an. Di Inggris Perdana Menteri Disraeli mewujudkannya pada paruh ke-dua abad ke-19, yang dengan perbaikan kondisi sosial itu partai konservatif berusaha untuk mewujudkan basis massa yang demokratis (4:321).
Pandangan Stein yang sangat optimistis tentang kerajaan sosial dibarengi dengan pesimismenya tentang republik. Mengomentari Revolusi 1848 di Perancis, dia berpendapat bahwa "ide republik dengan undang-undangnya yang disusun sebagai penjelmaan positif kedaulatan rakyat...adalah abstraksi yang tidak praktis dan tidak akan maujud". Sekalipun demikian Stein memperjuangkan suatu sistem perundang-undangan dimana hak masyarakat untuk mengambil bagian dalam perumusan tujuan negara terjamin, tetapi dia menghendaki agar perebutan kekuasaan masyarakat dibatasi dan hendaklah negara berada dalam suasana yang otonom (3:52). Mudah dipahami bahwa Stein termasuk orang yang pro monarkhie konstitusional sebagaimana telah disinggung di depan. Akhirnya dapat dikatakan, bahwa istilah Stein tentang "kerajaan yang sosial-reformatif" ("das Königtum der gesellschaftlichen Reform") dikonsepkan sebagai respons atas persoalan struktural masyarakat yang aktual pada jamannya dan dia berusaha untuk menegaskan, bahwa legitimasi suatu kerajaan terletak pada kesiapannya untuk mereformasi situasi sosio-politik masyarakat (3:121).

C. Pengaruh dan pelajaran untuk Indonesia
Dihadapkan pada buruknya kondisi kaum buruh dalam masyarakat industri yang sedang berkembang pesat saat itu, ide negara sosial --bersamaan dengan liberalisme dan komunisme-- dapat dikatakan meluas di Eropa abad ke-19, termasuk di Belanda. Dipengaruhi oleh ide ini pemerintah Belanda kemudian menerapkan "politik etis" di daerah koloninya Hindia Belanda sejak 1901. Kaum liberal dan humanis di Belanda mendesak dengan kuat agar pemerintah memperbaiki kualitas hidup penduduk Nusantara yang hancur setelah diterapkannya politik tanam- dan kerja-paksa. Pemerintah Belanda dinyatakan memiliki kewajiban moral untuk perbaikan Indonesia. Desakan ini ditanggapi dengan: (a) mengembangkan sistem pendidikan dan kesehatan, (b) membentuk bank kredit rakyat, terutama untuk mengikis praktik lintah-darat yang dilakukan oleh orang-orang China, (c) membangun saluran-saluran irigasi dan (d) menyelenggarakan transmigrasi bagi penduduk di daerah padat di Jawa ke Sumatera Selatan (3a:92).
Sekalipun tidak mungkin bisa menambal mandegnya perkembangan masyarakat Nusantara selama kurang-lebih tiga abad, program-program tersebut merupakan "balas jasa" yang cukup berarti, terutama dengan terbukanya akses ke sekolah dan perguruan tinggi bagi para pemuda kulit sawo matang. Tapi sayang (dari kacamata pemerintah Hindia Belanda), di kemudian hari politik ini menjadi bumerang bagi pemerintah kolonial, karena pemuda-pemuda pribumi yang telah terdidik mengalami "pencerahan" dan aktif menyelenggarakan gerakan-gerakan anti kolonial dan pro kemerdekaan.
Pada tataran intelektual pengaruh sosialisme merasuki pula para aktivis politik Indonesia pra-kemerdekaan. Beberapa pendiri negara Indonesia yang semula bersekolah di Belanda, seperti Mohammad Hatta dan Soepomo, menyumbangkan andil pemikiran yang dominan terhadap undang-undang dasar Indonesia (UUD 1945). Ide-ide sosialis menjadi sangat mengemuka, seperti "negara integralistik", "asas kekeluargaan", "kekuasaan negara untuk kepentingan umum" dan "koperasi sebagai soko guru ekonomi".
Sayangnya istilah-istilah ini selain bersifat sosialistis juga sedikit-banyaknya memendam gagasan yang sangat konservatif dan etatis (serba-negara), sehingga pemerintahan yang selama ini mengendalikan Indonesia dapat memanfaatkan UUD sebagai alat legitimasi konstitusional (ideologis) untuk mempraktikkan kediktatoran, sekalipun kadang-kadang "baik hati" ("benevolent dictatorship") dan bersamaan dengan itu memblokir kesempatan untuk beroposisi serta berdemokrasi. Karenanya menjadi masuk akal jika Gerakan Reformasi yang dimulai Mei 1998 mengajukan perombakan UUD sebagai salah satu agenda utamanya, agar kehidupan politik dapat menjadi demokratis, liberal.
Sementara itu ketidakpercayaan Stein terhadap revolusi (baca: perebutan kekuasaan secara paksa) sedikit-banyaknya menemui bukti pula di Indonesia, sekalipun tidak persis sama dengan alasan penolakannya. Pertama, revolusi kemerdekaan yang mengalihkan pengusaan negara dari pemerintah kolonial Belanda ke pemerintah bumi putera menghasilkan corak kekuasaan yang tidak banyak berbeda. Pemerintahan pasca perang adalah kelanjutan dari pemerintahan pra perang. Ke-dua, pengalihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto melalui peristiwa yang begitu cepat juga tidak menghasilkan perubahan gaya kekuasaan yang berarti. Dan ke-tiga, gerakan Reformasi Mei 1998 telah mulai dicemaskan sebagai suatu "revolusi" yang gagal mengubah gaya manajemen negara yang nepotis dan kolusif. Lelucon yang telah berkembang di kalangan perguruan tinggi mencerminkan kecemasan ini, seperti misalnya "mengganti KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) menjadi NKK (nolong konco-konco)" atau "mengganti bau durian dengan bau petai".
Meminjam pemikiran Stein, bahwa negara harus mengambil inisiatif untuk melakukan reformasi sosial, maka sesungguhnyalah ide-ide pembangunan yang dikembangkan pemerintahan Suharto selama tiga dasawarsa telah berada di atas rel yang benar. Pembangunan (baca: pengadaan infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll.), seperti halnya reformasi sosial, telah menjadikan --dan memang seharusnya begitu-- keabsahan bagi pemerintah Suharto. Sayang bahwa di penghujung waktu Suharto terlambat mereformasi negara: menciptakan struktur politik yang mampu mengadopsi secara fair dan adil (indikator lain bagi legitimasi pemerintah) hasrat kelompok-kelompok politik di luar lingkaran-inti kekuasaan untuk ikut menentukan kebijakan publik. Orde Baru melupakan aspek ketiga dari karakteristik negara yang diidealkan Lorenz von Stein: terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bauer, Walter, Grundlagen der sozialen Verwaltung bei Lorenz von Stein, Inauguraldissertation, Heidelberg 1975
2. Blasius, Dirk, Lorenz von Stein, Grundlagen und Struktur seiner politischen Ideenwelt, Inauguraldissertation, Köln 1970
3. Blasius, Dirk/Pankoke, Eckart, Lorenz von Stein, Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft, 1977
3o. Cribb, Robert Bridson, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949, Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Jakarta: Grafiti, 1990
3a. Dusik, Roland, Indonesien, Köln: DuMont Buchverlag, 3. Auflage, 1991
3b. Fakta mengenai Jerman, Jakarta: Kedutaan Besar Republik Federal Jerman, 1995
4. Lieber, Hans-Joachim (Hrsg.), Politischen Theorien von der Antike bis zur Gegenwart, Bonn: Bundeszentrale für politische Bildung, 1993
4a. Manungwijaya, Y.B., Menuju Republik Indonesia Serikat, Jakarta: Gramedia, 1998
4b. Meyers Enzyklopädisches Lexikon, Band 22, Mannheim 1978
5. Mutius, Albert von (Hrsg.), Lorenz von Stein 1890 - 1990, Akademischer Festakt zum 100. Todestag, Heidelberg: Decker, 1992
5a. Blasius, Dirk, "Lorenz von Stein und die Geschichte der sozialen Bewegung in
Deutschland", h. 11-17
5b. Richter, Bodo, "Lorenz von Stein Gedanken zur Deutschen Einheit", h. 75-80
6. Stammen, Theo/Riescher, Gisela/Hofmann, Wilhelm (Hrsg.), Hauptwerke der politischen Theorie, Stuttgart: Kröner, 1997
7. Uhl, Herbert, Lorenz von Stein und Karl Marx, Zur Grundlegung von Gesellschaftsanalyse und politischer Theorie 1842 - 1850, Dissertation, Tübingen 1977

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN SOSIAL DI INDONESIA TINJAUAN DARI ASPEK POLITIK, HUKUM EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA

contac by email:bankdata_son@yahoo.com

KESENJANGAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN TINJAUAN DARI ASPEK POLITIK, HUKUM EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA

contac by email: bankdata_son@yahoo.com

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN SOSIAL DI INDONESIA TINJAUAN DARI ASPEK POLITIK, HUKUM EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA

A. Latar Belakang Masalah
Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di berbagai daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan pembangunan selama ini. Di bagian ini dicoba menunjukkan realitas dan proses merebaknya gejala kesenjangan sosial.
Untuk mempermudah pembahasan, kesenjangan sosial diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain.
Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang kurangnya ada dua faktor yang dapat menghambat. Pertama, faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena masyarakat itu terkungkung dalam kebudayaan kemiskinan.
Kedua, faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan structural. Alfian, Melly G. Tan dan Selo Sumarjan (1980:5) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikatif, kekurangan fasilitas untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang kerja dan kekurangan perlindungan hukum.
Faktor mana yang paling dominan menyebabkan kesenjangan sosial. Kendati faktor internal dan kebudayaan (kebudayaan kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kesenjangan sosial, tetapi tidak sepenuhnya menentukan. Penjelasan itu setidaknya mengandung dua kelemahan. Pertama, sangat normatif dan mengundang kecurigaan dan prasangka buruk pada orang miskin serta mengesampingkan norma-norma yang ada (Baker, 1980:6). Kedua, penjelasan itu cenderung membesar-besarkan kemapanan kemiskinan. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kaum miskin senantiasa bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan mempunyai motivasi untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mereka mampu menciptakan pemenuhan tutuntan kehidupan mereka (periksa misalnya kajian Bromley dan Chris Gerry, 1979; Papanek dan Kuncoroyakti, 1986; dan Pernia, 1994). Setiap saat orang miskin berusaha memperbaiki kehidupan dengan cara bersalin dan satu usaha ke usaha lain dan tidak mengenal putus asa (Sethuraman, 1981; Steele, 1985).
Jika demikian halnya, maka ihwal kesenjangan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan structural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi yang miskin “jalan ke atas sering kali dirintangi”, sedangkan: “jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”. Dengan kata lain, gejala kesenjangan sosial dan kemampuan kemiskinan lebih disebabkan adanya himpitan structural. Perlu dipertanyakan mengapa masyarakat dan kaum miskin pasrah dengan keadaan itu? Ketidakberdayaan (politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah ditaklukkan dan dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha. Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang muncul adalah antara lain sebagai berikut :
“Apakah kebijakan pembangunan telah menciptakan kemiskinan dan kesenjangan social di Indonesia “





C. Masalah Pembangunan: Kemiskinan Dan Kesenjangan
1. Kemiskinan

a. Pandangan tentang kemiskinan
Pebedaan pandangan dari setiap ahli tentang kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini karena data, dan metode penelitian yang berbeda , tetapi justru terletak pada latar belakang idiologisnya. Menurut Weber (Swasono , 1987), ideology bukan saja menentukan macam masalah yang dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefenisikan masalah sosial ekonomis, dan bagaimana masalah sosial ekonomi itu diatasi. Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing-masing pandangan memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras , boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berpartisipasi.
Menurut Oscar Lewis (1983), orang-orang miskin adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada linkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah makhluk yang kooperatif, produktif dan kreatif.
Philips dan Legates (1981) mengemukakan empat pandangan tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya ciri-ciri sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat untuk melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya. Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selalu kekurangan dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan dalam masyarakat. Keempat, bahwa kemiskinan merupakan suatu ciri struktural dari kapitalisme, bahwa dalam masyarakat kapitalis segelintir orang menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan pandangan konservatisme, liberalisme dan radikalisme, maka poin pertama dan kedua tersebut mencerminkan pandangan konservatif, yang cendrung mempersalahkan kemiskinan bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih mencerminkan aliran liberalisme, yang cendrung menyalahkan ketidakmapuan struktur kelembagaan yang ada. Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis yang mempersalahkan hakekat atau prilaku negara kapitalis.
Masing-masing pandangan tersebut bukan hanya berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi juga dalam implikasi kebijakan untuk menanggulanginya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan konservatif cendrung melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah sikap mental si miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan memancing manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pelayanan pemerintah. Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru merangsang timbulnya kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai pihak yang mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, pekerjaan dan perumahan yang layak, cendrung merasa optimis tentang kaum miskin dan menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkembang seperti halnya orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat bermanfaat dan perlu direalisasikan. Pandangan radikal memandang bahwa kemiskinan disebabkan struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya, maka kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan ekonomi dan politik secara radikal.
Menurut Flanagan (1994), ada dua pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist. Kulturalis cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun kesempatan ada mereka gagal memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan. Strukturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural misalnya pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit dan memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan pengubahan struktur kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait.



2. Pengertian Kemiskinan
Memahamai substansi kemiskinan merupakan langkah penting bagi perencana program dalam mengatasi kemiskinan. Menurut Sutrisno (1993), ada dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia. Pertama adalah kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengikuti pikiran kelompok agrarian populism, bahwa kemiskinan itu hakekatnya, adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam pandangan ini, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri apabila pemerintah memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri mereka sendiri. Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak meiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya rendah. Disamping itu, kemiskinan juga terkait dengan kualitas sumberdaya manusia. Berbagai sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia dalam memahami kemiskinan pada dasarnya merupakan upaya orang luar untuk memahami tentang kemiskinan. Hingga saat ini belum ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari sudut pandang kelompok miskin itu sendiri.
Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, tetapi Chambers sendiri belum menjelaskan tentang alasan terjadinya deprivation trap itu. Dalam tulisan ini dicoba menggabungkan dua sudut pandang dari luar kelompok miskin, dengan mengembangkan lima unsur keterjebakan yang dikemukakan oleh Chambers (1983), yaitu : (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidak berdayaan.
Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa ahli atau lembaga, diantaranya adalah BAPPENAS (1993) mendefisnisikan keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Faturchman dan Marcelinus Molo (1994) mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut Ellis (1994) kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial politik. Menurut Suparlan (1993) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Reitsma dan Kleinpenning (1994) mendefisnisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non material. Friedman (1979) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Dengan beberapa pengertian tersebut dapat diambil satu poengertian bahwa kemiskinan adalah suatu situasi baik yang merupakan proses maupun akibat dari adanya ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk kebutuhan hidupnya.

3. Budaya Kemiskinan
Sumarjan (1993) mengemukakan bahwa budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu menggunakan sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib.
Menurut Oscar Lewis (1983), budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualist dan berciri kapitalisme. Budaya tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan dan kesadaran akan mustahilnya mencapai akses, dan lebih merupakan usaha menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat, tidak sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas perbedaan daerah, perbedaan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan negara, dan memperlihatkan perasaan yang mencolok dalam struktur keluarga, hubungan-hubungan antar pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai, dan pola-pola pembelanjaan.
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan, (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke kapitalis atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak, sedangkan atatus golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat strata sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis. Beberapa ciri kebudyaan kemiskinan adalah : (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi, (3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi , (5) perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan, (6) Perasaan untuk selalu gagal, (7) Perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan (9) Tingkat kompromis yang menyedihkan. Berkaitan dengan budaya sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metodre psikiatri kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.
Hal penting dalam membahas kemiskinan dan kebudayaan adalah untuk mengetahui seberapa cepat orang-orang miskin akan mengubah kelakuan mereka, jika mereka mendapat kesempatan-kesempatan baru; dan macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau buruk yang akan timbul dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk menentukan macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus kemiskinan, yaitu mendorong oang-orang msikin melakukan adapatasi terhadap kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh dan cara mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya orang-orang miskin yang tidak mampu menerima kesempatan-kesempatan karena mereka tidak dapat membuang norma-norma kelakukan yang digolongkan sebagai pendukung kebudayaan kelas bawah.
Akibat kemiskinan tersebut, sebahagian besar penduduk Indonesia menghadapinya dengan nilai-nilai pasrah atau nrimo (kemiskinan kebudayaan). Terbentuknya pola pikir dan prilaku pasrah itu dalam jangka waktu yang lama akan berubah menjadi semacam “institusi permanen” yang mengatur prilaku mereka dalam menyelesaikan problematika di dalam hidup mereka atau krisis lingkungan mereka sendiri (Lewis, 1968 dalam Haba, 2001). Menurut penganut paradigma kemiskinan kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi serupa tidak sanggup melihat peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki kehidupannya. Karakteristik kelompok ini terlihat dari pola substensi mereka yang berorientasi dari tangan ke mulut (from hand to mouth) (Haba, 2001 ).

4. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan (1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Golongan kaum miskin ini terdiri dari ; (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluargamnya, (3) Kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labourerds), dan (4) Para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah).
Kemiskinan struktural tidak sekedar terwujud dengan kekurangan sandang dan pangan saja, kemiskinan juga meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya, sosial yang mantap.
Beberapa ciri kemiskinan struktural, menurut Alpian (1980) adalah (1) Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin akan tetap hidup dengan kemelaratanya dan yang kaya akan tetap menikmati kemewahannya), (2) mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan (3) Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Pemecahan permasalahan kemiskinan akan bisa dilakukan bilamana struktur sosial yang berlaku itu dirubah secara mendasar.
Soedjatmoko (1984) memberikan contoh kemiskinan structural; (1) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan tanah) di desa mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik tradisional, (2) Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di desanya sebagai pemilik kapal, dan (3) Golongan pengrajin di kota kecil atau pedesaan yang tergantung pada orang kota yang menguasai bahan dan pasarnya. Hal-hal tersebut memiliki implikasi tentang kemiskinan structural : (1) kebijakan ekonomi saja tidak mencukupi dalam usaha mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural, dimensi struktural perlu dihadapi juga terutama di pedesaan; dan (2) perlunya pola organisasi institusi masyarakat pedesan yang disesuaikan dengan keperluannya, sebaga sarana untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan bargaining power, dan perlunya proses Sosial learning yang spesifik dengan kondisi setempat.
Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk mencari jalan agar struktur masyarakat Indonesia dapat diubah sedemikian rupa sehingga tidak terdapat lagi di dalamnya kemelaratan structural. Bantuan yang terpenting bagi golongan masyarakat yang menderita kemiskinan struktural adalah bantuan agar mereka kemudian mampu membantu dirinya sendiri. Bagaimanapun kegiatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan maupun pemerataan tidak dapat mengihilangkan adanya kemiskinan struktural.
Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan si miskin tetap akan ada, dalam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih diperlukan adalah bagaimana lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih mendekati perasaan keadilan sosial. Sudjatmoko (1984) berpendapat bahwa, pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan melanggengkan ketimpangan struktural. Pola netes ke bawah memungkinkan berkembangnya perbedaan ekonomi, dan prilaku pola mencari nafkah dari pertanian ke non pertanian, tetapi proses ini akan lamban dan harus diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan tidak dapat diatasi hanya dengan membantu golongan miskin saja, tanpa menghadapi dimensi-dimensi struktural seperti ketergntungan, dan eksploitasi. Permasalahannya adalah dimensi-dimensi struktural manakah yang mempengarhui secara langsung terjadinya kemiskinan, bagaimana ketepatan dimensi untuk kondisi sosial budaya setempat.
Sinaga dan White (1980) menunjukkan aspek-aspek kelembagaan dan struktur agraris dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan kemiskinan: (1) penyebaranan teknologi, bahwa bukan teknologi itu sendiri, tetapi struktur kelembagaan dalam masyarakat tenpat teknologi itu masuk yang menentukan bahwa teknologi itu mempunyai dampak negatif atau positif terhadap distribusi pendapatan (2) lembaga perkreditan pedesaan, perkereditan yang menginginkan tercapainya pemerataan pendapatan, maka program perkreditan tersebut justru harus diskriminatif, artinya subsidi justru harus diberikan kepada petani kecil, bukan pemerataan berdasaran pemilikan atau penguasaan lahannya; (3) kelembagaan yang mengatur distribusi penguasaan atas faktor-faktor produksi di pedesaan turut menentukan tingkat pendapatan dari berbagai golongan di masyarakat,karena tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan faktor ekonomi (interaksi antara penawaran dan permintaan) saja: dan (4) Struktur penguasaan atas sumber-sumber produksi bukan tenaga kerja (terutama tanah dan modal) yang lebih merata dapat meningkatkan pendapatan penduduk yang berada dibawahi garis kemiskinan.

D. Kemiskinan dalam berbagi perspektif
Kemiskinan merupakan konsep yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. Ellis (1984:242-245), misalnya, menunjukkan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut.
Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dsb. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menydiakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya.

E. Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Sosial
Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa kebijakan yang diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengeluarkan undang-undang Penanaman Modal Asing dengan memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan dan menarik kepada investor dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kegiatan industri meningkat tajam dan sangat pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 17 persen pada tahun 1992 (Booth dan McCawley, 1986:82 dan Sjahrir 1993:16). Pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan. Pendek kata, selama Orde Baru perekonomian mengalamii kemajuan pesat. Namun, bersamaan dengan itu ketimpangan sosial atau sekelompok kecil masyarakat, terutama mereka yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi, sedangkan sebagian besar yang kurang atau hanya memperoleh sedikit manfaat. Bahkan, ada masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat sama sekali. Kesenjangan sosial semakin terasa mengkristal dengan munculnya gejala monopoli. Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes (1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat. Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif, transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-usaha rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen. Kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstrimulir kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994) menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural ekonomi, fasilitas sosial, perumahan, dan lain-lain. Di perkotaan, pemilik modal (konglomerat) bekerja sama dengan birokrasi membeli tanah-tanah penduduk untuk kepentingan pembangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan dan lain-lain. Begitu pula di pedesaan pemilik modal menggusur penduduk dan memanfaatkan Iahan untuk kepentingan agroindustri, perumahan mewah, dan lapangan golf. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas di jadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur penduduk”
Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan lahan antara lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak hal belum dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat.

E. Penutup
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa apat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas profesional dan lintas lembaga.kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru bukan hanyak menciptakan kemiskinan dan kesenjangan pada masa itu, melainkan dampak kebijakan tersebut telah menciptakan kemiskinan dalam berbagai bentuk baik budaya kemiskinan maupun kemiskinan struktural hingga pasca runtuhnya orde baru (masa reformasi). Kebijakan pemerintah pada era tersebut pun telah menciptakan kesenjangan sosial, baik kesenjangan antardaerah, antargolongan maupun antarmasyarakat yang hingga kini belum dapat diperbaiki oleh pemerintahan era reformasi.

DAFTAR PUSTAKA

Alfinn, Mely G. Tan, dan Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta.
Baker, David, 1980, ” Memahami kemiskinan di Kota”. Prisma, 6 98), hal. 3-8.
Bappenas. 1993. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. Jakarta.
Bernas, 1994, “Golkar Akan Perjuangkan Adanya Perimbangan Fasilitas Krediti antara Pengusaha Besar dan Kecil”, Rabu, 24 Agustus, hal 5.
Booth, Anne dan McCawley, 1986, Ekonomi Orde Baru, Jakarta.
Breman, Jan, 1985, “Sistem tenaga Kerja Dualistis: Suatu Kritik Terhadap Konsep Sektor Informal” . dalam Chris Manning dan Tajuddin Noor Effendi (Ed), Urbanisasi, Pengangguran, dan sector Informal di Jakarta., Gramedia. Jakarta.
Chambers, Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES, Jakarta.
Dawam Raharjo, 1984, Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan Kesempatan Kerja, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.
Effendi, Tajuddin Noor, 2000, Pembangunan Krisis, dan Arah Reformasi, Muhnmmadiyah Universitas Press, Jakarta.
Ellis, G.F.R. 1984. The Demotion Of Poverty. Social Indicator Research.
Faturrochman, Marcelius Molo. “Karakteristik Rumah Tangga Miskin”. Populasi, Volume 5, Nomor 1, Tahun 1994.
Friedman, John, 1992. Empowerment: Politics of Allternation Development, Massachusetts, Blackwell Publisher.
Gans, Herbert J. Kebudayaan dan Kelas dalam Studi Mengenai Kemiskinan. Sebuah Pendekatan Terhadap Penelitian Anti Kemiskinan; Dalam Kemiskinan Di Perkotaan di edit oleh Parsudi SuparIan, Jakarta – Sinar Harapan – Yayasan Obor 1983.
Johnson, Doyle P, 1986n, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jilid I), diindonesiakan oleh Robert M.Z Lawang, Gramedia Jakarta.
———————4986b, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (JiIid II), diindonesiakan oleh Robert M.Z Lawang, Gramedia Jakarta
Kuncoro, Mundrajad dan Anggito Abimayu, 1995, “Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan Globalisasi”, kelola. 10 (4), hal. 43 -57.
Kuncorojakti, Dorojatun. 1986. Kemiskinan di Indonesia. Yayasan Obor, Jakarta.
Lewis. “Kebudayaan Kemiskinan”; Dalam Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta – Sinar Harapan – Yayasan Obor 1983.
Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Desa Pantai, Rajawali, Jakarta.
Mubyarto. 1986. Prospek Pedesaan 1986. P3PK, Yogyakarta.
………………….. 1991. Menanggulangi Kemiskinan. Adytia Media, Yogyakarta.
Nasikun, 1984. Sistem Sosial dan Indonesia, CV Rajawali. Jakarta.
Papanek, Gustav dan Dorodjatun Kuncorojakti, 1986, ” Penduduk Miskin di Jakarta”, dalam Dorodjatun Kuncoro jakti (ed) I Kemiskinan di Indonesia, yayasan Obor, Jakarta.
Pernia, Ernesto M. (Ed), 1994, Urban Poverty in Asia: A Survey of Critical Issues, Hongkong, Oxford University Press.
Poloma, Margareth M, 2000, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta.
Ritzer, george, 1992. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, disadur oleh Alimandnn, CV rajawali, Jakarta.
Sanderson, Stephen K, 2000, Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Edisi Kedua, Rajawali Press, Jakarta.
Saragih, Bungaran, dan Rahmat Pambudy. 1994. Pengentasan Kemiskinan Melalui Agribisnis di Pedesaan. TPB, Bogor.
Seymour Parker, dan Robert J. Kleiner. Lewis. “Kebudayaan Kemiskinan Sebuah Dimensi Penyesuaian Diri”; Dalam Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta – Sinar Harapan – Yayasan Obor 1983.
Suhendar, Endang, 1994, Pemetaan Pola-Pola Sengketa Tanah di Jawa Barat, Yayasan Akatiga, Bandung.
Sumardjan, Selo. 1993. Kemiskinan (Suatu Pandangan Sosiologis). Makalah, Jakarta.
Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor, Indonesia.
Veegar, K.J., 1985, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu- masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Gramedia, Jakarta.
Weber, Max, 1964, The Theory of Social and Economic Organization, Edited with an introduction by Talcott Parson, The Free Press, New York, Londan , Toronto, Singapore.
White, Benyamin, 1986, Rural Non-Farm Employment in Java recent. Development, policy Issues and Research needs, UNDP/ILO and Departement Of Man Power. Jakarta.